Opini

Pro Kontra Listrik Sampah Tujuh Kota di Indonesia

Oleh: Asrul Hoesein

Presiden Jokowi pada tanggal 13 Februari 2016 lalu telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar. Melalui Perpres itu pemerintah menegaskan dilakukannya percepatan pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (PLTSa) 2016-2018.

Namun Perpres No. 18 Tahun 2016 menuai pro-kontra dan memang sangat bertentangan regulasi persampahan yang ada, seharusnya pemerintah c/q Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menjadi motor penggerak kebijakan ini, sebelum mengajukan perpres ini ke Presiden Jokowi, mengadakan penelitian dari segala aspek. Jelas Perpres No. 18 Tahun 2016 ini lahir secara prematur atau tergesa-gesa, seakan Menteri KLHK mengejar target prestasi kepada Presiden Jokowi yang sangat perhatian pada kondisi sampah Indonesia. Akankah presiden dan wakil presiden mengetahui hal ini?

Sejumlah organisasi advokasi lingkungan dan perorangan tergabung dalam komunitas “Tolak Bakar Sampah” menolak Perpres No. 18 Tahun 2016 dengan mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Telah diajukan ke MA pada tanggal 18 Juli 2016 oleh 15 orang pemohon perorangan yang berasal dari kota-kota yang menjadi sasaran Perpres 18/2016 dan 5 lembaga swadaya masyarakat yaitu Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), BaliFokus, KruHA, Gita Pertiwi dan Perkumpulan YPBB.

Alasan Penolakan Perpres PLTSa.

Setidaknya ada lima alasan yang mendorong komunitas Tolak Bakar Sampah ini mengajukan permohonan uji materi.

Pertama, Perpres Percepatan PLTSa hanya mempromosikan percepatan PLTSa teknologi termal, yang justru tidak ramah lingkungan. Padahal UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, khususnya Pasal 29 ayat (1) huruf g, melarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis.

Kedua, lepasan pencemar berbahaya dan beracun dari PLTSa, termasuk pencemar yang bersifat persisten dan sulit dipulihkan kembali, sehingga bertentangan dengan UU Pengelolaan Sampah, UU No. 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan, dan Ratifikasi Konvensi Stockholm.

Ketiga, percepatan PLTSa bertentangan dengan asas dan tujuan UU Pengelolaan Sampah, yang secara eksplisit menghendaki perubahan paradigma pengelolaan sampah ke arah pengurangan, komprehensif dan tidak hanya berfokus pada timbunan sampah di hilir (sentralisasi atau di TPA), tapi UU Pengelolaan Sampah mengamanatkan pengelolaan sampah dilaksanakan di hulu (desentralisasi atau pengelolaan di sumber timbulan sampah).

Keempat, Perpres Percepatan PLTSa yang mengizinkan konstruksi dimulai sebelum pengembang mendapatkan Izin Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan bertentangan dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kelima, berkaitan dengan skema penunjukan langsung terhadap pengembang PLTSa, pembebanan biaya pembangunan proyek dan biaya pembelian listrik, yang sesungguhnya tidak layak secara ekonomi di dalam APBN, terdapat potensi pelanggaran UU Jasa Konstruksi dan UU Ketenagalistrikan.

Ketidaksiapan Lahan dan Tanpa Master Plan Persampahan

Pemerintah agar berhati-hati dalam proyek-proyek percepatan, khususnya mengenai persampahan. Jangan sampai menggunakan alur yang bertentangan dengan logika dan tujuan AMDAL dan Izin Lingkungan, serta berpotensi menempatkan pertimbangan lingkungan hanya sebagai formalitas. Pemerintah harus taat perundang-undangan. Karena akan berdampak pada pelanggaran hukum, khususnya pelanggran UU. Tipikor.

Kondisi sampah Indonesia memang memasuki tahap darurat sampah, sangat kronis. Namun sebenarnya yang kronis adalah “oknum birokrasi yang diduga banyak bermain curang dalam pengelolaan sampah dan ditambah kronis dengan membuat solusi percepatan tapi melabrak aturan lainnya. Seluruh pemerintah daerah yang menjadi sasaran Perpres 18 Tahun 2016 ini hanya membicarakan penganggaran tanpa melalui sebuah penelitian matang di lapangan, hanya bernapsu proyek insidentil saja, seharusnya menyiapkan Master Plan Persampahan lalu detailnya atau Development Enginering Design (DED) termasuk kesiapan teknologi tanpa bakar sampah yang berbasis komunal, untuk menghindari kerugian baik dipihak investor maupun pada pemerintah dan masyarakat, yang ujungnya akan menjadi proyek mubadzir karena tanpa memperhatikan azas manfaat.

Satu contoh yang pasti keliru adalah rencana PT. Jakarta Provindo (Jakpro salah satu BUMD Pemprov. DKI Jakarta) bersama mitranya dari Finlandia rencana menarik Tipping Fee Rp.500.000/Ton sampah, padahal Tipping Fee saat ini sekitar RP.125.000/Ton sampah. Jelas angka Rp.500.000 ini sangat tidak masuk akal. Seharusnya sampah itu dikelola dengan berorientasi ekonomi (investasi) bukan orientasi proyek (biaya APBD). Artinya MoU yang pernah di tanda tangani oleh Pemprov. Jakarta (PT, Jakpro) dan Investor dari Finlandia tersebut seharusnya ditinjau ulang, bila tidak akan menuai resistensi dan kerugian disemua pihak.

Pembangunan PLTSa ini sangatlah bermasalah bila pemerintah memaksakannya, disamping melanggar regulasi persampahan (khususnya Pasal 13 UU.18 Tahun 2008) juga akan terbentur di lahan pengelolaan PLTSa tersebut. Dari 7 (tujuh) wilayah pemerintah kota yang menjadi obyek sasaran Perpres 18 Tahun 2016 tersebut, antara lain DKI Jakarta sangatlah bermasalah karena terbentur masalah lahan, untuk pengelolaan 1000 Ton/hari (malah Jakarta rencana 2200 Ton/Hari, sangatlah susah terwujud untuk memperoleh lahan di DKI Jakarta). Begitu juga Kota Surakarta harus terlebih dahulu menginkat kerjasama dengan pemerintah daerah tetangganya, karena volume sampah Kota Surakarta tidak mencukupi 1000 Ton/hari. Kota Makassar lebih tidak memungkinkan lagi, bila pembangunan PLTSa tersebut akan ditempatkan di area TPA Kota Makassar, yang memang sudah tidak layak lagi sebagai lokasi pengelolaan sampah. TPA Kota Makassar seharusnya diadakan penutupan TPA karena posisinya sudah tidak valid lagi sebagai TPA dengan hanya berjarak sekitar 5 meter dari perumahan penduduk. Sekedar difahami bahwa amanat regulasi sampah menghendaki pengelolaan sampah kawasan timbulan (kelola sampah tanpa TPA). Sementara dengan kebutuhan 1000-2200 Ton/hari tersebut, sama saja membangun TPA baru atau pengelolaan sampah di TPA.

Di beberapa pertemuan atau rapat tingkat menteri dan menteri kordinator, penulis yang juga sebagai anggota Komunitas Tolak Bakar Sampah (pengusul uji materi Perpres 18 Tahun 2016) selalu mengritisi masalah Perpres PLTSa ini dan juga memberi sekaligus memberi solusi, karena disamping kerugian-kerugian yang sudah diuraikan diatas, juga Perpres PLTSa ini berpihak pada konglomerasi (pengusaha besar) dan akan mengeruk dana rakyat yang tidak sedikit. Memang benar akan diserahkan pada BUMD setempat, tapi jelas BUMD ini akan menyerahkan pada pihak asing yang tentu mengedepankan teknologi bakar sampah (incinerator). Seharusnya pemerintah mendorong pelaksanaan pengelolaan sampah di hulu atau pengelolaan sampah di sumber timbulan sampah secara massif. Ini akan lebih cepat dan manusiawi serta pro rakyat dan tentu berkelanjutan. Karena pengelolaan secara komunal yang berorientasi ekonomi. Pengelolaan sampah di hulu, itulah merupakan solusi cerdas dalam penanganan sampah di Indonesia, buka solusi di hilir atau di TPA atau menunggu sampah tumpah di sungai atau lain tempat yang bukan peruntukannya.

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.
Bagikan
Penulis
Asrul Hoesein