Pengalaman

Wisata Menjelajahi Negeri Turki – Bagian 2

Bagian 2. Melintasi Teluk Tanduk Emas dan Menyeberangi Laut Marmara

Sambungan dari bagian 1.

Tidur nyenyak malam itu, tapi pukul 04.00 sudah terjaga karena suara adzan di HP yang pengaturannya masih untuk Bandung berbunyi. Subuh di Istanbul sebenarnya pukul 05.46 akibatnya waktu tidur relatif sebentar hanya 4 jam saja. Acara Senin 9 Oktober 2017 setelah sarapan pagi menuju ke Bursa dengan melintasi Galata Bridge di atas Teluk Golden Horn lalu menyeberangi Laut Marmara dengan kapal fery menuju pelabuhan dekat Yelova. Rencana semula dalam perjalanan akan beristirahat untuk tidur tapi urung karena sepanjang perjalanan mulai dari Istanbul sampai tiba di Celik Palas- Grand Swissbell Hotel Bursa pukul 20.00 panorama dan tempat-tempat persinggahan teramat menawan sehingga sayang kalau terlewatkan.

Jalan mulus dan lebar di dalam kota berlanjut ke jalan bebas hambatan tanpa terganggu macet suasana pagi saatnya penduduk mulai beraktifitas menuju tempat kerja. Tata kota lama dipertahankan sementara kota baru ditempatkan di kawasan yang perhitungannya matang sehingga tampak suasana asri, nyaman dan indah dipandang. Jembatan Galata yang menghubungkan kota tua dan kota baru Istanbul sepanjang 490 m dan lebar 42 m dibuat dua tingkat di mana tingkat bawah difungsikan untuk sejumlah restoran dan kafe. Tingkat atas selain sebagai lintasan kendaraan bermotor juga dapat dilewati pejalan kaki untuk menikmati keindahan pemandangan laut sementara bagian tengah untuk jalur trem. Lalu-lalang kapal yang melintas dalam pelayarannya juga tidak terhambat karena ketinggian jembatan telah diperhitungkan dengan matang.

Dermaga penyeberangan kapal fery

Siang hari pukul 11.00 sampailah di dermaga penyeberangan kapal fery yang menuju ke kota kecil Yelova. Perjalanan laut yang menawan selama satu jam digunakan untuk berburu objek sasaran kamera tanpa lelah, semua peserta riang gembira. Dari Yelova perjalanan menuju Bursa rombongan berhenti sejenak untuk berbelanja oleh-oleh khas Turki semacam dodol dengan aneka rasa (terkenal dengan istilah “Turkish Delight”). Tempat belanja oleh-oleh kali ini di Munira Delight yang pemanisnya menggunakan madu murni tanpa gula (berbeda dengan Turkish delight yang umum dijual di Istanbul). Lanjut menuju Rumah Makan Kofteci Yilmaz untuk makan siang dan sekaligus melaksanakan kewajiban Zuhur Asar kemudian istirahat sejenak.

Daerah tujuan wisata berikutnya mengunjungi Cumalikizik Village sebuah perkampungan penduduk yang dipertahankan keasliannya, bahkan ada sebuah mesjid kecil dan rumah penduduk yang mendapat pengakuan UNESCO sebagai bangunan cagar budaya.

Dari lahan tempat parkir bus kami harus berjalan menanjak menuju titik sasaran selama 15 menit melalui jalan batuan nirbentuk (‘dibalay’ menurut istilah Bahasa Sunda), menariknya lagi saluran air yang berfungsi sebagai drainase terbuka mengalirkan air jernih berada pada bagian tengah jalan tidak di bagian pinggir sebagaimana lazimnya. Di kiri kanan jalan berjejer kios-kios kerajinan tangan khas desa tsb dengan bahan alami yang tersedia, harganyapun relatif murah. Perjalanan ini mengingatkan penulis ke kampung Baduy Luar di Ciboleger Provinsi Banten sebuah komunitas manusia yang mempertahankan kedekatan dengan alam.

Selesai menyigi desa adat Cumalikizik perjalanan menuju ke Ulu Cami (Mesjid Agung) Bursa. Bangunan tua yang megah ini juga punya keunikan tersendiri karena pada bagian tengah interiornya terdapat kolam berbentuk lingkaran dengan diameter kira-kira 3 atau 4 m yang airnya disalurkan melalui pancuran untuk berwudu. Kebersihan dan kenyamanan tempat berwudu ini terjamin dengan baik bahkan untuk mengeringkan muka dan tangan setelah berwudu tersedia juga handuk kecil yang sesudah dipakai seseorang langsung dimasukkan ke wadah penyimpan cucian. Jadi handuk yang kita pakai benar-benar bersih bukan bekas pakai.

Karena waktu sholat Magrib belum sampai rombongan hanya melaksanakan solat sunat tahiyatul masjid saja. Barulah setelahnya rombongan dibawa ke Green Mosque (Mesjid Hijau) atau Yesil Cami dengan lama perjalanan bus tak sampai 15 menit karena berdekatan. Mesjid ini dibangun atas perintah Sultan Celebi Mehmet pada tahun 1419 dan selesai 1421. Ukurannya lebih kecil dari Ulu Cami tapi punya keunikan tersendiri yaitu ornamennya hasil karya kerajinan tangan (hand made) yang beraneka ragam coraknya. Di seberangnya terdapat bangunan Maosoleum, Madrasah dan Hammam (pemandian khas Turki sejak berabad-abad lalu,)

Hammam merupakan adaptasi dari kebudayaan Romawi, “Roman Bath” atau tempat pemandian umum, (termasuk layanan pijat untuk pria oleh pria dan sauna) yang disesuaikan dengan budaya Islam, sehingga umumnya dikhususkan hanya untuk kaum pria dengan aturan-aturan yang ketat.

Kesempatan untuk melaksanakan solat Magrib dan Isya terlaksana di mesjid ini tetap dalam cuaca yang dingin sehingga air wudu terasa menusuk sampai ke tulang.

Selepas dari mesjid pukul 19.00 ibu-ibu memaksa untuk bisa masuk ke Silk House padahal waktu itu sudah saatnya toko tutup. Atas kepiawaian Sercan Abey, sang pemandu lokal, bernegosiasi akhirnya pengelola bersedia untuk menerima rombongan dengan sarat pintu terkunci untuk menghindari masuknya pengunjung lain.

Akhirnya selesai juga petualangan kami hari itu, dan bus meluncur menuju Celik Palas untuk beristirahat dan mempersiapkan kesegaran jasmani untuk perjalanan berikutnya menuju Kusadasi.

Balubur Limbangan, 31 Oktober 2017

Bersambung ke bagian 3.

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.
Bagikan