Kolom

Pejalan Kaki dan Trotoar

Berjalan kaki dan berbicara merupakan kebutuhan dasar manusia untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama. Keduanya dipelajari sejak dini, yakni setelah lahir. Di awal para orang tua intensif sekali mendorong anak untuk secepatnya mampu berjalan dan berbicara.

Tapi kemudian setelah anak berkemampuan dengan baik maka keterbatasan mulai diterapkan. Ada batas yang seharusnya diberikan tapi ada juga batas yang berlebihan sehingga cenderung menjadi alat pemberangus perkembangan selanjutnya. Sebagai contoh kecil, para orang tua yang asyik dengan kesibukannya sendiri akan melarang anak yang sedang belajar berbicara dan bertanya dengan larangan klasik, “Sudahlah diam! Berisik sekali tahu ayah/ibu sedang sibuk”.

Demikian pula halnya dengan berjalan kaki, anak dibatasi sekali dengan berbagai alasan yang tampak seperti kearifan dan kasih sayang orang tua tapi berakibat buruk karena anak menjadi malas berjalan kaki. Anak “batita” lebih banyak digendong atau dibawa dengan kereta dorong. Masa di PG, TK atau SD anak ke sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh difasiltasi dengan becak atau diantar dengan naik motor. Saat di sekolah lanjutan baik pertama maupun atas tidak sedikit anak yang sudah membawa sendiri kendaraan roda dua atau roda empat ke sekolah padahal sebenarnya mereka belum ( berhak ) memiliki SIM.

Ketika sudah dewasa dan punya kesadaran pentingnya gerak badan (olah raga), kesempatan terbatas dengan aneka kesibukan. Untuk olah raga ringan seperti “jalan santai” atau “lari pagi” saja harus menunggu saat hari libur Sabtu/Minggu itupun di arena CFD atau Lapangan Hijau yang jaraknya jauh dari tempat tinggal. Bukankah berjalan kaki bisa dilaksanakan setiap hari, saat kita berangkat dan pulang kerja? Jawabannya pasti semua akan bermuara kepada dua hal. Yang pertama niat dan yang kedua fasilitas.

Trotoar di salah satu jalan di Bandung habis tersita oleh lapak para PKL (Foto Sindonews)

Niat sudah ada untuk membiasakan berjalan dari lingkungan rumah ke tempat kerja, tapi fasilitas jalan yang sempit dengan kepadatan kendaraan yang tinggi menjadi kendala bagi pejalan kaki karena sangat riskan. Di jalan raya yang sebenarnya sudah disediakan trotoar untuk pejalan kaki tapi lagi-lagi kendala menghadang. Trotoar dengan pejalan kaki sebagai yang empunya hak tak bisa digunakan dengan leluasa. Hak itu telah dirampas oleh lapak-lapak PKL dan Tukang Parkir Ilegal. Bahkan bukan hal yang langka di tempat yang terkenal kemacetannya seperti di simpang empat (perempatan), trotoar menjadi jalan alternatif pengendara motor nakal.

Trotoar di Singapura (foto oleh penulis)

Becermin ke negara lain, tak usah jauh ke Eropa atau Amerika, cukup ke Negeri Jiran seperti Malaysia, Singapura atau Cina, trotoar akan dapat digunakan para pejalan kaki dengan aman dan nyaman. Semua berlangsung sesuai peruntukannya. Masyarakat ikut memelihara kebersihan dan ketertibannya dengan bertanggung jawab. Manfaat ganda tercapai yaitu mengolahragakan masyarakat (secara tak langsung) dan meminimalisasi kemacetan jalan dengan tidak menggunakan kendaraan pribadi setiap saat.

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.
Bagikan

Komentar

  • Tulisan yang mewakili kegundahan para pejalan kaki yang hak-nya telah diserobot para PKL dan pemotor yang tidak taat hukum.

  • FASILITAS TROTOAR YANG NYAMAN BAGI PEJALAN KAKI, MERUPAKAN FASILITAS YG SULIT DIDAPATKAN DI NEGARA INI.
    INI BEBERAPA SEBABNYA :
    1. LAHAN UNTUK TROTOAR, HABIS DIPAKAI UNTUK PELEBARAN JALAN
    2. DIPAKAI OLEH PEDAGANG
    3. DIPAKAI OLEH INFRASTRUKTUR LAINNYA SEPERTI TIANG LISTRIK, TIANG TELP, POT BUNGA, TEMPAT SAMPAH, TIANG RAMBU - RAMBU LALU LINTAS. DLL
    4. DIPAKAI JALAN ALTERNATIF JALAN PINTAS OLEH KENDARAAN RODA 2 BAHKAN DIPAKAI PARKIR OLEH KENDARAAN RODA 4.
    5. ATAU KARENA PARA PEJABATNYA TIDAK PERNAH JALAN - JALAN DI TROTOAR YG ADA DI KOTA????

    SENANG RASANYA LIHAT TROTOAR DI NEGARA LAIN YANG SANGAT MENGHORMATI KESELAMATAN PEJALAN KAKI.

Penulis
Entjep Sunardhi