Aturan Tarif Atas-Bawah Taksi Online Dinilai Tidak Berpihak kepada Konsumen

Media Konsumen, Jakarta – Keputusan Pemerintah untuk menerapkan aturan batas bawah dan batas atas tarif angkutan tidak dalam trayek, dinilai tidak fokus pada penyelesaian permasalahan. Karena dengan hasil revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tersebut, pemerintah dinilai tidak berdiri di atas kepentingan konsumen. Pasalnya keuntungan konsumen dalam menikmati transportasi murah justru diutak-atik.

Upaya penyamarataan tarif bagi taksi berbasis aplikasi online merupakan salah satu poin dari 11 hal yang diatur dalam revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016.

Pengamat Transportasi Azas Tigor Nainggolan menilai, penyamarataan tarif ini merupakan kesalahan logika berpikir dari pihak pemerintah, dalam hal ini Kemenhub, yang terlihat jelas tidak berpihak kepada para konsumen pengguna jasa taksi online tersebut.

“Masyarakat kan sudah bisa mengakses jasa transportasi yang murah, tapi pas diatur pemerintah logikanya kok malah terbalik. Harusnya kesetaraan itu tarif yang di atas menurunkan dirinya ke bawah, bukan tarif yang di bawah harus memaksakan dirinya ke atas. Masyarakat yang sudah bisa menikmati tarif murah tapi dipaksa naik harganya, ini kan nggak apple to apple,” kata Tigor di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Rabu 22 Maret 2017.

Tigor menilai Standar Pelayanan Minimum (SPM) harusnya dikedepankan dibandingkan revisi tarif. Sehingga masyarakat sebagai konsumen mendapat pelayanan yang terbaik.

Tigor mengaku, ambiguitas pemerintah terkait keberadaan jasa angkutan berbasis aplikasi online ini memang cukup mengkhawatirkan. Sebab, setelah sekian lama hadir di tengah masyarakat, pemerintah yang harusnya sudah memantapkan regulasinya malah cenderung mengintervensi pasar tanpa adanya sikap yang jelas.

“Atur demi kepentingan pengguna, bukan yang sudah oke diganti,” kata Azas saat mengomentari rencana penetapan tarif batas atas dan bawah dalam diskusi “Taksi dan Ojek Berbasis Aplikasi, Bagaimana Nasibmu Nanti?”, Rabu sore.

Menurut dia, pemerintah tidak perlu mengatur tarif taksi online, karena berdasarkan pasal 183 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, tarif taksi diserahkan pada pengguna dan pemberi jasa. Bila tarif taksi online harus mengikuti taksi konvensional, ia khawatir konsumen akan beralih ke kendaraan pribadi.

“Padahal, ride-sharing akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi,” kata dia.

Lebih jauh, ia menganggap penetapan tarif batas atas dan bawah untuk taksi online belum berpihak pada konsumen.

“Pengguna tidak diundang uji publik. Pengusaha saja. Tidak ada kesepakatan dengan pengguna,” kata dia.

Menurut dia, pemerintah lebih baik membuat standar pelayanan minimal demi kepentingan masyarakat. Kalaupun Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 itu tidak direvisi, hal itu sebenarnya sudah cukup sebagai payung hukum asal pemerintah bisa menegakkan aturan di dalamnya dengan tegas.

“Sebetulnya enggak perlu dengan mencampuri masalah tarif, karena dengan Permenhub yang ada itu sudah cukup. Misalnya kendaraan harus dengan SIM Umum, uji KIR, ada standar kelayakan, itu aja cukup. Tapi kok tiba-tiba muncul masalah tarif, padahal itu enggak diributkan konsumen sebelumnya,” kata Tigor.

Selain itu, Tigor juga mengkritik pihak-pihak yang menuding bahwa murahnya tarif taksi online disebabkan karena mereka tidak membayar pajak. Padahal, pemerintah pun sampai saat ini belum menetapkan aturan perpajakan mengenai hal tersebut.

Oleh karenanya, Tigor mengaku amat menyayangkan sikap pemerintah yang dianggap lebih berpihak kepada para pengusaha taksi konvensional maupun taksi online, sehingga kepentingan konsumen sebagai salah satu pihak sentral dalam hal jasa angkutan ini menjadi terabaikan.

“Taksi online dibilang murah karena enggak bayar pajak, padahal aturan perpajakannya aja enggak ada undang-undangnya. Lalu pajak apa yang mau dikenakan? Jangan lah mencari kelemahan-kelamahan yang malah merugikan konsumen pengguna jasa,” kata Tigor.

“Pemerintah itu berdiri di antara pengusaha taksi konvensional dan taksi online, bukan di pihak konsumen sebagai pengguna jasanya. Permenhub 32 itu udah bagus kalau mau dijalankan dengan benar, tapi mau gimana, aturan mengenai pelaku usahanya yang harus berbentuk badan usaha itu saja pemerintah nggak sanggup mengatur,” ujarnya.

Ditemui di tempat yang sama, Direktur Angkutan Umum dan Multimoda Kementerian Perhubungan Cucu Mulyana berdalih pembatasan tarif tak hanya ditujukan melindungi pengemudi taksi online tapi juga untuk konsumen.

“Tarif batas atas itu dibuat untuk melindungi konsumen dari harga di jam sibuk yang kerap lebih mahal dari tarif taksi reguler,” jelas Cucu.

Seperti diketahui, batas tarif bawah memang ditujukan untuk melindungi pengemudi taksi online. Pemerintah menilai harga yang terlalu murah tak menghitung faktor biaya keamanan dan keselamatan bagi konsumen dan pengemudi.

Adapun di batas tarif tersebut memperkuat aturan kuota kendaraan taksi online yang boleh beroperasi di suatu kota. Menurut Cucu, hal itu juga ditujukan untuk menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar.

“Jika dibiarkan seperti sekarang, jumlah suplai akan lebih banyak dan harga akan semakin jatuh,” lanjutnya.

Pemerintah Beri Toleransi 3 Bulan Transisi Permenhub 32/2016

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi meminta seluruh pelaku usaha transportasi berbasis online, baik taksi maupun ojek, mematuhi revisi Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Meski demikian, untuk memenuhi persyaratan itu pemerintah akan memberikan tenggang waktu selama tiga bulan.

“Pemberlakuannya memang ditetapkan per 1 April 2017. Tapi, kami memberikan masa transisi kepada para pelaku jasa transportasi online itu untuk memenuhi aturan-aturan itu selama tiga bulan. Jadi selama tiga bulan kami memberikan keringanan,” ujar Menhub kepada wartawan seusai acara Sosialisasi Revisi PM 32 2016 bersama Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan Kapolri Jateng Irjen Pol. Condro Kirono di Balai Kota Semarang, Kamis (23/3/2017).

Poin-poin yang wajib dipenuhi oleh pelaku jasa transportasi online sesuai dengan PM 32 2016 itu, antara lain yakni penetapan tarif batas atas dan batas bawah yang sepenuhnya ditentukan oleh Gubernur sesuai daerahnya masing-masing.

Selain itu, angkutan umum online, terutama taksi online diwajibkan melakukan uji KIR layaknya angkutan umum konvensional selama ini. Keberadaan angkutan online juga harus dibatasi dengan kuota.

 “Dari pihak pelaku jasa angkutan online sudah setuju dengan aturan ini. Jadi enggak masalah,” imbuh Menhub.

Terkait dengan pelaksanaan di lapangan nantinya, Budi akan memberikan toleransi waktu 3 bulan sebagai masa transisi bagi pelaku usaha angkutan sewa online dan taksi reguler untuk memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Dalam waktu 3 bulan tersebut, ia memastikan tidak akan ada penindakan hukum terhadap pelanggaran dari aturan ini, baik oleh pihak Kepolisian maupun Dinas Perhubungan.

Budi melanjutkan, setelah 3 bulan masa transisi, Menhub menjelaskan akan ada sanksi khususnya bagi pengemudi angkutan online maupun provider yang tidak memenuhi aturan.

Ia lalu mencontohkan pembekuan atau suspend ID pengemudi atau pemblokiran aplikasi. “Kalau nanti melanggar bisa ditangguhkan, kita lagi minta suatu cara tertentu untuk menangguhkan anggota-anggota apabila mereka tidak memenuhi syarat-syarat tersebut,” tuturnya.

Budi menambahkan, dengan pemberlakuan aturan ini maka akan melindungi seluruh pihak baik pengemudi maupun kepentingan masyarakat luas.

“Contohnya soal penetapan kuota (angkutan). Itu justru melindungi pengemudi. Begitu juga dengan tarif batas atas-bawah. Pada prinsipnya, Permenhub 32 mengatur tentang kesetaraan, keadilan, kesamaan berusaha,” kata dia, menegaskan.

Bagaimana menurut Anda? Setujukah Anda dengan adanya aturan tarif Atas-Bawah Taksi Online ini?

 Apa Komentar Anda mengenai Revisi Permenhub 32/2016?

Belum ada komentar.. Jadilah yang pertama!

Aturan Tarif Atas-Bawah Taksi Online Dinilai Tidak Berpihak kepada Kon…

oleh Redaksi dibaca dalam: 4 menit
0