[Review] Film: Dua Garis Biru (2019), yang Bukan Soal Centang Biru

Artikel ini spoiler-free tapi lebih baik dibaca kalau sudah yakin ya.

Review film Indonesia lagi, kali ini film yang lumayan fenomenal nih. Dua Garis Biru. Iya awalnya saya juga kira soal chat WA yang cuma “di-read” doang pas liat trailer-nya, tapi makin akhir baru sadar kalau plotnya bukan soal cinta remaja biasa hahaha. Film ini, – sejauh yang saya tahu banyak diapresiasi di internet, dan melihat jadwal tayang yang langsung banyak di bioskop juga makin memperkuat pendapat orang-orang kalau ini film bagus. Tapi tentang jadwal tayang, gak tahu juga ya, mungkin memang film ini sudah dapat support yang besar dari atas sebelum rilis. Maksudnya mungkin karena diandalkan jadi dapat porsi besar? Pokoknya, ternyata dari temanya sendiri memang sudah menarik perhatian masyarakat. Buktinya di studio yang nonton bareng saya cukup banyak, padahal studionya yang paling besar.

Oke jadi tentang apa sih? Singkatnya tentang “MBA”, atau marriage by accident. Sederhana tapi bisa langsung tahu kan? Karakter Bima dan Dara harus berusaha menyelesaikan masalah mereka di film ini. Memang, tema ini bisa dibilang “baru” untuk film Indonesia belakangan ini. Tema yang menurut banyak orang tabu untuk dibahas. Memang sih tema yang berat begini lebih, enak untuk dibahas atau dijadikan bahan pemikiran lewat media seni. Nah ada juga nih Webtoon Thailand yang sudah masuk di Webtoon Indonesia dengan tema sama, Young Mom. Jadi kalau penasaran bisa ditengok juga. Jadi, apa saja yang ada di film ini ?

Sebelumnya, sepertinya adanya film ini juga dipicu dari peningkatan kesadaran masyarakat tentang topik seperti pernikahan dini, perlindungan anak, dsb. Bagus kan, jadinya adanya film dengan tema sosial begini bisa membantu meningkatkan kesadaran itu. Jadi, film dimulai cukup “mendadak”. Karena, trailer-trailer yang diputar sebelumnya adalah film Indonesia. Oiya sebelum trailer, lucu juga ada peringatan khusus untuk tidak membajak film sebanyak tiga slide, entah ini standar baru semua film di Bioskop CGV atau baru di film ini saja.

Jadi kembali lagi, mendadak karena opening film dimulai dari shot langit dan langsung masuk ke adegan kelas. Lalu untuk beberapa saat filmnya juga terasa cepat, tapi mulai di 1/3 terakhir terasa lambat. Plotnya secara umum menarik, penonton masuk ke dalam cerita. Rata-rata diam saja sih, tapi ada juga yang ekspresif, ikut ketawa dalam adegan lucu bahkan sampai nyeletuk “kampret !” dalam salah satu adegan (jadi inget pilpres yaa). Jadi soal cerita begitulah, karena artikel ini “spoiler-free” jadi gak bisa cerita banyak. Intinya sayang sih, bagian awal terlalu cepat, padahal porsi penggambaran hubungan dekat karakter Bima dan Dara kalau lebih banyak lebih bagus. Lebih santai. Film ini langsung masuk ke masalah utamanya.

Dari akting, wow memang rasanya lebih natural. Ada beberapa karakter atau adegan yang aktingnya kaku, tapi mayoritas semuanya natural. Peran sampingan seperti masyarakat, murid, dsb juga ditata senatural mungkin. Walau ada sih bagian dimana ceritanya ada orang yang lalu-lalang, itu bagus tapi agak kaku. Btw, saya lumayan penasaran juga, kenapa pemeran Bima dan Dara mau mengambil peran susah begini ya? Pasti bagus untuk karir ke depannya sih memang, tapi kagum saja karena mau.

Lalu musik, soundtrack-nya bagus-bagus. Bagus deh pokoknya lagu-lagunya, cocok juga dengan adegan-adegan di filmnya. Lalu yang paling penting setelah akting, pengambilan gambar. Wah ini nih, yang selalu saya perhatikan. Film ini secara umum bagus, shot-shot yang memang berniat untuk jadi estetik hasilnya estetik sekali. Terus di film ini, banyak shot yang dan simbolik. Ini juga salah satu kekuatan filmnya, permainan simbol. Mulai dari pajangan medali, strawberry yang di blender, ondel-ondel (yang menurut review sebelah adalah simbol kehidupan), jembatan, dsb. Bagus banget, masih jarang rasanya yang begini di film kita. Memang sesuatu yang simbolik itu bisa menyampaikan pesan dengan kuat.

Lalu menurut review sebelah juga, banyak isu yang diangkat, dan memang betul. Kesenjangan sosial antara Bima dan Dara salah satunya, rumah dengan kolam renang vs rumah di gang (tapi masih terhitung lebih baik ketimbang yang lain menurut saya). Lalu kesetaraan gender ? Karena orang tua keduanya yang paling vokal dalam masalah ini adalah ibunya. Lalu akhirnya soal ending, ini juga terasa cepat. Padahal kalau diberi porsi lebih banyak dibagian “perpisahan” dan ditambah shot simbolis akan lebih menarik.

Jadi begitulah. Secara cerita ya, tidak banyak yang bisa diceritakan tanpa memberi spoiler dan lebih menarik kalau ditonton sendiri. Jadi segera beli tiketnya mumpung masih tayang~ Tapi yang harus diingat, ini cuma film. Jadi ceritanya juga agak “ideal” atau utopis, sama dengan webtoon yang saya bilang sebelumnya. Pada kenyataannya, pasti banyak juga yang, tidak seberuntung Dara. Mendapat support dari semuanya, termasuk pasangannya. Jadi tolong diingat pesan yang ingin disampaikan pembuat film ini.

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.

Film: Dua Garis Biru (2019)

Film: Dua Garis Biru (2019)
6.625
Nilai Total

Akting

7/10

    Plot

    6/10

      Teknik Kamera

      7/10

        Musik

        7/10

          Kelebihan

          Kekurangan

          Kesimpulan

          Tonton sendiri aja deh 😀

          Ulasan dan penilaian mengenai Film: Dua Garis Biru (2019) di atas adalah berdasarkan pengalaman pribadi penulisnya dan bukan merupakan iklan (advertorial). Punya pendapat tentang Film: Dua Garis Biru (2019)? Berikan ulasan dan penilaian berdasarkan pengalaman anda melalui form komentar di bawah ini.

          2 komentar untuk “[Review] Film: Dua Garis Biru (2019), yang Bukan Soal Centang Biru

           Apa Komentar Anda?

          Ada 2 komentar sampai saat ini..

          [Review] Film: Dua Garis Biru (2019), yang Bukan Soal Centang Biru

          oleh Nadia # dibaca dalam: 3 menit
          2