Kenaikan Tarif Listrik Golongan 1.300 VA dan 2.200 VA Semakin Membebani Masyarakat

Terhitung mulai tanggal 1 Desember 2015, tarif listrik pelanggan rumah tangga berdaya 1.300 dan 2.200 VA mengalami kenaikan sebesar 11,6 persen dibandingkan November 2015, menyusul pemberlakuan mekanisme penyesuaian tarif kedua golongan tersebut.

Kepala Divisi Niaga PT PLN (Persero) Benny Marbun, mengatakan, pada Desember 2015, tarif listrik pelanggan rumah tangga golongan berdaya 1.300 dan 2.200 VA ditetapkan sebesar Rp1.509 per kWh.

Sementara, pada November 2015, tarif golongan berdaya 1.300 dan 2.200 VA masih ditetapkan tarif sebesar Rp1.352 per kWh. Dengan demikian, terdapat kenaikan Rp157 per kWh atau 11,6 persen.

“Mulai Desember 2015, PLN memberlakukan mekanisme penyesuaian tarif (tariff adjustment) atau tidak mendapat subsidi lagi untuk pelanggan golongan rumah tangga berdaya 1.300 dan 2.200 VA”, kata Benny di Jakarta, Minggu (29/11).

Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

Kenaikan ini sejalan dengan ini sejalan dengan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) no.31 tahun 2014 yang diubah dengan Permen ESDM no. 9 tahun 2015.

“Mekanisme tarif adjustment tarif listrik setiap bulan memang dimungkinkan untuk turun, tetap, atau naik berdasarkan ketika indikator”, ujar Plt Kepala Satuan Komunikasi Korporat Bambang Dwiyanto di kantor pusat PLN, Jakarta, Selasa (1/12/2015).

Penyesuaian tarif listrik disesuaikan dengan perubahan nilai tukar mata uang dollar AS terhadap mata uang rupiah, harga minyak dan inlasi bulanan.

Tarif listrik yang berlaku untuk lima golongan yakni rumah tangga daya 1.300 Volt Ampere (va) ke atas, bisnis sedang daya 6.600 va ke atas, industri besar daya 200.000 va ke atas, kantor pemerintah daya 6.600 va ke atas, lampu penerangan jalan umum (PJU) dan layanan khusus.

Pada Desember 2015 tarif listrik yang sudah tidak disubsidi mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya. Golongan tarif rumah tangga sedang (R-2) daya 3500 va – 5500 va dan rumah tangga besar (R-3) daya 6600 va ke atas turun dari Rp 1533 per kilo watt hour (kWh) pada bulan November 2015 menjadi Rp 1509 per kWh pada Desember 2015.

Bambang memaparkan untuk golongan tarif bisnis sedang, industri besar, kantor pemerintah, PJU dan layanan khusus juga mengalami penurunan tipis dibanding bulan sebelumnya.

“Penurunan ini dipengaruhi tingkat inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang menguat beberapa waktu terakhir”, jelas Bambang.

Sementara untuk pelanggan rumah tangga kecil daya 450 VA dan 900 VA bisnis dan industri kecil serta pelanggan sosial tarifnya tetap dan tidak diberlakukan penyesuaian tarif.

“Pelanggan golongan ini masih diberikan subsidi”, tegas Bambang.

Tanggapan DPR RI

Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertanyakan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang belum ada kemajuan. Padahal data tersebut akan digunakan oleh PT PLN (Persero) untuk menerapkan mekanisme penyesuaian tarif per 1 Desember 2015.

“Kan Presiden sendiri yang bilang data TNP2K belum siap. Makanya saya kaget ada kenaikan itu” kata Wakil Ketua Komisi VII, Satya Widya Yudha, usai Rapat Panja antara Pertamina dengan Komisi VII di ruang Pansus Nusantara II DPR, Jakarta, Senin (30/11/2015).

Saat ini, DPR belum menerima data lengkap mengenai indentifikasi data orang yang menerima subsidi tarif listrik. Oleh karena itu, Satya mengatakan DPR minta tunda PLN menerapkan tarif adjustment. “Pemerintah harus menunda kenaikan subsidi”, ujar Satya.

Satya menegasakan, apa yang dilakukan pemerintah seharusnya tidak membebani rakyat. Pemerintah harus mendata ulang mana yang menggunakan 1.300 VA, mana yang naik dan yang tidak. “Maka pandangan DPR, sebaiknya pemerintah perbaiki data sebelum kenaikan”, terangnya.

Dampak Kenaikan Tarif Listrik Terhadap Inflasi

Dampak kenaikan tarif listrik 1.300-1.400 volt ampere pada Desember 2015, dinilai hanya akan berpengaruh sedikit pada inflasi akhir tahun. Namun, situasi ini bakal menyebar hingga Januari 2016 karena ada dua sistem pembayaran listrik, yakni pra dan pasca bayar.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, tarif listrik bisa naik bisa turun. Seperti pada November lalu turun. Namun jika sistemnya dilakukan secara pasca bayar, dampaknya akan terasa pada Januari 2016.

“Listrik itu kan ada pra ada pasca bayar, kalau pra bayar ada dampaknya ke yang pas bayar. Tapi kalau pasca bayar, dampaknya ke Januari 2015, Jadi agak kesebar ya dampaknya. Kalau one momennya bisa disebar ke beberapa bulan, itu bisa mengurangi dampak yang besar dari kenaikan listrik walaupun enggak signifikan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (1/12/2015)‎

Direktur Statistik Harga BPS Yunita Rustani, mengatakan ada kenaikan memang sebesar 11%, namun hitung-hitungan di PLN pasti ada adjustment.

“Adjustment-nya itu ada 3 unsur. Inflasi, Indonesia Crued Price (ICP) dan currency. Jadi bisa naik bisa turun, saling cancel out jadi enggak terlalu signifikan apalagi nanti dibagi dua Desember dan Januari 2016,” ujar Yunita.

Untuk hitungan inflasi, bobot tarif dasar listrik (TDL) itu sekitar 3%. Bobot TDL, lanjut Yunita untuk menghitung Indeks Harga Konsumen (IHK).

“Kalau dari bobotnya, cukup besar tapi terbagi. Yang paling besar kan 1.300 sampai 2.200 VA. Jumlah rumah tangga dengan daya 1.300-2.200 itu paling banyak,” pungkasnya.

PLN Harus Transparan

Terkait pencabutan subsidi listrik untuk golongan 1.300 dan 2.200 Volt Ampere yang berlaku per 1 Desember 2015, PT PLN (persero) diminta transparan. Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi menilai sah-sah saja bagi PLN untuk mencabut subsidi listrik selama PLN bisa menjelaskan dengan transparan kepada masyarakat akan digunakan untuk apa tambahan dana yang berhasil dihemat.

“Jadi, dengan pengurangan subsidi untuk kelompok pelanggan tertentu itu, saya berharap PLN betul-betul terbuka berapa mereka akan peroleh dengan kenaikan ini,” ujar Kurtubi di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (30/11). Menurutnya, PLN juga harus menjelaskan berapa pembangkit yang akan mereka bangun dengan kenaikan itu. Demikian juga, dengan jumlah infrastruktur jaringan distribusi yang bisa dibangun

Kurtubi mengakui, saat ini PLN memang membutuhkan banyak anggaran untuk membangun pembangkit listrik dan membangun ribuan kilometer jaringan distribusi. Tujuannya untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dan kapasitas terpasang pembangkit.

Kurtubi mengatakan, penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 10 triliun dan sejumlah kredit komersial bank yang didapat PLN, belum cukup untuk membiayai kebutuhan pembangunan infrastruktur listrik. Sedangkan, menurut Kurtubi, mengandalkan sumber pendanaan dari perbankan juga tidak akan cukup.

Ia memisalkan, untuk menyamai kapasitas listrik Malaysia saja, Indonesia harus menambah daya lima kali lipat dari sekarang. “Bayangkan, itu hanya untuk menyamai Malaysia. Jadi, betapa kurangnya pembangkit kita,” kata Kurtubi.

Menambah Beban Ekonomi Masyarakat

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menuturkan sepintas formulasi tarif ini bagus, padahal endingnya formulasi tarif semacam ini sangat memberatkan masyarakat. “Oleh karena itu, tarif adjusment listrik harus ditolak,” kata Tulus dalam keterangan tertulis, Senin (30/11/2015).

Tulus mengatakan kebijakan tarif adjusment listrik ini melanggar konstitusi UUD 1945, karena menyerahkan tarif listrik pada mekanisme pasar, tanpa campur tangan negara. Padahal listrik merupakan essensial services (jasa kebutuhan dasar), yang harus diintervensi pemerintah. “Persoalan yang membelit masalah tarif listrik adalah masalah pasokan energi primer yang merupakan kesalahan pemerintah, kenapa hal itu ditimpakan pada masyarakat untuk menanggungnya dengan wujud tarif adjusment?”, ujar Tulus.

Selain itu, pemberlakuan kenaikan tarif pada Bulan Desember 2015 tidak tepat waktunya, karena daya beli masyarakat masih rendah. Kenaikan ini akan memukul daya beli masyarakat. “Ditambah besaran tarif adjusmen siapa yang mengaudit? BPK seharusnya secara reguler mengaudit adjusment, sehingga formulasi tarifnya transparan dan akuntabel,” tambah Tulus.

Tingkatkan Pelayanan

Di tengah isu kenaikan tarif listrik tersebut, masyarakat mempertanyakan kinerja PLN dalam memberikan pelayanan terhadap para pelanggannya. Di berbagai daerah di Indonesia, masih sering terjadi pemadaman bergilir hingga berjam-jam setiap harinya. Meskipun hal ini sangat merugikan pelanggan, tapi tidak ada kompensasi yang diberikan oleh PLN.

Sudah saatnya ada mekanisme dan peraturan yang mengatur Service Level Agreement (SLA) antara PLN dan para pelanggannya. Sebuah perjanjian tingkat layanan (SLA) adalah kontrak antara PLN sebagai penyedia layanan dan masyarakat sebagai pelanggannya yang mendefinisikan tingkat layanan yang diharapkan dari penyedia layanan. Termasuk diantaranya mengatur mekanisme kompensasi atas kerugian yang diderita oleh pelanggan, jika penyedia layanan tidak mampu memenuhi layanan yang diharapkan.

Bagaimana menurut anda? Berikan pendapat anda melalui form komentar di bawah ini! (IS/dari berbagai sumber)

 Apa Komentar Anda mengenai PLN?

Belum ada komentar.. Jadilah yang pertama!

Kenaikan Tarif Listrik Golongan 1.300 VA dan 2.200 VA Semakin Membeban…

oleh Redaksi dibaca dalam: 5 menit
0