Pro-Kontra Model Bisnis “Ride Sharing” Taksi Uber, GoJek, dan sejenisnya

Belum lama ini, muncul gerakan warga yang meminta Gubernur DKI Jakarta melegalkan Taksi Uber. Pihak Taksi Uber Jakarta memanfaatkan media sosial untuk menggalang dukungan kepada mereka. Melalui akun Twitter dan Instagram resmi Uber Jakarta, mereka mendorong warga untuk menandatangani petisi mendukung layanan taksi Uber melalui tautan https://action.uber.org/jakarta20150911/.

Hal tersebut sebagai respon pihak Taksi Uber Jakarta atas razia yang gencar dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama pihak kepolisian. Pihak Uber mengatakan razia yang dilakukan Tim Tertib Lalu Lintas akan berdampak kepada sekitar 6.000 pengemudi taksi Uber yang kehilangan pekerjaan.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menganggap razia Taksi Uber yang dilakukan Satuan Tugas Tata Tertib Lalu Lintas DKI Jakarta sudah tepat. Taksi Uber merupakan sarana transportasi yang menggunakan mobil pelat hitam. Sistem pembayarannya menggunakan kartu kredit dengan sistem kilometer. Taksi Uber juga belum memiliki badan hukum selama ini. “Mohon maaf saja, UU Lalu Lintas kan mengatakan harus seperti itu (melarang beroperasi),” kata Ahok.

Taksi Uber harus terlebih dahulu mendaftarkan diri agar mendapatkan izin resmi beroperasi. Dalam razia taksi Uber yang dilakukan Satuan Tugas Tata Tertib Lalu Lintas selama tiga bulan terakhir, sebanyak 30 taksi Uber sudah terjaring.

Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, mobil tersebut tidak akan dibebaskan hingga izin beroperasi taksi Uber rampung. Menurutnya, razia ini tidak akan berhenti sampai Uber mengikuti undang-undang.

Pelanggaran yang dilakukan oleh Taksi Uber

Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta mencatat berbagai pelanggaran yang dilakukan Uber Asia Limited perwakilan Jakarta, dan pengguna jasa aplikasi Uber yang dijadikan sebagai angkutan umum atau sejenis taksi.

Kepala Bidang Angkutan Darat Dishubtrans DKI Emanuel Kristanto membeberkan, perusahaan yang mengklaim bergerak di bidang pemasaran melalui teknologi Uber ini, mempekerjakan sejumlah kendaraan roda empat yang tidak berizin resmi di Dishubtrans sebagai angkutan umum atau sewa.

“Saya minta bekerja sama lah dengan yang sudah terdata,” kata Emanuel dalam rapat bersama di Kantor Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta di Kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (17/9/2015).

Sejauh ini, hanya enam perusahaan saja yang terdaftar sebagai perusahaan angkutan sewa nonplat kuning resmi. Total jumlah kendaraannya mencapai 457 unit. Perusahaan itu adalah PT Panorama Mitra Sarana (5 unit), PT Laks Prima Transport (81 unit), PT Golden Bird Metro (162 unit), PT Pusaka Prima Transport (199 unit), PT Dragon Jaya Utama (5 unit) dan PT Safari Dharma Sakti (5 unit).

Pelanggaran ke dua, selama ini Uber Asia Limited salah kaprah dalam merekrut mitra untuk diberikan penggunaan izin aplikasi Uber. Tidak hanya perusahaan tidak berizin, akan tetapi Uber merekrut orang per orang yang mengizinkan kendaraan roda empatnya dijadikan taksi.

“Proses rekrutannya juga kurang pas. Melalui Facebook, orang per orang. Siapa yang punya mobil boleh bergabung. Seharusnya, yang bergabung dengan Uber itu lembaga atau perusahaan yang resmi,” ujar sambil memperlihatkan iklan Uber di Facebook kepada wartawan.

Lebih dari itu, pelanggaran ketiga Uber, tarif yang diberlakukan melalui aplikasi Uber melanggar ketentuan. Tarif Uber dinilai merusak pasar dan seharusnya tarif ditentukan berdasarkan peraturan yang berlaku. “Tidak boleh semaunya menentukan tarif,” tegas Emanuel.

Dia menjelaskan, mitra yang bekerja sama dengan Uber adalah kendaraan roda empat berpelat hitam dari para pengusaha rental. Dalam aturan yang berlaku, angkutan tersebut masuk dalam klasifikasi angkutan sewa. Tarifnya pun harus disesuaikan dengan kesepakatan tidak berubah-ubah lantaran jarak dan waktu tempuh saat melayani penumpang.

Namun faktanya, angkutan Uber berlagak seperti taksi. Karena diterapkannya tarif berdasarkan waktu, jarak dan tarif tunggu. Hal ini lah yang dianggap Emanuel tidak sejalan dengan sejumlah peraturan. Di antaranya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2015 dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003.

Masalah yang dihadapi GoJek

Sementara itu, GoJek yang memiliki model bisnis “ride sharing” seperti Taksi Uber, memiliki masalah tersendiri. Meskipun belum ada larangan resmi dari pihak pemerintah sebagai regulator, penolakan justru datang dari para pengemudi ojek pangkalan. Penolakan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran para pengemudi ojek pangkalan, yang khawatir penumpangnya beralih ke GoJek.

Aksi sweeping yang dilakukan oleh para pengemudi ojek pangkalan di beberapa daerah telah menjurus kepada tindakan kekerasan. Pihak kepolisian sendiri telah melakukan langkah antisipasi, seperti yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya yang melakukan penjagaan di titik-titik rawan pangkalan ojek. Hal ini untuk mengantisipasi kekerasan yang dilakukan tukang ojek pangkalan terhadap pengendara GoJek.

“Kami memperkuat patroli Babinkamtibmas dan menjaga titik rawan itu,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Mohammad Iqbal. Selain itu, Direktur Lalu Lintas Polda akan bertemu dengan instansi terkait seperti Dinas Perhubungan DKI untuk mengakomodasi persoalan GoJek.

Beberapa kali sempat terjadi intimidasi yang dilakukan ojek pangkalan terhadap GoJek. Bahkan di beberapa lokasi, mereka menolak kehadiran GoJek dengan memasang spanduk.

Terkait dengan itu, Iqbal mengatakan kepolisian mengimbau agar para tukang ojek konvensional tidak melakukan perbuatan yang rawan pelanggaran hukum. “Kan sama-sama cari rezeki. Jangan sampai cari rezeki malah berujung berurusan dengan aparat,” katanya.

Tanggapan Menteri Perhubungan

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyebut Kemenhub sebagai regulator transportasi tidak akan mencampuri bisnis ojek ‘digital’ yang sedang naik daun seperti Go-Jek dan Grab Bike. Alasannya, ojek selama ini tidak diatur ke dalam regulasi atau undang-undang transportasi.

“Ojek nggak bisa disebut transportasi umum karena nggak diatur dalam undang-undang,” kata Jonan di Kemenhub, Jakarta, Kamis (7/9). Karena tidak masuk dalam regulasi, Jonan menegaskan tidak akan mencampuri bisnis Go-Jek hingga Grab Bike yang telah menjamur di Jabodetabek.

Berbeda dengan ojek ‘digital’, Jonan akan mengatur bisnis transportasi taksi tak berizin. Kemenhub, kata Jonan, telah menyurati operator pengelola bisnis taksi pelat hitam seperti Uber.

“Uber hanya bisnis teknologi. Cuma transportasi umum harus ada registrasi. Kita sudah kirim surat ke Uber,” ujarnya.

Jonan mengaku tidak keberatan dengan sistem aplikasi pemesanan dan bisnis transportasi menggunakan teknologi. Namun, angkutan tersebut harus terdaftar secara legal. Hal ini, kata Jonan, berlaku seperti di Amerika Serikat. Bisnis taksi mewah pelat hitam boleh beroperasi di negara tersebut namun dengan syarat.

Dia menambahkan, seharusnya mobil yang berpartisipasi dalam aplikasi ini didaftar ke Kementerian Perhubungan. Sebab, mobil yang seharusnya menjadi konsumsi pribadi, menjadi produktif dengan mengubah fungsi untuk moda transportasi umum.

“Walaupun pelat hitam kek, pelat biru kek, apa kek itu, harus ada registrasi bahwa kendaraan itu sebagai transportasi umum,” ujar mantan Bos KAI ini.

Menteri Jonan telah memerintahkan Dirjen Perhubungan Darat guna menindaklanjuti perkembangan operasi Taksi Uber. Harapannya, mobil yang tergabung dengan layanan pemesanan taksi ini dapat didaftarkan.

“Kalau Anda ke banyak negara maju, seperti AS, banyak yang pakai pelat hitam semua limosin-limosin tapi teregistrasi sebagai taksi yang khusus transportasi, itu enggak apa-apa,” demikian menurut Jonan.

Keuntungan Bagi Konsumen

Model bisnis “Ride Sharing” seperti Taksi Uber, Gojek, dan sejenisnya ini adalah bagian dari trend “Sharing Economy” yang mulai banyak peminatnya di seluruh dunia. Sebelum merambah bidang transportasi, sebelumnya juga telah ada model bisnis serupa di bidang akomodasi, seperti aplikasi AirBnB  misalnya.

Istilah “Sharing Economy” atau Ekonomi Berbagi ini menggambarkan jenis usaha yang dibangun atas dasar berbagi sumber daya, yang memungkinkan konsumen untuk mengakses produk atau jasa bila diperlukan, tanpa harus memilikinya sendiri.  Selama ini praktek berbagi produk atau jasa telah menjadi praktik umum di kalangan teman-teman, keluarga dan tetangga. Namun dalam beberapa tahun terakhir, konsep berbagi ini telah mulai beralih menjadi model bisnis yang menguntungkan.

Salah satu syarat pendukung “Sharing Economy” bisa terwujud adalah jika informasi tersedia kepada orang yang membutuhkan. Disinilah pihak ketiga seperti Taksi Uber, GoJek dan sejenisnya hadir sebagai pihak penyedia informasi yang menghubungkan antara pihak penyedia jasa kepada konsumen yang membutuhkan.

Pihak konsumen sendiri diuntungkan karena mempunyai alternatif pilihan baru. Harga yang lebih ekonomis, serta pelayanan yang lebih baik adalah pertimbangan utama konsumen dalam memilih suatu produk atau jasa yang akan digunakannya. Terlepas dari aspek legalitas, pada akhirnya kelangsungan model bisnis “Ride Sharing” seperti Taksi Uber, GoJek dan sejenisnya, akan ditentukan oleh konsumen.

Bagaimana menurut anda? Berikan pendapat anda melalui komentar di bawah ini. (IS/dari berbagai sumber)

Satu komentar untuk “Pro-Kontra Model Bisnis “Ride Sharing” Taksi Uber, GoJek, dan sejenisnya

  • 23 Maret 2016 - (05:35 WIB)
    Permalink

    Perubahan tak bisa dilawan, karena yg tdk berubah adalah perubahan itu sendiri.

    Uber, Go-Jek dan Keniscayaan Era Digital

    Ratusan sopir angkutan kota (Angkot) Forum komunikasi masyarakat penyelenggara angkutan umum (FK-MPAU) DKI Jakarta berdemonstrasi di depan Balai Kota DKI Jakarta. Ratusan sopir angkot ini diketahui juga merupakan anggota Koperasi Wahana Kalpika (KWK).

    Itulah inovasi. Di penjuru dunia, inovasi melampaui aturan. read more >> http://bit.ly/1UAlZeK

 Apa Komentar Anda?

Ada 1 komentar sampai saat ini..

Pro-Kontra Model Bisnis “Ride Sharing” Taksi Uber, GoJek, …

oleh Redaksi dibaca dalam: 5 menit
1