Dari Gili Tramena ke Nami Island

Sebuah Catatan Perjalanan, Bagaimana Korea Selatan Mengelola Destinasi Wisata

Oleh dr. Fathul Djannah, Sp.PA.

Korea Selatan adalah salah satu negara di Asia yang berhasil memanfaatkan bonus demografinya – di mana jumlah penduduk dengan usia produktif lebih banyak, dengan membuka banyak lapangan pekerjaan termasuk pariwisata. Indonesia diperkirakan akan mengalami puncak bonus demografi pada tahun 2030.

Korea Selatan dengan luas wilayah hampir sama dengan pulau Jawa yaitu sekitar 100 km2, namun dengan jumlah penduduk hanya separuh dari Jawa yaitu 50 juta orang, dengan 10 jutanya tinggal di Seoul, ibu kota negara.

Tanggal 19 April kami, rombongan berjumlah 38 orang berangkat melalui Bandara Sukarno-Hatta dan setelah 8 jam perjalanan kami tiba di Incheon sekitar pukul 8 pagi. Waktu di Korea Selatan lebih cepat 1 jam dibandingkan Lombok. Suhunya sekitar 16 derajat, sejuk.

Keluar dari bandara, kami langsung menuju ke bis dengan menyeberang jalan. Bagi kami yang terbiasa di Indonesia yang harus dilakukan adalah tengok kanan dan kiri dan bila kosong langsung saja nyebrang. namun tour guide kami yang asli Korea (namun fasih berbahasa Indonesia) tiba-tiba berteriak lantang,

“Lampu merah, jangan nyebrang!!!”, Baru kami lihat memang ada lampu lalu lintas dengan lampu berwarna merah yang menyala. Satu hal yang bisa diadopsi dari Korea, disiplin yang tinggi termasuk menaati lampu merah.

Bersih. Itu kata pertama yang terlintas di pikiran saya. Jawabannya saya dapat ketika tour guide menjelaskan tata tertib. Pemerintah Korea Selatan menetapkan denda bagi warga atau pengunjung yang membuang sampah sembarangan. Besarnya denda tergantung dari besar sampah yang dibuang. Kalau kertas tisu denda mencapai 50 ribu won atau sekitar Rp650 ribu. Bila bis kotor maka pengelola travel akan kena denda sehingga kami dilarang makan di atas bis. Selama perjalanan, penumpang harus selalu memakai seatbelt kalau tidak kena denda.

Tujuan pertama kami kali ini adalah Nami Island, sekitar 2 jam perjalanan dari Seoul.

Nami Island adalah pulau milik pribadi yang kemudian dijadikan taman dengan begitu banyak pohon termasuk pohon sakura yang mempunyai 3 warna yaitu merah, merah muda dan putih. Terdapat pula makam Jenderal Besar di Korea Selatan yaitu Jendral Nami yang akhirnya dijadikan nama pulaunya. Luas Nami Island sekitar 6 km2, hanya sepertiga dari luas pulau Gili Trawangan di Lombok. Namun tidak ada hotel.

Ada banyak penjual makanan, namun tidak “ngure”, yang dalam bahasa Sasak berarti berantakan. Sebaliknya para pedagang di sana tertata dengan rapi. Juga tidak terlalu banyak sehingga kebersihan dan kerapiannya selalu terjaga. Suatu hal yang sulit kita dapatkan di daerah wisata di Indonesia.

Nami Island kini menjadi destinasi wajib bila berwisata ke Korea Selatan. Bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia yang memiliki banyak pulau.

Untuk mencapai Nami Island dibutuhkan kapal ferry untuk menyebrangi Buk Han/Buk River selama 5 menit. Kapal gratis, indah bersih dan teratur. Pengunjung hanya butuh 10 menit untuk menunggu antrian.

Selanjutnya perjalanan selama 3 jam menuju arah Mount Sorak, mengingatkan saya pada Gunung Sembalun di Lombok. Menginap di sana semalam dan cukup meresahkan saat sulit untuk memejamkan mata.

Keesokan paginya rombongan langsung menuju Mount Sorak untuk naik cable car dan melihat salju dan bunga sakura yang merekah. Namun sayang saat kami berkunjung cable car tidak dapat digunakan karena angin yang terlalu kencang.

Hari itu bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, 21 April. Kami rombongan yang hampir seluruh pesertanya adalah perempuan, dengan berkebaya berjalan menuju gunung. Menembus tantangan dan kebiasaan. Perjalanan wisata dengan memasukkan unsur sejarah dari negara tersebut. Ada cerita unik tentang Mount Sorak ini, konon warga Korea Utara tidak boleh masuk ke Korea Selatan, namun bisa bertemu setahun sekali di Mount Sorak dan waktunya pun hanya seminggu.

Di Lombok,  dan juga di seluruh daerah di Indonesia pastilah punya cerita khas daerah masing-masing, yang bila dikelola akan meningkatkan pariwisata Indonesia.

Yang juga menjaga ciri khas dari wisata ke Korea Selatan ini adalah semua wisatawan wajib datang ke tempat pusat oleh-oleh yang merupakan ciri khas dari Korea yaitu Ginseng, Kimchi, Seaweed dan Batu Ungu Amethyst. Juga wajib datang di Gedung Kerajaan Korea yang keasliannya tetap dipertahankan meskipun di sekitarnya adalah gedung-gedung pencakar langit. Mencoba baju tradisional Korea Selatan menjadi daya tarik sendiri.

Hal-hal seperti ini yang seharusnya dilakukan oleh para pemangku kepentingan pariwisata di Indonesia, yang pasti bisa juga mendongkrak pariwisata di Lombok khususnya dan Indonesia pada umumnya. Lombok punya museum NTB yang butuh sedikit perbaikan, cat baru yang eye catching dan tempat-tempat untuk berselfie ria.  Lombok juga punya makanan khas plecing kangkung yang sangat menarik karena kangkung Lombok yang besar dan kriuk hanya ada satu-satunya di dunia. Lombok juga punya mutiara. Lombok juga penghasil rumput laut yang selama ini, selama saya tinggal di Lombok, 15 tahun rumput laut hanya dimonopoli satu pabrik dan dijadikan dodol. Lombok punya Taman Narmada yang merupakan peninggalan kerajaan Bali yang dulu sempat berkuasa di Pulau Lombok. Lombok juga punya baju tradisional yang akan sangat menarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Sebuah peluang besar bagi pemerintah  untuk mendongkrak pariwisata.

Juga yang sangat menarik adalah ketika kami berada di Skywalk. Berjalan di atas kaca dengan pemandangan laut di bawahnya. Sektor swasta yang membuatnya namun bisa menjadi destinasi wajib bagi wisatawan yang berkunjung.

Perjalanan terakhir menuju N Seoul Tower dan terdapat pagar yang bisa untuk meletakkan gembok. Disebut sebagai Gembok Cinta. Suatu kebiasaan yang pasti akan sangat menarik buat anak muda, meski untuk sesuatu yang sebenarnya tidak masuk akal. Tapi apapun itu bisa menjadi salah satu destinasi wajib dan terkenal di Korea Selatan.

Ada hal yang menarik saat kami bersantap di restoran di hotel dan rumah makan, umumnya hanya dilayani oleh 2 orang pelayan/waiters yang melayani hampir 100 orang tamu. Untuk membereskan meja, para pengunjung dibiasakan untuk mengangkat sendiri piring kotor dan peralatan makan lainnya ke tempat yang telah disediakan setelah kami selesai bersantap.

Jumlah wisatawan yang datang ke Korea Selatan semakin meningkat hampir 50% dalam 3 tahun terakhir ini. Ini adalah salah satu cara Korea Selatan bisa memanfaatkan bonus demografi dengan membuka lapangan pekerjaan di bidang pariwisata selain juga sebagai pusat industri teknologi tinggi, ponsel pintar (smartphones).

Tahun 2030 diperkirakan Indonesia pun akan mengalami puncak bonus demografi. Masih ada waktu bagi pemerintah, sektor swasta dan kita semua untuk mengambil langkah dengan mengoptimalkan semua sumber daya yang dimiliki untuk meningkatkan potensi pariwisata yang kita miliki.

Korea Selatan di musim semi dengan bunga-bunga yang bermekaran dan suhu 10 derajat memberi pengalaman yang akan selalu dikenang.

Berikut video singkat perjalanan kami ke Korea Selatan edisi khusus Hari Kartini:

https://youtu.be/lkkeKY70Mu4

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.

 Apa Komentar Anda?

Belum ada komentar.. Jadilah yang pertama!

Dari Gili Tramena ke Nami Island

oleh dr. Fathul Djannah, SpPA | Universitas Mataram dibaca dalam: 4 menit
0