Opini

Benarkah E-KTP Kita Sudah Elektronik?

Hingar bingar persidangan megakorupsi KTP elektronik (e-KTP) yang menyebut banyak nama besar di republik ini dengan potensi kerugian negara sebesar Rp2,3 trilyun tentu membuat kita semua prihatin. Namun yang membuat saya lebih prihatin adalah apakah sebenarnya KTP kita sudah benar-benar e (elektronik)? Atau hanya sekedar kosmetik biar terkesan keren dan hanya sekedar proyek untuk mengambil uang rakyat?

Ada pengalaman menarik, sewaktu kemarin mengantar anak membuat surat keterangan kependudukan dari kelurahan. Sesampai di kantor kelurahan, anak saya diminta agar e-KTP nya difotokopi untuk disertakan sebagai lampiran dokumen. Setelah dilampirkan, maka surat keterangan kemudian dibuat dengan cara diketik manual, semua kolom mulai dari nama, NIK (nomor induk kependudukan), alamat, tempat tanggal lahir, nama orang tua, dll diisi secara manual. Lucunya akibat salah input secara manual, surat keterangan tsb harus dikoreksi sampai empat kali karena beberapa data tidak sesuai dengan data yang sebenarnya.

Jelas kejadian tsb membuat saya takjub, bukankah seharusnya data pemilik e-KTP sudah ada dalam database kependudukan dan harusnya bisa dengan mudah ditarik (retrieved) dan ditampilkan hanya dengan menempelkan e-KTP tsb ke mesin pembaca (reader) yang diperuntukkan untuk hal tersebut? Atau jika, katakanlah mesin pembaca belum tersedia di kantor kelurahan tersebut harusnya dengan mengetikkan nomor pengenal unik, dalam hal ini NIK, data-data dalam e-KTP tersebut bisa ditampilkan dengan cepat dan akurat. Apalagi ini notabene dilakukan di kantor kelurahan tempat e-KTP tersebut berasal.

Pembaca pasti paham, jika Anda memiliki kartu ATM dari sebuah bank, maka saat anda memasukkan kartu tersebut ke mesin ATM yang terhubung, di daerah mana pun, maka data dalam kartu ATM tersebut, mulai nama pemilik sampai saldo tabungan yang tersedia akan ditampilkan dalam hitungan detik. Di dalam negeri dengan koneksi jaringan “ATM Bersama” sebuah kartu ATM dari sebuah bank bahkan bisa dipakai menarik uang dari mesin ATM bank lain. Tak hanya dalam negeri, bagi Anda yang sering menggunakan ATM di luar negeri, kartu ATM terbitan bank di Indonesia bisa dipakai untuk menarik uang di berbagai negara, selama mesin ATM-nya terhubung dengan suatu koneksi jaringan (untuk skala internasional misalnya dengan koneksi jaringan ATM Cirrus, Maestro, Visa Electron, dll).

Untuk jenis kartu elektronik lain, misalnya e-tol, data saldo dan riwayat penggunaan bisa diakses kapan pun dan dari mana pun dengan menggunakan mesin pembaca yang terkait (di gerbang tol, atau di mesin ATM sebuah bank tempat e-tol diterbitkan). Di Singapura, kartu elektronik untuk transportasi masal EZ-link bahkan bisa menampilkan riwayat penggunaan secara rinci sampai dua tahun ke belakang dengan cukup ditempelkan di mesin pembaca.

Atau dalam kasus akses data elektronik non fisik, pembaca pasti paham cara kerja surat elektronik (e-mail), akun media sosial, dll. Dengan memasukkan kombinasi nama pengguna (user name) dan kata sandi (password), Anda bisa mengakses data-data email atau akun lain dengan gawai apa pun dan dari mana pun.

Menyimak tayangan talkshow di sebuah tv swasta baru-baru ini, Boyamin Saiman, Kordinator MAKI (Masyarakat Antikorupsi Indonesia) mengatakan harga selembar kartu e-KTP yang di-mark-up dalam skandal megakorupsi kali ini mencapai angka Rp 16.000. Padahal biaya yang wajar seharusnya hanya Rp 2.000 saja, dengan perincian biaya sbb: Plastik PVC Rp 500, ditambah biaya pencetakan (chip, tinta, dll) Rp 1.500. Data tsb didapat dari penilaian BPKP. Masih menurut Boyamin, kartu e-KTP kita yang dilengkapi teknologi RFID (Radio-frequency identification) dibeli dari Prancis seharga Rp 3.000/lembar. Harga tersebut adalah harga wajar jika dibandingkan dengan harga kartu elektronik sejenis seperti kartu ATM dengan magnit Rp 6.000, kartu elektronik dengan RFID Rp 8.000 dan kartu kredit dengan secured chip yang tidak sampai Rp 10.000 per lembarnya.

Jadi andai saja, proyek e-KTP sejatinya untuk digitalisasi data kependudukan sebenarnya tidak diperlukan jenis kartu yang canggih. Sebab setelah data-data kependudukan seseorang di-input di kantor kecamatan, maka cukup didigitalisasi dengan QR-code, lalu dicetak diatas kertas biasa, dengan mesin pencetak (printer) biasa seharga Rp 500 ribu-an, lalu dilaminating, digitalisasi data penduduk sudah bisa dilakukan dengan biaya super murah. Dan alat pembaca (reader) data penduduk dengan QR code, tidak perlu mesin canggih, bahkan dengan ponsel murah berkamera pun data e-KTP seseorang sudah bisa diakses. Bahkan lebih sederhana lagi, cukup dengan memasukkan NIK, data kependudukan seharusnya sudah bisa terbaca oleh alat yang diberi akses.

Contoh kartu nama biasa dengan QR-code yang datanya bisa dibaca ponsel berkamera (sumber: youtube)

Jadi jika sampai hari ini e-KTP masih butuh untuk difotokopi untuk keperluan apa pun, maka sungguh kita bisa mempertanyakan benarkah e-KTP kita sudah elektronik atau masih sebatas kosmetik dan sekedar proyek bancakan sejumlah orang sebagai alasan untuk mengambil uang rakyat?

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.
Bagikan

Komentar

  • Benar skali, Pak Dadang, cukup dengan simple image QRCode semua data yg tertera di KTP bisa dimasukkan, dan ukurannya bisa cukup kecil, dan masih bisa discan oleh camera aplikasi di smartphone.

    Dua hari lalu saya mangajukan pengaduan terkait ini, dan meminta kemendagri mencetak QRCode image ini pada bagian ektp. Supaya kami para pengembang apliasi mobile bisa dgn mudah melakukan scan data terhadap ektp tanpa harus integrasikan mesin reader ektp yg notabene hanya bisa diintegrasikan ke perangkat PC saja.

Penulis
Dadang Syahid