Kemacetan Jalan Tol, Jer Basuki Mawa Beya

Oleh Dadang Syahid

Bagi Anda pengguna jalan tol Jakarta – Cikampek kemacetan saat ini bukanlah sesuatu yang asing. Jarak Jakarta Bandung yang sekitar 130 km ditempuh dalam waktu 5 sampai 6 jam itu artinya kecepatan rata-rata yang bisa dicapai pengguna jalan tol adalah sekitar 26 km per jam.

Kemacetan tersebut disebabkan oleh adanya proyek pembangunan jalur kereta LRT dan juga pembangunan jalan layang Tol Cikampek atau umum disebut sebagai elevated toll road. Pengguna jalan tol benar-benar diuji kesabarannya. Jika meminjam istilah yang sering digunakan di zaman Orde Baru ada kalimat yang sering diucapkan oleh Presiden Soeharto kala itu, bahwa setiap pembangunan tentunya memerlukan pengorbanan dari masyarakat. Dalam bahasa Jawa Pak Harto biasa mengatakan “jer basuki mawa beya”, dalam terjemahan bebasnya, setiap kesuksesan butuh pengorbanan. Yang menarik dalam kasus kemacetan jalan tol saat ini adalah siapa yang membayar “beya” dan siapa yang menikmati “basuki”?

Jika lantas “basuki” diartikan sebagai tuntasnya persoalan kemacetan, menjadi pertanyaan menarik sekarang adalah, apakah pengorbanan terjebak kemacetan pengguna jalan tol pembangunan jalan tol akan menyelesaikan persoalan tersebut?

Pertama-tama kita harus memahami dahulu tentang konsep jalan tol. Jalan tol adalah jalan berbayar yang dana pembangunannya dibayar oleh para pengguna. Investor pengusaha hanya mengeluarkan dana di awal berupa investasi pembangunan. Lalu kemudian investasi tersebut akan dibayar secara bersama-sama oleh para pengguna jalan tol – dalam hal ini sebagai konsumen jalan tol dan seiring waktu berjalan setelah modal awal investasi berhasil dikembalikan (ROI, return on investment) maka selanjutnya para konsumen akan membayar keuntungan bagi investor atau pengusaha jalan tol.

Karenanya saya seringkali terheran-heran jika melihat reaksi masyarakat yang selalu menyambut gembira setiap kali berita suatu ruas jalan tol diresmikan oleh pemerintah. Bagi masyarakat umum atau masyarakat kebanyakan mereka merasa bahwa jalan tol adalah solusi untuk mempercepat transportasi mereka.

Padahal sesungguhnya itu absurd, analoginya sama saja seperti jika misalnya di sebuah kampung dibangun hotel lalu masyarakat sekitar bertepuk tangan gembira karena berpikir hotel tersebut akan menjadi solusi bagi tempat tinggal mereka. Mereka lupa bahwa meski hotel tersebut terbuka untuk semua orang, ada syarat mutlak yang harus dipenuhi, mereka harus bayar! Begitu juga dengan jalan tol, terbuka untuk siapapun, dengan syarat harus membayar. Hotel adalah bisnis, begitu juga jalan tol. Perhatikan saja, komponen penyusun tarif jalan tol selalu disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mengikuti parameter-parameter pasar (bisnis). Sebagai sebuah bisnis, sama seperti hotel, jika tarif sudah ditetapkan, tak peduli Anda kaya atau miskin, maka tarif yang sama akan diberlakukan.

Konsep jalan tol sangat berbeda dengan jalan umum yang dibangun oleh pemerintah. Dalam hal jalan umum, biaya pembangunan diambil dari APBN/APBD yang dibiayai oleh pajak. Dalam konsep jalan umum, orang yang miskin membayar lebih sedikit (bahkan tidak membayar jika penghasilannya tidak kena pajak) dan orang kaya membayar lebih banyak. Jadi saat menggunakan jalan umum tsb, “tarif” yang dibayar berbeda, bergantung pada kondisi ekonomi penggunanya, yang miskin membayar lebih murah, yang kaya membayar lebih mahal, inilah bentuk implementasi sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sangat berbeda dengan konsep jalan tol bukan? Dalam jalan umum berlaku hubungan rakyat dengan pemerintah, sedangkan dalam jalan tol, hubungan yang terjadi adalah hubungan konsumen dengan pelaku usaha.

Bagi masyarakat, jalan tol menjadi menarik karena umumnya jalan tol itu identik dengan jalan yang mulus dan lebar (meski banyak juga jalan tol yang jalannya berlubang). Sedangkan jalan raya identik dengan jalan jelek. Meski ada juga beberapa anomali, misalnya jika sesekali Anda berkunjung ke Lombok, Anda akan menemukan jalan raya yang menghubungkan Bandara Lombok dengan Kota Mataram, begitu mulus dan nyaman, sudah seperti jalan tol.

Menariknya, membandingkan hotel dengan jalan tol yang sama-sama adalah sebuah bisnis, jika pelayanan hotel tidak memuaskan konsumen bisa mengeluh dan meminta kompensasi. Bahkan jika hotel (sebagai bisnis) tidak mampu memenuhi standar pelayanannya atau tidak bersedia memberi kompensasi, konsumen bisa memilih hotel lain, konsumen punya liberti (kebebasan) untuk memilih, dalam kasus jalan tol yang tidak mampu memenuhi standay pelayanannya, konsumen tidak bisa menuntut kompensasi, pun karena tidak pilihan, konsumen hanya bisa “nerimo”.

Sekedar pengingat, sebenarnya pemerintah sudah mengatur standar pelayanan minimum jalan tol sbb:

Tolok ukur SPM yang diatur dalam Permen PU no.16/2014 menyebutkan delapan substansi pelayanan yaitu:

(1) Kondisi jalan tol
(2) Kecepatan tempuh rata-rata
(3) Aksesibilitas
(4) Mobilitas
(5) Keselamatan
(6) Unit pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan
(7) Lingkungan; dan
(8) Tempat Istirahat (TI) dan Tempat Istirahat dan Pelayanan (TIP)

Dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri PU no 16 tahun 2014 tersebut misalnya kecepatan rata-rata jalan tol dalam kota adalah 40km/jam dan luar kota 60km/jam. Juga diatur jumlah antrian kendaraan di gardu tol adalah maksimal 10 kendaraan dalam kondisi normal, atau maksimal kecepatan transaksi di gardu tol sistem terbuka adalah 6 detik. Lebih lengkap bisa dibaca dalam artikel Kenaikan Tarif Tol Belum Diikuti Pemenuhan Standar Pelayanan Minimum .

Dalam kondisi sekarang di jalan tol Cikampek (juga tol dalam kota), dengan kecepatan rata-rata hanya 26km/jam, sangat jauh dari SPM yang ditetapkan pemerintah 60km/jam. Pertanyaannya, saat SPM itu tidak dipenuhi, adakah kompensasi bagi konsumen pengguna jalan tol?

Hal-hal inilah yang masih belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat konsumen pengguna jalan tol. Kondisi psikologis masyarakat yang selalu bertepuk tangan gembira setiap kali sebuah jalan tol diresmikan, lebih karena masyarakat seolah sudah tak punya pilihan lain atas persoalan kemacetan yang mereka hadapi sehari-hari. Dan jika mau jujur, sebenarnya jalan tol bukanlah solusi atas kemacetan. Sebab, setiap kali jalan tol dibangun, persoalan kemacetan hanya teratasi sesaat, jalan umum jadi lebih lancar, jalan tol pun demikian. Namun seiring waktu, lancarnya lalu lintas merangsang permintaan baru bagi masyarakat untuk menambah jumlah kendaraan. Meminjam istilah para ahli tata kota kondisi ini disebut sebagai induce demand, atau rangsangan permintaan pasar (untuk menambah jumlah kendaraan).

Sementara itu bagi pebisnis jalan tol, makin banyak kendaraan konsumen yang menggunakan makin banyak pula pemasukan mereka. Macet? Bukan urusan mereka. Ibarat hotel, selama banyak konsumen yang rela membayar, makin banyak pula pemasukan mereka, tak peduli jika misalnya satu kasur king size harus dijejali sepuluh orang, dan konsumen lainnya rela tidur di lantai kamar. Hebatnya jalan tol, selain tidak ada sanksi tegas atas tidak terpenuhinya SPM, bisnis mereka dilindungi konsesi bisnis jangka panjang dari pemerintah sampai puluhan tahun.

Sejatinya, kata “tol” yang diserap dari bahasa Inggris “toll’ berarti “bayar”, jadi sebenarnya tidak ada hubungan dengan jalan bebas hambatan (highway), macet tidak macet, yang penting bayar.

Maka jika konsumen menderita atas kemacetan di jalan tol sekarang, meminjam istilah zaman Pak Harto dulu tadi, “jer basuki mawa beya”, pertanyaannya adalah, basuki untuk siapa, dan beya untuk siapa? Yang sudah jelas kasat mata adalah, basuki (baca: fulus) untuk pengusaha jalan tol, dan beya (baca: penderitaan) untuk konsumen.

*Tol Cikampek 8 Mei 2018, ditulis saat sedang menikmati kemacetan parah di jalan tol Cikampek.

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.

 Apa Komentar Anda?

Belum ada komentar.. Jadilah yang pertama!

Kemacetan Jalan Tol, Jer Basuki Mawa Beya

oleh Dadang Syahid dibaca dalam: 4 menit
0