Iuran BPJS Kesehatan Naik, Bagaimana Dengan Pelayanannya?

Media Konsumen, Jakarta – Pemerintah akan menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) bagi peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) per 1 April 2016. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 29 Februari 2016 dan diundangkan pada 1 Maret lalu.

“Bahwa beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 perlu disesuaikan dengan kebutuhan penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional,” tutur Presiden Jokowi dalam beleid tersebut, dikutip Senin (14/3).

Perpres revisi itu mengatur besaran iuran peserta dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I naik dari Rp 59.500 menjadi Rp 80 ribu dan iuran peserta dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II yang semula Rp 42.500 naik menjadi Rp 51 ribu. Sementara, iuran bagi peserta dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III naik menjadi Rp30 ribu dari sebelumnya Rp 25.500.

Tak hanya itu, per 1 Januari lalu, pemerintah juga menaikkan besaran iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) serta penduduk yang didaftarkan pemerintah dari sebelumnya Rp 19.225 menjadi Rp 23 ribu. Selain besaran iuran, beleid tersebut juga mengatur perubahan prosedur yang berhubungan dengan pelayanan kepada peserta Jaminan Kesehatan Nasional.

Alasan Kenaikan

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Rachmat Sentika memaparkan latar belakang di balik Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016, yang mengubah Perpres 111/2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam aturan tersebut, terdapat keterangan mengenai kenaikan besaran iuran per bulan bagi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Rachmat menjelaskan, kenaikan iuran penerima bantuan iuran (PBI) sudah ditetapkan pemerintah bersama DPR sejak 1 Januari 2016. Karenanya, Perpres 19/2016 hadir sebagai petunjuk pelaksanaan atas putusan tersebut. Dia pun menolak istilah kenaikan iuran, melainkan penyesuaian.

Untuk PBI, iuran yang sebelumnya sebesar Rp 19.225 kini menjadi Rp 23 ribu per bulan. Deputi Bidang Peningkatan Kesehatan Kemenko PMK itu mengungkapkan, cakupan PBI pun bertambah dari 86,4 juta jiwa menjadi 92,4 juta jiwa.

“Nilainya itu Rp 27 triliun. Atau 57 persen dari besaran iuran yang didapat oleh BPJS. Jadi, 57 persennya saja sudah dibayar sama negara,” kata Rachmat Sentika saat dihubungi, Rabu (16/3).

Masih terkait PBI, Rachmat menjelaskan, total mereka yang masuk dalam PBI tidak kurang dari 40 persen penduduk Indonesia. Dalam perspektif rasio Gini, lanjut dia, jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya mencapai 10-11 persen. Di luar itu, ada katagori hampir miskin. Dalam sistem BPJS Kesehatan, kategori hampir miskin itu disertakan.

“Semuanya kita kumpulkan jadi 40 persen. Jadi 40 persen dari penduduk Indonesia itu hebat benar negara (membayarkan iuran),” kata dia.

Adapun untuk peserta mandiri yang bukan penerima upah, kata Rachmat, jumlahnya mencapai 15,9 juta jiwa. Mereka pun rata-rata sudah memasuki usia di atas 50 tahun dan kerap berobat ke rumah sakit. Keluhannya pun variatif dengan penyakit-penyakit katatropik, semisal sakit jantung dan hipertensi. Klaim yang mesti dibayarkan bisa mencapai 500 persennya.

“Kemudian, yang ribut-ribut ini, yaitu bagi peserta BPJS dari mandiri. Mandiri itu 15,9 juta orang. Dan 82 persen di antaranya berusia di atas 50 tahun. Kemudian, sakit-sakitan. Sehingga berobatlah ke RS-RS, sehingga seluruh RS penuh,” kata dia.

Dia menegaskan, iuran BPJS Ketenagakerjaan tidak mengalami perubahan, yakni tetap sebesar lima persen dari besaran gaji per bulan. Perinciannya, empat persennya dibayar pemberi kerja dan satu persen dibayar oleh pekerja.

Tanggapan DPR

Penolakan kenaikan iuran kesehatan dilontarkan oleh Komisi IX DPR. Kalangan Senayan belum sepakat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menaikkan iuran itu pada 1 April. Hal itu mengemuka saat Komisi IX memanggil Menteri Kesehatan, Dirut BPJS dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan terkait kenaikan iuran peserta mandiri Rabu (16/3), di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Usai paparan dari pemerintah, mayoritas anggota Komisi IX menanyakan alasan kenaikan iuran tersebut. Sayangnya, pemerintah tidak bisa menjelaskan secara detail alasan yang dapat dipertanggungjawabkan atas kenaikan iuran tersebut.

Karena itulah, Komisi IX DPR tetap meminta Pemerintah menunda kenaikan tersebut. “Saya sangat kecewa karena pemerintah tidak bisa menjelaskan secara detail dan bertanggung jawab atas alasan kenaikan iuran tersebut. Oleh karenanya, Komisi IX DPR minta kenaikan tersebut ditunda,” kata anggota Komisi IX, Irma Suryani Chaniago, Kamis (17/3).

Penolakan terhadap rencana pemerintah tersebut juga datang dari Partai Gerindra. Partai Gerindra menilai rencana kenaikan iuran BPJS saat ini belum berbanding lurus dengan pelayanan yang diberikan.

“Gerindra menolak keras kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pemberian fasilitas pelayanan yang masih buruk kepada masyarakat saat ini,” tegas Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Moekhlas Sidik melalui siaran persnya.

Moekhlas menjelaskan kenaikan iuran BPJS menandakan bahwa tujuan utama pemerintah saat ini bukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat sesuai dengan rohnya saat BPJS dibuat.

“Tetapi, ini menunjukkan bahwa pemerintah hanya ingin mengambil keuntungan saja dari masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan,” tutur Moekhlas.

Sementara itu, anggota Komisi IX, Roberth Rouw menegaskan bahwa dalam rapat antara Komisinya dengan Menteri Kesehatan, BPJS Kesehatan dan Kementerian Keuangan pada Rabu, 16 Maret 2016, pemerintah beralasan bahwa kenaikan Iuran BPJS Kesehatan salah satunya untuk memberikan imbalan yang setimpal kepada pihak rumah sakit.

“Seharusnya, pemerintah menata terlebih dahulu proses pelaksanaan pelayanan kesehatan yang selama ini masih berantakan dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan. Bila sudah baik dan dirasakan masyarakat baru bicarakan kenaikan iuran,” tuturnya.

Pelayanan Belum Memuaskan

Mengingat masih belum memuaskannya kinerja pelayanan BPJS Kesehatan, dalam menjalankan fungsi pengawasan, Komisi IX meminta empat poin pertanggungjawaban BPJS Kesehatan terlebih dahulu sebelum menaikkan iuran.

Empat poin tersebut menyangkut pelayanan kesehatan yang belum memuaskan, kinerja BPJS terkait peningkatan kepesertaan mandiri, audit investigasi terkait transparansi laporan keuangan/ penggunaan anggaran, serta laporan pendistribusian kartu Penerima Bantuan Iuran (PBI).

“Sebelum empat poin tersebut dilaksanakan dan diselesaikan BPJS Kesehatan, maka Komisi IX DPR tetap tidak akan menyetujui kenaikan tarif tersebut,” ucap anggota Komisi IX, Irma Suryani Chaniago yang juga Wakil Ketua Fraksi Nasdem DPR itu.

Komisi IX melalui Ketua DPR akan berkirim surat pada Presiden Jokowi, agar Perpres No 19/2016 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No 12/ 2014 tentang Jaminan Kesehatan yang akan berlaku per 1 April ditunda.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga menyayangkan langkah pemerintah dalam menaikkan iuran BPJS Kesehatan mulai 1 April 2016, di tengah lesunya daya beli masyarakat.

Pengamat Ekonomi dari Indef Eko Listiyanto mengatakan, saat ini situasi perekonomian dalam negeri dan global sedang mengalami perlambatan yang berujung pada semakin melemahnya daya beli masyarakat. “Maka kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini momentumnya tidak tepat,” ujar Eko.

Eko pun melihat, pelayanan BPJS Kesehatan yang diberikan kepada pesertanya juga belum ideal, dimana masih banyak persoalan seperti antrean yang panjang sampai dengan kasus-kasus penolakan pasien di rumah sakit.

“Karena sudah diputuskan naik, maka layanan pasien BPJS Kesehatan harus ditingkatkan jadi dampaknya harus terasa oleh pasien. Sehingga tidak ada lagi antrean, penolakan pasien dan lain-lainnya,” tutur Eko.

Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia, selaku organisasi profesi dokter sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam hal ini juga memberikan pernyataannya. Dari beberapa poin pernyataan resmi IDI, salah satu intinya adalah bahwa perubahan harus diikuti perbaikan tata kelola pelaksanaan JKN.

“Kami bukan regulator atau legislatif yang punya suara untuk menolak, menunda ataupun menerima. Yang kami perhatikan adalah, dengan adanya kenaikan iuran ini harus disertai dengan perbaikan regulasi lainnya,” ujar Sekretaris Bidang Kesejahteraan Dokter Advokasi dan Monev Terapan JKN untuk Masyarakat, Dr.Noor Arida Sofiana, dalam jumpa media “Tanggapan Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2016,” di kantor PB IDI, Jakarta Pusat, 18 Maret 2016.

PB IDI sebagai organisasi profesi yang sasarannya adalah mengawal agar kualitas dan keselamatan masyarakat terjamin. Setiap kebijakan yang keluar, ada keterlibatan dari organisasi profesi untuk mengawal itu, tambahnya.

Mengenai besarnya iuran, PB IDI mengusulkan besarannya minimal di angka Rp27 ribu, sebagaimana yang direkomendasikan Dewan JSN.

“Anggaran kesehatan jika tidak mencukupi, harus dikeluarkan dukungan dari 5 hingga 10 persen minimal itu dulu. Karena tanpa adanya dukungan anggaran tidak akan terwujud maksimal,” jelas Anida.

Sedangkan untuk sistem pelayanan yang harus diperbaiki, tidak hanya dari jumlah dokter yang harus dengan rasio yang tepat, tapi juga fasilitas dan prasarana kesehatan juga harus ditingkatkan.

Pemerintah Terkesan Ragu-Ragu

Sementara itu Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa dia belum memutuskan nasib Peraturan Presiden (Perpres) No 19/2016 apakah ditunda atau tidak.

Dia terlebih dulu akan memanggil jajaran direksi BPJS sebelum mengambil keputusan direvisi atau tidak. “Panggil manajemen, Direktur BPJS (Kesehatan) mengenai kenaikan itu, jadi ini saya mau lihat pelayanan. Saya lihat pelayanannya baik,” kata Presiden seusai meninjau RSUD Sumedang, Kamis (17/3).

Tim Komunikasi Presiden, Sukardi Rinakit membenarkan, pemanggilan jajaran direksi BPJS untuk melihat sejauh mana urgensi dari kenaikan iuran itu. “Ada pertimbangan apakah kenaikan iuran kesehatan memang sudah mendesak atau belum. Perlu dipanggil jajaran direksi,” ucap dia.

Hal ini terkesan aneh, karena Perpres sudah diumumkan dan mengundang reaksi dari berbagai kalangan, tetapi presiden mengatakan belum memutuskan dan akan mengevaluasi terlebih dahulu. Bagaimana menurut Anda?

Satu komentar untuk “Iuran BPJS Kesehatan Naik, Bagaimana Dengan Pelayanannya?

 Apa Komentar Anda mengenai BPJS Kesehatan?

Ada 1 komentar sampai saat ini..

Iuran BPJS Kesehatan Naik, Bagaimana Dengan Pelayanannya?

oleh Redaksi dibaca dalam: 5 menit
1