Revisi RTRW Kota Mataram, What Next?

Sah, and What Next? Catatan Pasca Revisi RTRW Kota Mataram

Oleh M. Ramadhani

3 Tahun 1 Bulan. Ya, kurang lebih selama itulah proses revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Mataram berjalan. Alhamdulillah, akhirnya persis Rabu, 30 Januari 2019 pukul 10.55 WITA bertempat di Grand Madani Hotel, dokumen RTRW resmi dinyatakan: SAH. Ibarat prosesi “ijab kabul”, yang disimbolkan dengan penandatanganan dokumen Peraturan Daerah Kota Mataram tentang Perubahan atas Peraturan Daerah No 12 Tahun 2011 oleh Walikota Mataram dan Ketua DPRD Kota Mataram.

Walikota merepresentasikan sifat hirarki tata ruang dari “atas ke bawah” (top down) sekaligus pula sebagai penanggungjawab perwujudan dan implementasi tata ruang, sementara Ketua DPRD adalah representasi dari kepentingan “arus bawah” (bottom up) warga kota selaku pemilik ruang kota. Dalam sambutannya yang sangat lepas dan santai, Walikota Mataram seperti usai melepas satu beban besar selama ini menumpuk di pundaknya, seraya mengucapkan Selamat Datang para investor di Kota Mataram. “Karpet merah” investasi telah digelar untuk membangkitkan “hambatan” ekonomi kota setelah diombang ambing oleh penantian proses penyusunan RTRW yang cukup panjang, terlebih-lebih ditambah dengan musibah gempa Lombok. Dengan nada penuh semangat sang Walikota berucap inilah momentum yang tepat untuk: Mataram bangkit, Mataram Move on.

Mengingat-ingat kembali perjalanan proses penyusunan RTRW sungguh banyak cerita. Dalam jejak digital tercatat, rapat pembahasan RTRW ini ada rekor rapat tercepat. Undangan 10.00 Dimulai 10.20 dan selesai 10.40 Hanya 20 menit. Ada juga rapat terpanjang hingga 2 hari. Plus loby-loby di sela-sela istirahat sholat di mushola lantai 8 Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia. Secara sarkasme, salah satu pejabat setingkat eselon 3 punya julukan untuk tim revisi RTRW Kota Mataram: “Pasukan Berani Mati”, dan ketemu setahun kemudian beliau berkelakar, ternyata “pasukan berani mati” Kota Mataram gak mati mati. “Salut dan Luar biasa,” ungkap pejabat ini dengan ketawa lebar yang khas.

Revisi Bukan Sekedar Ubah “warna”

Lalu apa sebenarnya isu-isu besar dalam perubahan RTRW ini? Apakah menjawab semua soal yang ditanyakan selama ini? Apakah yang secara substansi berubah? Ataukah hanya sekedar merubah “warna” peta? Di sisi lain, ekspektasi warga kota sebagai pemilik ruang, begitu besar. Perlu diingat RTRW yang di perdakan ini bukanlah perda yang baru sama sekali, namun merupakan Perda Perubahan (revisi) atas Perda sebelumnya yaitu Perda 12 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Mataram 2011-2031. Tentu dengan standar dan ketentuan yang ketat melalui aturan tahapan Peninjauan Kembali (reviu) RTRW. Setelah dilakukan tahapan reviu RTRW Kota Mataram cukup dilakukan revisi saja, artinya perlu dilakukan perubahan pada bagian bagian yang dianggap krusial untuk dilakukan perubahan.

Dalam perjalanan proses pembahasan revisi, yang “relatif sama” dengan penyusunan baru, sesuai Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 8 Tahun 20 sama 17 tentang Pedoman Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang, ada 5 (lima) hal substantif yang ditekankan yaitu

  1. Program strategis nasional,
  2. Pemenuhan ruang terbuka hijau (RTH),
  3. Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B),
  4. Kawasan hutan, dan terakhir
  5. Kawasan rawan bencana.

Singkat cerita, RTRW Kota Mataram “terganjal” pada 2 hal substantif yaitu pemenuhan RTH dan Penetapan LP2B dan plus satu lagi, adalah komitmen tindak lanjut atas indikasi pelanggaran tata ruang sebelum Perda RTRW ini direvisi.

Yang ingin penulis sampaikan bahwa perubahan RTRW ini bukanlah sekedar merubah “warna peta”. Semangat yang dibangun adalah semangat membenahi Kota Mataram agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan berulang yang sudah dialami kota kota besar di Indonesia ataupun berbagai negara berkembang. Kota Mataram masih dianggap bisa diselamatkan. Berulang kali diingatkan bahwa filosofi tata ruang adalah agar ruang bisa tetap aman, nyaman, produktif tetapi juga tetap memperhatikan aspek keberlanjutan. Pembahasan dan kesepakatan komitmen perwujudan RTH adalah bagian terpanjang dari proses pembahasan.

Disusul lagi dengan penetapan LP2B untuk memastikan secara regional dan nasional warga kota sanggup “hidup” dengan lahan pertanian yang makin tergerus. Kalaupun akhirnya ada usulan perubahan warna, tanpa data dan analisis kemampuan lahan yang kuat, tidak bisa serta merta dirubah. Kalau cuma merubah pola ruang tanpa kajian dan salah kelola tata ruang maka bencana yang kita dapat dan investasi berbiaya tinggi. Itulah yang disindir dalam sebuah tulisan seorang planolog bahwa RTRW adalah bukanlah “Toko Kelontong”.

RTRW itu pedoman pemanfaatan ruang yang harusnya tidak gampang diubah warnanya dengan luasan besar. Tanpa kajian land capability dan land sustainablelity, kajian target market maupun marketing faktornya. Pada kasus toko kelontong, ketika ada pembeli tanya satu jenis barang dan kebetulan barang tidak tersedia maka pemilik toko akan menjanjikan, besok ya. Besoknya pemilik toko akan kulakan 1 karton, padahal pembeli cuma 1 dan beli 1 saja. Sisanya akan jadi tumpukan barang yang tidak tertata. Seperti itulah ilustrasinya.

Singkat cerita, dengan berbagai pertimbangan dan proses negosiasi yang panjang akhirnya revisi berujung dengan selembar surat persetujuan substansi dari Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/Kepala BPN RI, yang intinya bahwa kelima hal subtansi telah dinyatakan telah diakomodir dan layak secara teknis penulisan batang tubuh yang didukung dan bersesuaian dengan teknis penggambaran secara spasial (peta) serta strategi dan langkah langkah perwujudannya. Tidak cukup itu, sang Walikota harus kembali membuat “Pakta Integritas” sebagai “jaminan tambahan” untuk bisa mengikat komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dalam implementasinya. Sebuah harga yang harus dibayar untuk proses yang panjang dan melelahkan.

Lalu, What Next?

Pertanyaan di atas membuat rasa euforia tuntasnya proses penyusunan RTRW tidaklah boleh berlama-lama. Kembali ke pertanyaan awal tulisan tadi, tantangan selanjutnya jauh lebih berat sudah di depan mata. Bisakah menjawab kebutuhan warga kota selama ini? What Next? Apakah Perda Revisi RTRW serta merta menjadi “kitab suci” yang konsisten dipatuhi? Itulah tantangannya. Pengawasan dan pengendalian dalam pemanfaatan ruang terkadang tidak mampu berdiri tegak dan tegas karena masyarakat atas nama “hak milik” mengartikan memiliki hak boleh membangun apa saja. Tanpa diikuti dengan komitmen untuk menunaikan kewajiban untuk “menjaga dan melestarikan” ruang agar tetap berkelanjutan untuk masa depan anak dan cucu kelak. Dari sinilah perlunya edukasi dan sosialisasi tentang tata ruang bagi warga kota.

Salah satu titik krusial dari pengendalian tata ruang adalah melalui instrumen Izin Lokasi dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Paradigma selama ini nya lebih di dominasi fungsinya sebagai mesin penghasil Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pada sebagai “alat deteksi dini” penyimpangan atau pelanggaran tata ruang. Izin Lokasi dan IMB harus dikembalikan kepada fungsi aslinya. Secara detail pemerhati lingkungan di kota ini, Ridha Hakim, mencoba mengidentifikasi beberapa faktor awal menyebabkan terjadinya penyimpangan tata ruang dan semua punya andil dalam hal tersebut, yakni :

  1. Lemahnya pengawasan dan penertiban.
  2. Belum ada peraturan yang cukup jelas, karena banyak RDTR yang mikro belum mampu dihasilkan sebagai penjabaran sebuah RTRW yang bersifat makro
  3. Kurang adanya sinkronisasi perizinan dengan dokumen rencana serta prosedur perizinan cenderung belum transparan
  4. Perilaku kolusif oknum yang memanfaatkan keterbatasan informasi masyarakat, serta terakhir
  5. Partisipasi dan peran serta masyarakat yang masih rendah.

Pendapat ini memang ada benarnya tetapi juga tidak bisa juga diberlakukan sama untuk semua daerah kota/kabupaten. Tentu pendapat ini juga perlu mendapat konfirmasi dari pelaku eksekutor dari pengawal tata ruang sehingga tata ruang sebagai “barang baru” memang memerlukan waktu untuk proses belajar kita kenali dan pahami bersama apa dan bagaimana tata ruang itu? Untuk kasus Kota Mataram sebaiknya fokus pengawasan dan pengendalian pada kawasan yang belum terbangun. Ada sikap skeptis yang pernah diselorohkan dalam rapat TKPRD, tertib tata ruang hanya akan bisa diwujudkan dengan syarat :

  1. Kota tersebut kaya, bisa membebaskan lahan-lahan tidak produktif
  2. Satpol PP nya adalah manusia robot, yang tidak perlu ada “belas kasihan” untuk pelanggaran tata ruang dan
  3. Warga kotanya telah terjamin hak hak dasarnya oleh pengelola kotanya. Apakah mampu dan kapan syarat ini bisa dipenuhi? Wallahu a’lam bishawab.

Mengakhiri catatan ringan ini, penulis mengutip syair Yudha Perdana, seorang pakar tata ruang, secara puitis mengungkapkan..

Ruang adalah misteri..
Akan masa depan yang tidak pasti..
Aman atau bencana bumi..
Sinambung atau stagnasi..
Pemenang cinta sejati atau seumur hidup lara hati..
Harmonis atau timpang..
Semua direkam oleh ruang..
di dalam layer-layer waktu..

Tata Ruang hadir sebagai “kitab suci”..
Sebagai satu-satunya solusi..
Memanfaatkan ruang bumi..
Agar harmonis sepanjang waktu..

Ruang adalah kapasitas..
Pembangunan yang berbatas..
agar hutan dan taman tetap bernafas..
Bekerja maksimal tapi ikhlas..
Seiring dengan gunung-gunung yang berputar beribadah..
Meletupkan bencana bagi umat manusia..
Agar kita selalu mengingat kebesaran dan kuasaNya..

Penulis, Warga kota Mataram.

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.

 Apa Komentar Anda?

Belum ada komentar.. Jadilah yang pertama!

Revisi RTRW Kota Mataram, What Next?

oleh muhammad ramadhani dibaca dalam: 5 menit
0