Di Balik Dugaan Praktek Kartel Honda-Yamaha Pada Industri Sepeda Motor

Media Konsumen, Jakarta – Kasus dugaan praktek kartel dalam pengaturan harga sepeda motor skutik yang dilakukan oleh pihak produsen sepeda motor Honda dan Yamaha Indonesia terus bergulir, dan saat ini masih menjalani sidang di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kasus ini berawal dari adanya bocoran email dari petinggi Yamaha kepada petinggi Honda (Baca: Ini Bocoran Surel Berbau Kartel dari Manajemen Yamaha).

KPPU tetap bersikukuh menuding PT Yamaha Motor Manufacturing Indonesia dan PT Astra Honda Motor bersekongkol melakukan praktik pengaturan harga bersama dan melanggar Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Kenaikan harga yang tidak wajar sepanjang 2014 dijadikan KPPU sebagai indikatornya. Kedua pabrikan motor asal Jepang itu disebut KPPU menaikkan harga sepeda motor dengan kapasitas mesin 110 cc hingga 125 cc sebanyak tiga kali dalam satu tahun. Sepanjang periode tersebut, kedua merek sepakat menaikkan harga berkisar Rp400 ribu hingga Rp600 ribu dalam waktu yang bersamaan.

Anggota Tim Investigasi KPPU, Helmi Nurjamil mengatakan, kenaikan harga tiga kali dalam satu tahun merupakan kondisi yang tidak wajar. Pasalnya, kenaikan biaya produksi tetap (fixed cost) di dalam periode tersebut tidak lebih dari satu kali setahun.

“Kami menganggap harga naik tiga kali dalam setahun itu sangat tak wajar. Apalagi kenaikannya juga tidak dalam momentum khusus,” ujar Helmi, Selasa (6/9).

Ia menganggap, alasan peningkatan harga yang wajar seharusnya dikarenakan oleh peningkatan ongkos produksi. Jika ongkos produksi didominasi oleh komponen impor, maka rasionalisasi peningkatan harga bisa jadi disebabkan oleh fluktuasi kurs.

Namun, menurutnya, hal ini tak berlaku di industri sepeda motor. Pasalnya, 85 persen komponen produksi merupakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), sehingga perubahan nilai tukar mata uang bukanlah faktor signifikan.

“Maka dari itu, seharusnya faktor produksi yang mendukung kenaikan harga adalah kenaikan upah pekerja serta inflasi. Tapi upah pekerja hanya naik sekali setahun dan tak ada gejolak ekonomi yang amat sangat di tahun itu,” ungkap Helmi.

Meski demikian, KPPU juga masih melihat hubungan antara peningkatan harga dengan ongkos produksi yang berubah-ubah (variable cost), seperti biaya iklan dan promosi. Jika memang variable cost tidak meningkat lebih besar dibanding fixed cost, maka kenaikan harga terbilang tidak wajar.

“Kami tetap sesuai dugaan sebelumnya, bahwa indikasi kenaikan ini ada permainan. Kedua merek ini adalah pemain besar pasar motor matic. Jika kedua pemain menguasai pangsa pasar lebih dari 50 persen, maka konsumen bisa punya pola pikir kalau kenaikan harga ini adalah sesuatu yang wajar,” jelasnya.

Menurut data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) sepanjang tahun 2015, Honda masih memimpin di pasar matic dengan pangsa pasar 76,9 persen. Sementara itu, Yamaha menempati posisi kedua dengan raihan 16,73 persen. Sehingga, gabungan keduanya mengambil pangsa pasar 93,63 persen penjualan matic nasional.

Di Balik Dugaan Praktek Kartel Yamaha-Honda Yang Terkesan Wajar

Tim Investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berpendapat kenaikan harga skuitk 110 – 125cc merek Honda dan Yamaha pada 2014 yang diduga direncanakan tidak terdeteksi masyarakat. Alasannya, kenaikan harga itu bisa dinilai wajar karena dilakukan dua produsen yang memproduksi Skutik paling banyak di dalam negeri.

Helmi Nurjamil, salah satu dari tim investigator, menjelaskan, Selasa (6/9/2016), jika kenaikannya dilakukan seragam oleh para penguasa pasar maka kesannya normal sebab sebagian besar produk di pasar naik.

“Ada beberapa produsen tapi hanya ada dua pelaku usaha yang memiliki konsentrasi pasar tinggi maka pola pikir konsumen akan terbentuk. Karena lebih dari 75 persen, maka ketika mereka sama-sama menaikkan harga maka masyarakat bisa menilai ini wajar,” ucap Helmi.

Anggapan wajar itu tidak akan terjadi jika kenaikan harga dilakukan oleh merek dengan pasar lebih kecil. “Kalau yang kecil naik konsumen tinggal pindah ke Honda atau Yamaha,” kata Helmi.

Bantahan Pihak Honda dan Yamaha

Dalam sidang pendahuluan sebelumnya pada Bulan Juli lalu, Pihak Honda dan Yamaha sudah memberikan tanggapannya, dan menolak tuduhan kartel yang dialamatkan kepada mereka. Menurut Dyonisius Beti, Executive Vice President YIMM yang mempresentasikan tanggapan di sidang terbuka itu, jika ada perjanjian antara Honda dan Yamaha seharusnya terjadi kestabilan pangsa pasar. Namun kenyataannya pangsa pasar Skutik 110 – 125 cc Yamaha terus turun, sementara itu Honda kini memimpin.

Pasar pasar Skutik 110 – 125 cc adalah yang terbesar dalam industri sepeda motor di Indonesia. Di kelas itu ada empat pemain lainnya di luar Yamaha dan Honda yaitu Suzuki, TVS, Piaggio, dan Viar. “Pasar matik ini besar masa pemain lain diam kalau cuma dikuasai oleh dua pemain,” kata Dyonisius di hadapan majelis hakim, Kantor Pusat KPPU, Jakarta, Selasa (26/7/2016).

Selama ini memang pangsa pasar Yamaha dan Honda yang paling dominan, namun pemusatan itu menurut Dyonisius bukan karena ada kesepakatan yang menghalangi merek lain untuk bersaing. Akan tetapi memang industrinya butuh modal investasi besar buat meraup pasar.

“Perlu teknologi tinggi, perlu sumber daya manusia yang canggih sekali, tentu perlu energi yang kuat, tentu butuh biaya operasional yang besar sekali. Sehingga pemain lain kalah bersaing dengan dua merek ini,” jelas Dyonisius.

Persaingan antara Yamaha dan Honda sangat ketat di kelas 110 cc yang kontribusinya terbesar. Dyonisius jujur mengakui Honda terus-terusan mengeluarkan produk baru sehingga menjadi pemimpin pasar, sementara itu Yamaha kalah saing.

“Kalau kita lihat persaingan pasar Skutik 125 cc itu juga sama. Kami market share turun drastis. Jadi pasar ini selalu bersaing dan pangsa pasar tidak pernah stabil,” ucap Dyonisius.

Hasil dari persaingan ketat terjadi persaingan promosi yang cenderung mengarah ke black campaign. Dalam materi presentasi Dyonisius menunjukan produk iklan dari kompetitor yang menjelekkan sepeda motor Yamaha. Kompetisi juga terjadi pada level ritel, seperti perang promosi dan diskon serta kompetisi lewat berbagai aktivitas. Bila ada kesepakatan harga, menurut Dyonisius, tidak perlu sampai seperti itu.

“Dan untuk diketahui juga, kalaupun ada kartel, 110 – 125 cc itu adalah pasar terbesar. Mana mau pemain-pemain lain membiarkan pasar itu hanya dua orang yang mengatur pasti bakal berusaha merebut pasar ini,” kata Dyonisius.

Sementara itu dari Pihak Honda, mereka pun membantah telah melakukan praktek kartel. Namun Pihak AHM (Astra Honda Motor) tidak jadi melakukan presentasi tanggapan pada persidangan perkara tersebut.

“Kami sama membantah, tidak melakukan kartel. Kami sudah mempersiapkan semuanya, tinggal (presentasi) manajemen di persidangan saja yang belum kami lakukan. Kami sudah siap memberikan bantahan,” kata Andi Hartanto, General Manager Corporate Secretary & Legal AHM, selepas persidangan.

“Pernyataan Dyonisius juga sebenarnya ada satu lagi yaitu tidak ada motif. Kita lihat nanti tanggal 28 tertulisnya. Kesimpulannya, sama sekali tidak ada kartel. Ini menunjukan persaingan yang sengit, justru terbalik dari yang dituduhkan KPPU,” ujar Andi.

Dari pernyataan tertulis resmi AHM kepada media, menyebut kartel bisa muncul jika perusahaan ingin berbagi pasar dengan pesaing untuk mendapatkan keuntungan. Pangsa pasar Honda di segmen Skutik 110 – 125 cc sudah jauh di atas kompetitor selama periode penyelidikan KPPU (2013-2014).

“Sehingga tidak beralasan bagi kami sebagai pemimpin pasar harus bersepakat dengan pesaing yang pangsa pasarnya lebih kecil,” tulis AHM.

Keterangan dari AISI
Ketua AISI tengah memberikan penjelasan dalam majelis hakim, dugaan praktik kartel antara Yamaha dan Honda di Kantor KPPU, Selasa (6/9/2016). (Foto oleh Febri A/KompasOtomotif)
Ketua AISI tengah memberikan penjelasan dalam majelis hakim, dugaan praktik kartel antara Yamaha dan Honda di Kantor KPPU, Selasa (6/9/2016). (Foto oleh Febri A/KompasOtomotif)

Ketua Umum Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata memberikan penjelasan mengapa persaingan dalam industri sepeda motor di Indonesia ini tanpa kartel. Menurutnya, tipisnya perbedaan kapasitas mesin antara model satu tipe antara satu merek dengan yang lain juga bukti otentik.

Penjelasan Gunadi disampaikan saat menjawab pertanyaan majelis hakim dalam sidang lanjutan dugaan kartel Honda dan Yamaha, di Kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta, Selasa (6/9/2016).

Hakim bertanya mengapa produsen anggota AISI memproduksi model yang dinilai cuma beda tipis. Misalnya Honda meluncurkan generasi awal Beat 110cc sementara itu Yamaha melahirkan Mio 115cc.

Gunadi menjelaskan ‎strategi seperti itu merupakan bentuk diferensiasi yang mencerminkan usaha produsen untuk bersaing. Produk yang bersaing memiliki keunggulannya masing-masing.

“Semua terserah konsumen, apakah mau beli lebih murah sedikit tapi cc-nya lebih kecil atau sedikit lebih mahal, agak keren sedikit, tapi lebih mahal,” jelas Gunadi.

“Mereka saling membunuh untuk berebut pasar. Konsumen akan menentukan sendiri,” ‎kata Gunadi lagi.

Kapasitas mesin memengaruhi harga jual produk. Menurut Gunadi ‎konsumen masing-masing produk sudah tersegmentasi sendiri, dalam artian punya penggemarnya masing-masing.

‎”Kalau ada produk berhasil di pasar yang lain pasti tidak diam,” ucap Gunadi.

Hitung Kerugian Konsumen Akibat Kartel Skutik, KPPU Akan Panggil Saksi Ahli

Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) akan mendatangkan saksi ahli ke persidangan kasus dugaan kartel sepeda motor matik (skutik) 110-125 CC. Kehadiran saksi ahli yang melibatkan dua pabrikan itu dibutuhkan untuk menghitung berapa jumlah nilai kerugian yang dialami oleh konsumen pengguna skutik.

“Nah, (kerugian) ini kami belum hitung karena ini bergantung pada proses persidangan, nanti kami akan menghadirkan ahli yang bakal menunjukkan itu,” kata Ketua KPPU Muhammad Syarkawi Rauf di Bursa Efek Indonesia, Kamis, 21 Juli 2016.

Syarkawi menjelaskan, untuk memproduksi satu unit skutik dibutuhkan biaya produksi hanya sekitar Rp 7,5-8,5 juta. Jika ditambahkan dengan ongkos lain, harga sepeda motor itu cukup untuk dijual sekitar Rp 12,6 juta per unit.

Namun, di pasaran, sepeda motor keluaran Yamaha dan Honda bisa mencapai lebih dari Rp 15 juta. Apabila dikalikan dengan jumlah konsumen dari dua produsen tersebut, tentu omzet yang mereka peroleh sangat besar.

Pemberian harga satu unit sepeda motor di atas wajar, kata Syarkawi, hanya bisa dilakukan perusahaan yang memonopoli. “Ini yang akan kami buktikan apakah harga yang sangat tinggi tersebut mengindikasikan pelaku atau praktek persaingan yang tidak sehat,” tuturnya.

Saat ini, kata Syarkawi, pangsa pasar skutik dikuasai (Astra Honda Motor) AHM yang meraup lebih dari 67 persen pasar. Sedangkan Yamaha menguasai lebih dari 29 persen. Jika dugaan kartel terbukti, dua perusahaan itu menguasai hampir 97 persen di pasaran. Sedangkan sisanya, sekitar 2,5 persen, dikuasai oleh produsen lain, seperti PT Suzuki Indomobil Motor (Suzuki) dan PT TVS Motor Company (TVS).

Dalam sidang kartel lanjutan yang akan digelar, Syarkawi mengatakan tidak akan membawa saksi dari produsen lain. “Kami enggak akan melihat ke produsen lain. Sebab, mereka hanya menguasai kurang dari 2,5 persen sehingga unsur persekongkolan agak sulit.”

Bagaimana menurut Anda? Apakah sebagai konsumen Anda merasakan harga yang tidak wajar akibat dari dugaan praktek kartel ini? (ed/dari berbagai sumber)

 

 Apa Komentar Anda?

Belum ada komentar.. Jadilah yang pertama!

Di Balik Dugaan Praktek Kartel Honda-Yamaha Pada Industri Sepeda Motor…

oleh Redaksi dibaca dalam: 6 menit
0