Surat Pembaca

Penipuan melalui Telepon, Mengaku dari Pihak Bank UOB yang Meminta Data

Berawal pada tanggal 15 Agustus 2020 sekitar pukul 14:44 WIB ada telepon masuk beberapa kali dari nomor (021) 29182973. Penelepon tersebut seorang wanita dan memperkenalkan diri mengaku dari pihak Bank UOB. Wanita tersebut menanyakan perihal penggunaan fasilitas kartu kredit dari Bank UOB, dan saya jawab belum menggunakannya, karena memang saya mempunyai kartu kredit dari bank lain yang utama dan saya jarang transaksi kalau tidak perlu sekali.

Adanya kartu kredit Bank UOB pun dari awal aktivasi belum pernah sama sekali saya gunakan. Saya approve kartu tersebut karena referensi dan merasa iba dengan anak yang baru lulus dengan gigih menawarkan sebagai sales.

Lalu si penelepon menginfokan dan mengiming-iming saya dengan banyak diskon besar, menawarkan fasilitas untuk menambahkan limit yang lebih besar dan bebas iuran tahunan (annual fee). Lalu penelepon meminta saya mengambil kartu UOB, dan menyebutkan nomor yang ada di kartu untuk pencocokan data saat itu. Tanpa saya pikir panjang dan sadari, saya seperti linglung dan mengikuti arahan penipu, tanpa sadar dan lupa begitu saja. Saat itu masih merasa yakin itu adalah dari pihak Bank UOB.

SMS transaksi tagihan menggunakan mata uang Rubel Rusia

Sampai keesokan lusa harinya saya baru baca-baca ada SMS sebelumnya perihal transaksi sebesar 39,893.71. Saya pun tidak sadar, pikir saya dalam rupiah. Tanggal 18 Agustus 2020 saya menghubungi pihak call center Bank UOB untuk melaporkan, memblokir dan saya pun menggunting kartu tersebut. Ternyata transaksi tersebut dalam mata uang asing dilakukan di Moscow, dalam mata uang Rubel Rusia sebesar 39,893.71 yang jika dikonversi ke rupiah senilai Rp8.406.124.

Pihak bank meminta nasabah melakukan sanggahan transaksi dan akan melakukan investigasi. Tanggal 25 dan 28 Agustus 2020 Bank UOB baru email kembali dan meminta mengisi form yang dikirim dan data-datanya. Sangat disayangkan, di sini saya menduga data nasabah bocor oleh pihak bank, sehingga penipu dengan lancar mengaku dari bank dan tahu saya baru memiliki kartu Bank UOB.

Respon Bank UOB sangat lambat dan juga saya diminta untuk memiliki kartu baru dan wajib selama proses investigasi. Padahal saya sungguh tidak ada minat mau lagi untuk menggunakan kartu UOB. Dalam hal ini saya sangat kecewa, sudah ditipu, dipaksakan untuk dikirim kartu baru dengan biaya-biaya yang tidak jelas. Tagihan di bulan September rincian hard copy stmt fee Rp15 ribu (padahal tagihan via e-mail), card repl fee Rp50 ribu, interest (?) Rp115.380, total Rp230.516, dan saya diminta membayar dan diancam akan bunga berbunga kalau tidak membayarkan

Selama menunggu proses investigasi yang sangat lama dari Agustus hingga November, bank menyatakan transaksi valid dan saya diharuskan membayar full. Hampir 3 bulan untuk investigasi hal itu, sama sekali tidak ada kebijaksanaan atas transaksi penipuan tersebut.

Padahal kalau ditela’ah penipuan tersebut terjadi diduga bersumber karena kebocoran data nasabah. Logikanya bagaimana pihak penipu bisa mengetahui nomor telepon dan data nama kita yang memiliki kartu kredit bank tersebut? Padahal belum dipergunakan sekalipun.

Saya sangat dirugikan atas apabila bocornya data nasabah tersebut apabila diduga dilakukan oleh oknum pihak bank, dan merasa dipaksa dengan diwajibkan kartu pengganti dan biaya-biaya yang tidak jelas. Mohon jangan berbisnis seperti ini dan merugikan masyarakat. Mohon bijaksana atas penipuan ini, sama-sama melihat secara jernih dan bijak siapa sebab awal sehingga akibatnya nasabah dirugikan.

Saya juga memohon penegak hukum atau lembaga keuangan yang menetapkan aturan, jangan hanya ada aturan tetapi pelaksanaannya implementasi di masyarakat agar lebih berfungsi. Karena saya baca POJK perihal perlindungan konsumen, ada aturan perihal yang saya sebutkan tadi. Baik masalah pemaksaan produk tanpa pilihan biaya-biaya tidak jelas ditulis dalam bahasa Inggris tanpa melampirkan di awal dan penjelasan Bahasa Indonesianya. Dan yang fatal kebocoran data nasabah sehingga menimbulkan kerugian bisa terkena sangsi teguran sampai ke pidana. Apabila terbukti, lembaga keuangan tersebut denda milyaran. Namun implementasinya nihil dan hanya konsumen/masyarakat dirugikan .

Saya sangat memohon kebijaksanaan dari para pemegang kepentingan bank tersebut dapat berpikir bijak. Di saat pandemi keadaan sulit seperti ini, nominal Rp8 juta sangat besar. Apalagi hal tersebut adalah penipuan yang tidak saya nikmati atau gunakan. Selain dampak ekonomi hal ini juga akan sangat berdampak kepada status perbankan saya bisa menjadi buruk. Belum lagi ketakutan bayang-bayang dikejar bunga berbunga dan takut kalau kolektor akan datang mempermalukan saya. Padahal saya sangat taat membayar tagihan apabila betul saya gunakan.

Ita Yunita
Jakarta Selatan

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.
Bagikan

Belum Ada Tanggapan Atas Surat Pembaca Ini

Surat pembaca ini belum mendapatkan tanggapan dari pelaku usaha terkait. Jika Anda adalah pihak yang terkait dengan pertanyaan/permohonan/keluhan di atas, silakan berikan tanggapan resmi melalui tautan di bawah ini:

Komentar

  • Turut prihatin atas musibah yang dialami ya kak,
    Setau saya kalo trx menggunakan OTP pasti dianggap valid, mudh2an masalahnya cepet teratasi ya kak.. saya pernh mengalami hal yg sama..

      • Saya juga baru saja mengalami hal yang sama seperti saudara Ita Yunita.
        Kronologisnya pada tgl 23 Januari 2021 yang mendapat info lewat sms mengenai persetujuan kartu kredit dari pihak BANK UOB. Dan kurang lebih satu (1) minggu kedepan kartu tiba sesuai alamat yang tertera. Lanjut pada tanggal 03 Mei 2021 kita mendapat e billing tagihan sebesar Rp.10.275.491,- tanpa saya pergunakan maupun adanya pengaktifan pun serta pemberian kode otp apapun kepada pihak bank uob. Keadaan kartu masih utuh tanpa saya pergunakan didalam amplop.
        Mengapa bisa demikian ?
        Saya harap laporkan hal ini ke Email ; cybercrime@polri.go.id.
        Guna memperkuat laporan saya dalam pengusutan pihak bank mengenai data nasabah kartu kredit yang bocor serta bagaimana cara mereka dapat memanfaatkannya tanpa kode otp maupun pin / kartu yang belum kita aktifkan tadi masih utuh baru diamplop.

      • Laporkan saja ke Email ; cybercrime@polri.go.id untuk memperkuat laporan saya. Saya juga mendapat hal yang sama kebetulan kartu masih belum diaktifkan/ tanpa ada pemberian kode otp apapun bahkan terima telp dari manapun. Tiba tiba saja sudah muncul billing tagihan sepuluh juta keatas tanpa aktifikasi kartu bahkan masih utuh seratus persen diamplop.
        Masalah otp masih bisa kita atasi karena tanpa otp juga saya bisa kena

      • Mengenai kode otp mungkin hal mustahil. Dan masih bisa kita ajukan permohonan. Berhubungan saya sendiri masih saja baru menerima kartu kredit bahkan masih utuh didalam amplop tanpa saya aktifasi maupun pemberian kode otp kemanapun, sudah mendapat tagihan dari pihak BANK UOB Rp.10.275.941,-.
        Lanjut bagaimana itu ?
        Tanpa menerima panggilan dari manapun sudah mendapat hal yang sama seperti Ibu.

  • ooo.. ternyata tergiur diskon besar, fasilitas untuk menambahkan limit yang lebih besar dan bebas iuran tahunan (annual fee), akhirnya malah ketipu.

    • ya awal nya beberapa kali saya menolak bahkan tutup tlp, klo dilihat history tlp, tetapi pihak penipu tlp lagi meyakinkan dan itu blank gitu aja, mungkin anda tidak diposisi saya sebagai korban .

  • Hoooo panjang tulisannya... Intinya disini OTP. Jangan pernah kasi tau oto kesiapapun.. mau dpt diskon kek, ada janji kenaikan limit kek, ada pinjaman tunai cc kek... Pokoknya asal pihak penelpon diakhir minta OTP, tereakin aja di telpon "DASAR MALING!!!" Karena pasti maling!

    • Mungkin teman2 korban bs sharing d email saya di ed5art1908@gmail.com
      Saya jg salah satu korban dan ini kejadian dengan pola yang sama.. semakin banyak yang melapor semakin besar potensi masalah ini diselesaikan.

  • Siap2 dibully walaupun saya prihatin atas kekurangan literasi penulis. Mudah2an tidak ada lagi kasus seperti ini. Dan tuk penulis - mulai skrg kumpulin duit aja buat bayar.

    • jahat sekali anda punya hati, orang terkena musibah kok anda memprovokasi untuk dibully, apa saya tidak berhak menulis hal seperti ini dihalaman media konsumen ??, point nya saya juga korban tanpa sadar tertipu, banyak orang2 lain juga bisa saja menjadi korban, kebocoran data bisa menjadi sumber utama senjata celah masuk modal awal penipu, semoga anda suatu saat bisa merasakan bagaimana mendapat musibah seperti saya, agar hati anda punya empati

  • Buat yg mau komen, fokus ke masalah penipu yg tau nomor telepon korban dan tau korban punya kartu kredit dari Bank UOB yg baru saja diaktivasi. Dapat datanya dari mana? Jangan malah tergiring menyalahkan korban. Namanya orang kadang bisa lengah.

    Buat pembaca yg lain, kalo mengalami hal serupa dan terlanjur diproses transaksi fraudnya, selain lapor ke bank ybs, juga segera lapor ke merchant di mana transaksi tsb diproses. Pengalaman sy, merchant yg kooperatif bisa dengan segera membatalkan transaksi fraud tsb, daripada harus menunggu proses sanggahan lewat bank.

    • terima kasih telah melihat secara menyeluruh dan bijak menanggapi, betul kata anda some time bisa saja tiba2 kita lagi gak fokus dan menjadi lengah lalu menjadi korban

      data yang valid bagaimana dia tau nomer tlp, nama dan tau saya menggunakan kartu dari bank tersebut adalah modal awal senjata yang ampuh buat masuk berdialog menipu .

      dan terima kasih juga sudah shareing pengalaman dan masukan nya .

      • Kak ika turut prihatin ya, terus kelanjutannya bagaimana kak?
        Apakah kaka tetep harus bayar full?
        Mohon infonya kk

    • @Donny G

      “ Logikanya bagaimana pihak penipu bisa mengetahui nomor telepon dan data nama kita yang memiliki kartu kredit bank tersebut? “

      Sebelum menggunakan Logika, coba perhatikan si @ita yunita ini, apakah bisa kita pakai logikanya.?

      1. “ Saya approve kartu tersebut karena referensi dan merasa iba dengan anak yang baru lulus dengan gigih menawarkan sebagai sales. “

      Punya kartu kredit UOB karena iba dengan sales, bahkan setelah punya pun kartu kredit itu tidak pernah sekalipun dipakai.

      Karena iba. SuLtan pun gak segitunya kaleee.

      Adakah seseorang di dunia ini, yang bikin kartu kredit karena iba dengan salesnya.?

      Logikanya dimana.?

      2. “ Tanpa saya pikir panjang dan sadari, saya seperti linglung “

      Apakah orang linglung bisa menyadari kalau dirinya linglung.?

      Logikanya dimana.?

      3. “ Saya pun tidak sadar, pikir saya dalam rupiah “

      Terindikasi bahwa @ita yunita memang orang yang memiliki Kebiasaan tidak teliti. Alias Ceroboh.

      Logikanya :

      1. @ita yunita orangnya ceroboh

      2. @ita yunita sejak awal punya kartu kredit, bukan atas keinginannya, dan kartu kredit itu pun nganggur saja tidak pernah digunakan, dengan begitu terindikasi juga bahwa keamanan data pada kartu itu tidak begitu di perhatikan juga oleh @ita yunita ini.

      Logika secara umum,
      kalian membeli barang yang bukan keinginan anda, anggap saja barangnya tabung gas. Anda beli hanya karena gak enak dengan yang jual sehingga terpaksa beli. Sampai rumah tabung gas itu kalian anggurin begitu saja. Lama anda anggurin, tiba tiba tabung gas itu meledak, dan memporak porandakan rumah anda. Kemudian anda baru sadar bahwa barang itu jadi malapetaka.

      Memang benar kecurigaan @ita yunita itu, jangan jangan pihak bank itulah penipunya.

      Jangan jangan sales kartu kredit itu sudah tak lagi bekerja, namun di akhir masa tugasnya, dia membawa data nasabah dalam flashdisk atau dalam laptopnya. Atau atau atau, siapa yang tahu cuma bisa suudzon saja jadinya.

      • Survei dulu sebelum buat kartu kredit, biasa baca2 berita dan refrensinya bank asing minus dan banyak bermasalah baik penagihan, biaya2 gak jelas, bunga yg tinggi dan data nasabah .

        Turut prihatin memang modus kejahatan dengan hipnotis lagi marak, temen gw nyokap nya kena juga dihipnotis

        Uang 8jt lebih lumayan besar bisa dapat motor second, dah lapor polisi belum mba ??.. Coba juga kirim surat ke OJK , sebagai konsumen kali aja bisa jadi jembatan mediasi dan pihak bank bisa melihat sisi kedua sisi, ya nama nya dihipnotis kecorobohan nya bukan cuma dari pengguna, tapi data nasabah yang bocor juga fatal melihat keadilan sama" harus tanggung resiko .

  • Bagaimanapun juga sy ikut ber empati atas kasus @ita yunita. Kesempurnaan hanya milik Tuhan. Namanya korban jangan disudutkan/dibully. Kalo SEMUA manusia bisa tanggap lbh dl bahwa dia ditipu maka tidak mungkin didunia ini ada penjara/polisi/rumah sakit/tempat ibadah. Tolong perhatikan dr sisi psikologi si korban. Sdh jatuh tertimpa tangga (para bullying)

  • Bukan cuma Bank UOB saja, nasabah bank2 lain pun banyak yang bocor datanya. Berat sih komplainnya kalo kita udah mengakui bahwa otp-nya sudah kita berikan kepada sang penipu

  • Baca-baca banyak juga korban nya penipuan modus seperti ini ya harus nya pihak bank juga betul2 menjaga data nasabah nya karena bnyk nasabah jadi korban, dari mana si penipu tau kita baru punya kartu bank tsb, dan nama momer tlp kita .

    Sering bngt pengguna kartu jadi korban kebocoran data, baik modus penipuan juga pura2 ada kerjasama dengan pihak kartu kredit .

    Dan disini coba lihat dari sisi korban jangan asal bully apa lagi kata kasar, dilingkungan kita saya ada juga banyak cerita musibah orang yg kena hipnotis, entah mama minta pulsa, papa minta pulsa, modus anak dirumah sakit, ditangkap polisi, malah pernah kejadian teman saya kena hipnotis padalah posisi lagi kerja tapi dia bisa rela2 ikutin si penelphone ke parkir lalu ke alfa beli pulsa duit terbatas motor disita, dia jalan lagi ke alfa lain minta pulsa lagi total kerugian 3jt lebih itu extrim nya hipnotis .

    Mungkin kalian gk percaya dan menghujat orang tsb tapi kalian blm pernah diposisi merasakan menjadi korban .

    • Itu bukanlah hipnotis, tapi 'kepolosan' korban yang mau saja mengikuti perintah penipu. Mereka bilang 'dihipnotis' agar bisa terhindar dari cemoohan orang lain atas 'kepolosannya' Di zaman sekarang ini kita harus mawas diri dengan segala upaya penipuan. Dengan berbagai fasilitas keuangan dimana kita bisa berbelanja dengan mudah, di sana juga ada celah penipuan yang bisa digunakan.

  • Saya turut prihatin atas kasus yang menimpa ibu Ita ini. Semoga dari kasus ini kita semua jadi lebih waspada dan menjaga data pribadi kita karena kejahatan digital sangat rentan terjadi jika ada data pribadi yang bocor.
    Terlepas bagaimana seseorang yang tidak bertanggung jawab bisa mengetahui nomor telepon dan nama kita (yang mana hal ini jamak ditemukan dalam dunia kartu kredit karena pertukaran data nasabah antar marketing), saya hanya ingin berkomentar tentang kode OTP yang dianggap valid oleh pihak bank.
    Pada dasarnya kode OTP termasuk data pribadi kita yang bisa dibilang sangat sakral.
    Kode OTP adalah kunci gerbang transaksi di mana hanya kita sendiri yang boleh pegang kuncinya.
    Dalam hal ini, meskipun dalam SMS tertera dalam huruf kapital “JANGAN BERIKAN KODE OTP KEPADA SIAPAPUN”, ibu Ita, tanpa sadar atau menyadarinya, telah menyerahkan kunci itu kepada orang lain sehingga transaksi pun berhasil.

    Bank, tidak hanya UOB, juga di sisi lain telah berulang kali mengingatkan melalui media baik digital atau tertulis, agar tidak memberikan kode OTP kepada siapapun termasuk pihak yang mengaku dari bank.

    Oleh karena alasan inilah, bank tetap mengganggap transaksi ibu Ita valid karena ibu Ita telah memberikan kode OTP secara sadar/tidak sadar kepada orang lain.

    Analogi kasus ini sama halnya dengan peraturan hukum yg berlaku di sebuah negara. Bahwa siapapun orang yang melanggar hukum (yang usianya telah dianggap cakap dalam memahami hukum) akan tetap dihukum tanpa memandang bahwa orang tersebut telah memahami hukum yang berlaku atau tidak.
    Artinya, tidak bisa seseorang yg telah melanggar hukum berkelit bahwa dia tidak mengetahui / tidak memahami bahwa ternyata ada hukum yang berlaku atas tindakannya.
    Maka analogi ini pun berlaku utk kode OTP. Aturan kode OTP adalah hukum yang telah ditetapkan oleh bank kepada nasabahnya. Bahwa setiap pemegang kartu kredit akan dianggap telah memahami dan mengetahui tentang “aturan hukum” dalam menggunakan OTP. Maka, nasabah tidak dapat beralasan bahwa dia tidak mengetahui adanya larangan memberikan kode OTP kepada orang lain termasuk dari orang yang mengaku dari pihak bank.

    Saya tidak menyalahkan, dan tidak membela pihak siapa pun. Saya hanya memandang ini sebuah kasus yang sebenarnya bisa dicegah dari diri sendiri, dan bisa menjadi pelajaran utk kita semua di sini agar ke depannya sangat waspada dan berhati-hati terhadap data pribadi kita sendiri.
    Karena jika tidak dari diri kita sendiri yang menjaga, siapa lagi?

    Harapan saya semoga bank bisa memberikan keringanan atas kasus ibu Ita ini.

    • Klo melihat kasus nya TS beliau ditertipu karena hipnotis dan tidak sadar baru tau setelah beberapa hari melihat baca sms tagihan artinya tanpa sadar entah beliau kasih kode OTP atau tidak sangat sulit dibuktikan .

      Ada komentar tertipu kode OTP ada aturan hukum ???.. Pasal brp ayat brp ??? Klo penipu nya jelas bisa dijerat, masa korban udah tertipu tapi dia juga dijerat logika hukum nya dimana .

      Dan penipuan hipnotis dengan kebocoran data nasabah dua hal kejahatan yang berbeda, jangan bilang bocor nya data nasabah adalah hal yang jamak sungguh2 anda pendukung kejahatan atau mungkin saja anda pelaku penjual data sehingga lantang berkata tersebut .

      Ada pasal nya 40 UU Nomor 10 tahun 1998 uu perbankan pihak direksi management atau staff yang membocorkan data nasabah bisa kena pidana dan denda nya miliaran, dan biasa nya bank punya pertahanan security yang baik mengenai data keamanan nasabah, bahkan seorang CS atau teller aja tidak berani mengasih data nasabah sembarangan dan biasa nya untuk membuka akses data pun dibutuhkan finger print supervisor atau kepala cabang klo saya tidak salah .

      Dan ada aturan juga POJK pasal 31 nomor 1 tahun 2013 hukuman nya mulai dari sangsi teguran sampai prihal administratif dan juga denda.

      Untuk orang diluar perbankan yang memperjual belikan bisa terkena uu pidana KUHP dan ITE .

      Jadi jangan menjamakan kejahatan sama saja anda mendukung celah kejahatan ingat kata bang napi kejahatan terjadi karena ada celah waspadalah waspadalah

      • Saya tidak pernah mengatakan mendukung pembobolan data. Namun saya pribadi adalah pengguna kartu kredit sejak lama, dan saya juga punya banyak rekan pemegang kartu kredit. Faktanya, setiap kali saya mengajukan melalui marketing kartu kredit, selalu ada penawaran dari marketing bank lain untuk pengajuan kartu kredit lagi. Bahkan saya mendapat kiriman kartu kredit bank lain meskipun saya tidak mengajukannya. Hal ini juga terjadi pada rekan saya sesama pemegang kartu kredit.
        Maka saya simpulkan jamak terjadi pertukaran data nasabah antar marketing. Tapi di poin ini saya tidak mengatakan membenarkannya.
        Lebih miris lagi, jika pihak marketing dapat dengan mudah mendapatkan informasi nasabah, apalagi dengan penipu?

        Pada kasus ini, ibu Ita menerima telepon dari seseorang yang sudah memegang informasi nama dan nomor telepon ibu Ita. Orang tersebut meminta ibu Ita menyebutkan nomor kartunya dan ibu Ita sebutkan nomor kartu.
        Di sini kita melihat bahwa pertahanan keamanan pertama (penyebutan nomor kartu) runtuh, lalu pertahanan terakhir adalah penyebutan kode OTP.
        Artinya ada 2 pertahanan nasabah yang sudah bocor baik dalam keadaan sadar atau tidak sadar.

        Mengenai “hukum” yang saya sebutkan di atas, sekali lagi saya hanya menggunakan kata analogi. Bukan berarti “hukum” ini tercatat sebagai ayat dan pasal seperti pada hukum perundang-undangan. Mungkin pada komentar saya di atas kurang lengkap dengan memberi tanda kutip “...”, sehingga anda menerjemahkannya sebagai “hukum OTP” secara harfiah, padahal saya hanya menganalogikan saja.
        Yang saya maksud dengan analogi ini adalah, “hukum” pada penggunaan OTP yang wajib dilindungi oleh nasabah sendiri tanpa memberitahukan kepada pihak siapapun adalah ketentuan dan kebijakan dari bank. Sehingga nasabah pemegang kartu kredit sudah dianggap memahami ketentuan dan kebijakan ini.
        Karena itulah sulit bagi bank untuk menerima sanggahan dari transaksi yang melalui OTP karena transaksi tersebut adalah sah di mata bank, terlepas nasabah telah dihipnotis/ditipu.
        Anda sendiri mendukung tentang peliknya hal ini dengan pernyataan anda di awal paragraf anda: “tanpa sadar entah beliau kasih OTP atau tidak sulit dibuktikan”, yang mana ibu Ita sendiri menulis bahwa beliau telah menyebutkan kode OTPnya.

        Agar tidak berlarut-larut panjang debat ini, saya hanya fokus pada pembahasan soal keamanan dari diri kita sendiri sebagai nasabah terkait penggunaan kode OTP agar bisa menjadi pelajaran untuk semua. Dan saya rasa tuduhan anda kepada saya yang mengatakan bahwa saya mendukung kegiatan pembobolan data terlalu bombastis.

        Pada komentar saya sebelumnya pun saya tidak memihak atau menyalahkan pihak manapun karena hal ini sudah terjadi. Justru saya berharap ada keringanan dari pihak bank sebagai bentuk diskresi dan kebijaksanaan bank.