Opini

The Power of Branding: Mencari Branding Kota Mataram

Oleh M. Ramadhani

Seorang kawan birokrat muda Pemerintah Kota Mataram melempar gagasan tentang “branding” kota (city branding). Mendadak muncul banyak sekali ide dan gagasan. Bahkan ada yang menyampaikan ide untuk dibuatkan sebuah sayembara. Menurut pengalaman banyak kota-kota besar, untuk melahirkan sebuah branding yang kuat perlu sebuah penelitian dan kajian mendalam.

Sementara itu, tengoklah di kawasan Lingkar Selatan, di ujung pintu masuk Kota Mataram dari arah Lombok International Airport (LIA), tengah sibuk 2 proyek megah: Pintu Gerbang Selamat Datang dan Monumen di Bundaran Jalan Gajah Mada-By Pass. Dua proyek ikonik yang akan menjadi landmark Kota Mataram. Banyak orang bertanya seperti apa bentuknya? Keingintahuan warga kota ini isyarat bahwa banyak warga kota yang berharap landmark ini akan menjadi kebanggaan mereka ketika menjemput tamu yang baru datang dari bandara atau masuk kota mataram. Sejenak mampir selfie, tak peduli matahari terik atau bahkan malah justru membuat lalu lintas macet. Jadi ingat memori dengan ketika mengajak seorang planolog muda yang tumben ke Ibu Kota Jakarta untuk berfoto di depan Monumen Nasional atau Patung Selamat Datang Bundaran HI Jakarta.

Entah apa dalam pikiran Soekarno membangun Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia di Jakarta. Yang jelas waktu itu, awal dekade 1960-an, belum ada teori branding Philip Kotler, bapak marketing dunia, yang mengeluarkan teori:

Branding Is a name, term, sign, symbol, or design or combination of them, intended to identify the goods or services of one seller or group of seller and differentiate them from those competitors.

Branding adalah entitas yang mudah dikenali dan menjanjikan nilai-nilai tertentu. Atau juga belum ada era pencitraan di era teknologi informasi melalui kekuatan sosial media. Nyatanya, Bung Karno mampu merepresentasikan pemikiran visionernya dalam sebuah branding Indonesia Raya yang ramah dan hebatnya lagi memvisualkan dalam bentuk landmark yang ikonik sepanjang zaman.

Dalam tulisan ini, penulis tidak ingin menyoal tentang pembangunan atau desain gerbang atau monumen yang akan dibangun Pemerintah Kota Mataram. Tetapi mencoba memahami bagaimana proses menciptakan branding itu dilakukan. Sehingga branding tersebut kemudian menjadi sebuah komitmen bersama, menjadi milik dan bahkan membuat bangga semua warga kotanya.

City Branding, Menggali Keunikan

City branding adalah upaya menjalankan prinsip-prinsip branding untuk sebuah kota. Tujuan branding dari suatu kota bisa macam-macam, seperti menarik wisatawan, investor, atau penghuni baru. Pada dasarnya, city branding memang tidak berbeda dari corporate branding atau product branding di mana prinsip-prinsip branding dijalankan. Dalam sebuah kolom, Rahmat Susanta, Pemimpin Redaksi Majalah Marketing menyebutkan bahwa intisari dari city branding adalah menyangkut awareness, image, maupun loyalty.

Pertama, awareness (kesadaran) yang kuat terhadap kota menjadi keuntungan bagi kota tersebut dan juga perlu dihubungkan dengan citra atau image dari kota tersebut. Misalnya saja, Kota Venesia terkenal dengan romantika berperahu di aliran sungai yang melewati rumah-rumah di kota itu. Ubud terkenal dengan lukisan dan seni patungnya. Yogyakarta terkenal sebagai kota pelajar. Adanya persaingan antarkota untuk menarik wisatawan dan investor membuat setiap kota perlu menciptakan positioning yang tepat.

Kedua, positioning inilah yang kemudian dituangkan dalam slogan maupun komunikasi kreatif kota. Ambil contoh Kota Kopenhagen (Copenhagen) yang menggunakan slogan “Open for You: cOPENhagen”.

Atau contoh lain Kota Amsterdam terkenal sebagai kota yang liberal, namun juga terkenal dengan kreativitas dan seninya. Oleh karena itu Amsterdam menggunakan slogan “I AMsterdam”. Huruf “I” di depan kata Amsterdam menunjukkan kebebasan dan keinginan pribadi yang bisa dilakukan di kota ini. Huruf tersebut juga menunjukkan nilai-nilai smart dan kreativitas.

Untuk menciptakan positioning dibutuhkan upaya untuk menggali keunikan-keunikan yang ada. Keunikan ini bisa berasal dari tempat wisata yang ada di kota tersebut, infrastruktur yang ada, sumber daya alam, budaya, perilaku masyarakat, dan lain-lain. Untuk itu riset perlu dilakukan terlebih dahulu guna menggali potensi yang ada. Riset tersebut juga harus membandingkan dengan kota-kota lain di sekitarnya atau kota pesaing. Dalam tulisan Rahmat Susanta, disampaikan 2 hal yaitu point of parity (unsur-unsur yang harus dimiliki oleh setiap kota) dan point of difference (unsur-unsur yang berbeda dibandingkan kota lain). Ketika berbicara point of difference, kota tersebut harus bertanya “Apa yang membuat wisatawan atau investor tertarik untuk berkunjung atau berinvestasi ketimbang ke kota lain?” Sementara ketika berbicara soal point of parity , maka harus dimunculkan pertanyaan “Apa yang penting harus dimiliki agar wisatawan atau investor tertarik untuk berkunjung atau berinvestasi?”

Yang sering dilupakan oleh kota ketika melakukan branding adalah partisipasi dari para stakeholder di kota tersebut. City branding bukanlah komitmen dari pemerintah semata. Pemerintah harus mengajak semua pihak di kota tersebut untuk ikut berkomitmen memasarkan kota. Tentu saja, penduduk di suatu kota tidak akan rela mengampanyekan kotanya jika mereka merasa tidak puas tinggal di kota tersebut. Oleh karenanya pemerintah kota juga harus membuat para penghuni merasa nyaman dan puas tinggal di sana. Brand loyalty menjadi tujuan akhir dari kegiatan city branding. Loyalitas diperlukan agar mereka bisa kembali lagi ke kota tersebut atau memberi rekomendasi kepada orang lain untuk datang ke sana.

Mataram, The Pearl of Lombok

Lalu apa awareness dan positioning Kota Mataram? Dalam beberapa kali perjalanan di luar kota, tidak sedikit orang dari luar Kota Mataram sulit memisahkan antara Lombok dan Kota Mataram. Harus diakui bahwa salah satu keunggulan Kota Mataram adalah berada di Pulau Lombok. Pulau yang dikenal dengan keindahan alamnya, religiusitas warganya dan kulinernya. Orang yang datang ke Pulau Lombok banyak menyangka semua Lombok adalah bagian dari Kota Mataram, padahal Senggigi adalah wilayah Lombok Barat, Bandara adalah wilayah Lombok Tengah, dan 3 Gili adalah wilayah Lombok Utara. Lalu Kota Mataram punya apa? Disebutlah kerajinan mutiara, kerajinan mebel cukli, kuliner pelecing kangkung dan ayam taliwang, dan event-event perayaaan keagamaan yang digabung dengan nilai nilai budaya lokal: Perayaan Lebaran Topat, Peringatan Maulud Nabi Muhammad, dan lain lain. Lalu bagaimana membedakan Kota Mataram dibanding kota/kabupaten lain yang ada di Pulau Lombok?

Dari banyak diskusi terbatas, kesimpulan penulis adalah fungsi dan peran Kota Mataram memang selama ini adalah menjadi hub (penghubung) dari semua destinasi wisata pulau Lombok. Hub yang baik adalah ibarat menjadi “guide” yang ramah, melayani, informatif dan tentu saja jujur kepada tamunya. Nah, pertanyaan lagi, bagaimana agar kota hub ini tidak sekedar menjadi “tempat perlintasan”? Tidak sekadar mendapat “debu kendaraan” yang sedang menuju destinasi wisata di kota lain? Kota Mataram harus menjadi “kota transit” yang menjadi “etalase terdepan” yang menyajikan informasi berbagai menu dan sajian berbagai atraksi wisata dan peluang investasi, tidak hanya untuk Pulau Lombok tetapi juga bagi Pulau Sumbawa. Sembari tamu tamu tersebut membelanjakan uangnya sebelum wisatawan mengunjungi tempat lain. Sehingga perlu regulasi yang “mewajibkan” pengusaha travel yang melintasi Kota Mataram untuk mengunjungi “destinasi wajib” agar makin lama berada di Kota Mataram.

Lalu bagaimana dengan usulan “Kota Mataram, The Pearl of Lombok”? Menarik juga. Secara filosofis, sepanjang sejarah peradaban manusia, mutiara adalah salah satu jenis batu mulia. batu mulia jenis ini diasosiasikan dengan kebijaksanaan, kesejahteraan, kemurnian, romantisme, dan misteri. Secara status sosial, mutiara adalah kelompok batu permata yang paling abadi, klasik dan dihargai. Begitu juga secara substansi material, Mutiara Lombok yang sentra kerajinannya ada di salah satu Kawasan di Kota Mataram, yaitu Sekarbela, merupakan mutiara memang sudah diakui dunia. Keunggulan mutiara lombok karena butiran mutiara yang dihasilkan besar besar dan kilainua juga lebih indah. Dan wajar saja jika Mataram berani mengklaim sebagai pusat mutiara, karena sentra kerajinan Emas Mutiara ada di Sekarbela, salah satu destinasi wisata di Kota Mataram. Bagi penulis, secara ril usulan diatas sangat layak untuk diusung:. Mataram, The pearl of lombok, Etalase terdepan Untaian Pesona Keindahan Lombok dan Sumbawa.

Branding adalah Milik Semua

Setelah disepakati sebagai sebuah branding, perlu diperkuat dengan komitmen semua stakeholder kota. Branding bukan hanya milik Pemerintah Kota Mataram. Semua perlu melibatkan diri untuk “menjual” branding tersebut. Sebagai “agen pemasaran”, perlu diidentifikasi warga kota yang bisa menjadi duta Kota Mataram yang akan mempercepat dikenalnya branding tersebut. Sebagai contoh saja, bisa saja tokoh yang berprestasi dari berbagai bidang yang bisa “menjual” Kota Mataram. Bisa saja ketokohan dalam ilmu pengetahuan, ketenaran dalam bermusik, prestasi dalam olahraga dan lain sebagainya. Tidak lagi hanya sekedar mengandalkan pemilihan melalui kontes kecantikan ala “kontes taruna dedare” yang sudah “usang”. Dalam rangka memperkuat branding ini juga bisa dibuatkan jingle iklan dalam bentuk lagu, logo atau bahkan dalam sebuah landmark kota. Nah di sinilah pentingnya “titik temu” dan konsistensi antara gerbang selamat datang, monumen dalam rangka memperkuat branding Kota Mataram.

Terbayang esok, di gerbang batas kota, tertulis: Selamat Datang di Kota Mataram, Welcome to Mataram City: The Pearl of Lombok, Etalase terdepan Untaian Kemilau Pesona Lombok dan Sumbawa, disambut dengan monumen Mutiara yang megah dengan pencahayaan yang kemilau…simbol kota yang romantis, sejahtera dan abadi…

*Penulis adalah warga Kota Mataram.

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.
Bagikan
Penulis
muhammad ramadhani