Meski Fisik Terpenjara Bukan Berarti Jiwa Tak Bisa Merdeka

Sebuah Catatan tentang Pembinaan Masyarakat yang Mengalami Disintegrasi Sosial di Lembaga Pemasyarakatan

Oleh: Ira Deviani

Jika bicara tentang penjara, sebuah imaji mengerikan terbersit di pikiran, membuat diri tiba-tiba sesak nafas, membuat jantung tiba-tiba berhenti, membuat darah tiba-tiba tak mengalir, membuat otak tiba-tiba beku, membuat mata tiba-tiba gelap, membuat bumi tiba-tiba oleng, membuat semua sendi kehidupan mendadak mati,seolah olah kiamat kecil terjadi. Penjara adalah sebuah hukuman pencabutan hak bebas seseorang untuk menjalani proses dikurung dalam suatu tempat berjeruji besi, bergembok, dengan pengawasan ketat dari para sipir penjara dalam kurun waktu tertentu, tergantung kesalahan atau dosa yang dibuat seseorang untuk memberikan efek jera pada para pembuat dosa yang tertangkap, terbukti dan terhukum.Mereka dipisahkan dari keluarganya, masyarakat sekitarnya, agar yang bersangkutan kembali sadar untuk tidak mengulangi dosa-dosanya. Pemahaman masyarakat tentang penjara masih begitu menyeramkan dan menakutkan, hingga kata Nusa Kambangan seperti sebuah tempat yang terpisah dari Nusantara sebagai neraka dunia.

Dalam tulisan kali ini saya ingin berbagi pengalaman dua tahun terakhir saya langsung menjadi saksi bagaimana kondisi penjara tidak seseram yang kita kira. Kata “penjara” sudah tidak lagi digunakan, kata napi dan sipir sudah tidak lagi terdengar. Bagaimana dalam Sistem Pemasyarakatan yang dibangun sekarang begitu manusiawi, hak dasar manusia dalam beribadah dan berkarya sangat difasilitasi oleh Unit Pelaksana Teknis (Lapas Dan Rutan) di seluruh Indonesia. Kondisi Lapas dan Rutan dengan bangunan fisik modern, dan lingkungan yang bersih tiba-tiba mengubah semua pikiran kotor tentang penjara . Dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia dewasa ini, istilah “napi sudah diganti dengan istilah WBP singkatan dari Warga Bina Pemasyarakatan, kata “sipir” sudah berubah menjadi Petugas Pemasyarakatan, dan istilah “penjara” sudah berubah jadi Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan. Istilah tersebut dinilai lebih manusiawi, humanis, tanpa diskriminasi sebagai manusia.

Dalam Sistem Pemasyarakatan saat ini dibangun sebuah pelayanan paripurna dari Petugas Pemasyarakatan pada para WBP, bagaimana sosok petugas pemasyarakatan memiliki peran, fungi, tugas dan tanggung jawab sebagai mentor, motivator, fasilitator dan kontroler bagi para WBP. Bagaimana nilai empati, kepedulian, dan kemanusiaan begitu dijunjung tinggi. Nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi tersebut atas dasar pemikiran bahwa setiap orang yang mengalami disintegrasi sosial terhadap seseorang, akibat melakukan kesalahan yang melanggar nilai dan norma hukum, agama, dan sistem masyarakat, maka orang yang melanggar hukum tersebut wajib ditemani, diberdayakan, dan dibimbing untuk kembali ke masyarakat saat bebas nanti dalam proses re-integrasi sosial. Pengertian ditemani, sebagai bentuk dukungan untuk kembali bangkit dari rasa terpuruk, kecewa, marah, takut dan frustasi, agar kembali menjadi manusia-manusia yang sadar, menerima hukuman dengan gentle, bertanggungjawab, dan kembali menjadi insan yang memiliki kesehatan mental, menjadi manusia berkarya dan bermartabat walau berada dalam fisik dan lingkungan yang terbatas.
Sebagai bagian dari masyarakat yang merasa ikut bertanggungjawab untuk sama-sama mendukung sistem pemasyarakatan, perlu partisipasi aktif dari seluruh masyarakat untuk membantu para petugas pemasyarakatan dalam melaksanakan tugasnya, Karena resiko pekerjaannya begitu tinggi sehingga mampu memicu tingkat stress tinggi. Mereka juga adalah manusia biasa, yang punya keluarga, masalah pribadi yang tentu nya tidak bisa menolak tugas di lapangan. Karena itu sudah menjadi tanggung jawab sebagai abdi negara. Selain itu kita juga mampu mengubah sudut pandang kita pada saudara-saudara kita yang sedang berada dalam pembinaan Lembaga Pemasyarakatan bahwa mereka adalah manusia-manusia yang mampu bertaubat dan layak diterima kembali oleh keluarga dan masyarakat setelah mereka bebas nanti.

Tulisan ini saya buat khususnya untuk mengubah paradigma masyarakat tentang dunia penjara, tak ada manusia yang terus benar, tak ada manusia yang terus salah, yang ada adalah manusia yang terus belajar. Maka walaupun fisik boleh terpenjara, tapi jiwa harus merdeka. Baru-baru ini saya sangat kagum dengan terbitnya sebuah buku yang ditulis oleh WBP di Lapas Perempuan Tangerang. Buku yang berjudul “Surat untuk Mama” ini diluncurkan saat Hari Bakti Pemasyarakatan tanggal 27 April 2017 di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Jl Veteran No 11 Jakarta. Fisik berada di Lapas, tapi pikiran mampu dituangkan melalui tulisan dalam sebuah buku.

Selain menerbitkan buku, karya-karya WBP lainnya pun sangat mencengangkan dalam berbagai bentuk buah karya yang tak kalah dengan para pengrajin yang bebas, para produsen produk dan jasa yang bebas tak berada di dalam penjara. Buah hasil karya ini akan melatih mereka untuk memiliki keterampilan untuk menopang kehidupan ekonominya kelak saat mereka kembali ke masyarakat.

Sebuah renungan bagi kita masyarakat yang bebas secara fisik dan sering menghakimi. Berapa banyak karya yang sudah kita buat? Jika belum ada, siapakah sebetulnya yang terpenjara? Tulisan ini sebagai renungan diri saya pribadi, jika WBP sanggup jadi penulis, mengapa saya yang bebas tidak menulis?

**

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.

Satu komentar untuk “Meski Fisik Terpenjara Bukan Berarti Jiwa Tak Bisa Merdeka

  • 7 Mei 2017 - (17:19 WIB)
    Permalink

    Jangan lupa sarana dan prasarana fisik Lapas juga harus ditingkatkan, terutama jumlah WBP yg melebihi kapasitas daya tampung dan rasio jumlah petugas yg memadai.

 Apa Komentar Anda?

Ada 1 komentar sampai saat ini..

Meski Fisik Terpenjara Bukan Berarti Jiwa Tak Bisa Merdeka

oleh Ira Deviani dibaca dalam: 3 menit
1