Bus Transjakarta Tidak Ramah Terhadap Sepeda Lipat

Saya pengguna setia Transjakarta koridor 13. Rumah di Ciledug, kantor di Kuningan. Sudah dari awal Koridor 13 buka saya sudah mengalihkan moda transportasi dari kendaraan pribadi menjadi kendaraan umum (Bus Transjakarta). Namun ada masalah karena dari rumah ke halte sekitar 2 km harus pakai ojol. Dan dari Halte Tendean ke kantor sekitar 3 km. Walaupun sebenarnya bisa menggunakan 13E namun jika menggunakan 13E saat pulang kantor bis selalu penuh dan menunggu cukup lama.

Halte Tendean – Puribeta adalah paling ideal buat saya. Untuk antisipasinya, saya kombinasikan dengan menggunakan sepeda lipat. Sampai halte saya lipat dan bawa masuk ke bus, begitu turun di tendean saya buka lipatan sepeda kemudian gowes ke kantor. Begitu sebaliknya ketika pulang.

Metode ini sudah saya jalani 2 tahun lebih dan tak pernah ada masalah, sampai akhir Desember 2020 ketika akan berangkat kerja pukul 7 saya distop dan dilarang membawa sepeda lipat di Halte Puribeta 2 karena ada peraturan bo 12 yang menyatakan sepeda lipat hanya bisa masuk Bus Transjakarta pukul 9-15 dan 20-22. Peraturan yang tidak masuk akal, di saat pandemi kapasitas bus 50% sangat-sangat cukup space untuk sepeda lipat masuk.

Akhirnya saya pindah ke Halte Puribeta 1 dan tidak ada masalah. Begitupun ketika pulang di Tendean petugas tidak mempermasalahkan, itu berjalan setiap hari. Sampai pada hari Selasa 12 Januari 2020 saya kembali ditahan sama petugas Halte Puribeta 1. Seperti biasa saya pindah ke Puribeta 2 dan petugas memperbolehkan.

Hari Rabu 13 Januari saya ditolak kembali masuk ke bus. Karena capek berdebat saya pindah lagi ke Puribeta 2 dan saya parkirkan sepeda di halte.

Apakah keberadaan sepeda lipat ini sangat mengganggu saat peak hour? Karena dari awal mulai pandemi kondisi bus tidak seramai saat sebelum pandemi, bahkan saya bawa sepeda lipat sering dapat duduk.

Jika memang dirasa mengganggu khawatir terlalu padat sepeda lipat yang masuk, kenapa tidak dibuat peraturan jumlah sepeda lipatnya dibatasai yang boleh masuk ke Bus Transjakarta? Sehingga kami yang kerja menggunakan moda kombinasi sepeda lipat dan Bus Transjakarta bisa terfasilitasi. Kami akan sangat berterimakasih jika Transjakarta bisa ramah terhadap sepeda lipat sesuai dengan anjuran Gubernur DKI yang gencar mengampanyekan penggunaan sepeda untuk kegiatan sehari-hari.

Demikian yang perlu kami sampaikan atas perhatian dan kerjasamanya kami mengucapkan terima kasih.

Tulus Gunawan
Tangerang, Banten

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.

Surat pembaca ini belum mendapatkan tanggapan dari pelaku usaha terkait. Jika Anda adalah pelaku usaha yang terkait dengan pertanyaan/permohonan/keluhan di atas, silakan berikan tanggapan resmi melalui tautan di bawah ini:

Kirimkan Tanggapan

24 komentar untuk “Bus Transjakarta Tidak Ramah Terhadap Sepeda Lipat

  • 17 Januari 2021 - (20:59 WIB)
    Permalink

    Ngapain bawa-bawa sepeda segala. Itu kan menganggu kenyamanan penumpang lain. Jalan kaki atau naik ojol aja ke halte trans jakarta. Nggak menguras isi kantong lagian itu sudah membantu perekonomian ojol-ojol

    5
    20
    • 18 Januari 2021 - (10:25 WIB)
      Permalink

      Pak Tulus mending klo ga mau ribet
      Dan mau sehat naik sepeda nya langsung
      Dari rumah ke kantor PP tiap hari

      5
      6
      • 18 Januari 2021 - (12:05 WIB)
        Permalink

        Selamat siang Pak Prams,

        Terima kasih tanggapan komentar dan saran dari Bapak.
        jarak dari Rumah ke Kantor( Ciledug-Kuningan), 40 Km PP Pak. saya belum punya nyali untuk full Bike to Work ditengah kondisi lalu lintas saat ini, selain itu karena belum ada jalan khusus sepeda juga.
        Mudah2an segera dibangun jalur sepeda yang mumpuni sehingga bisa bersepeda dengan tenang dan nyaman.

        Terima kasih

        12
        4
        • 18 Januari 2021 - (19:36 WIB)
          Permalink

          @TULUS

          Ini tentang kenyamanan umum.

          Sepeda lipat dibawa masuk bukan karena alasan makan tempat, tapi dirasa membahayakan penumpang lain jika berbenturan dengan komponen dari bagian sepeda itu. Dan mungkin juga mengotori jika rantai sepeda terlalu berminyak.

          Solusi daripada itu,

          Anda bisa membungkus sepeda anda dengan kain hitam seperti sarung. Atau jika anda kreatif, anda bisa membuatnya seperti bentuk tas.

          Cara Itu bukan hanya melindungi sepedanya tapi juga melindungi semua orang dari kontak langsung dengan sepeda itu.

          Dan mengalihkan penglihatan orang yang mungkin iri hati terhadap anda.

          13
          • 20 Januari 2021 - (11:21 WIB)
            Permalink

            Hallo Pak Muhammad,

            Terima kasih untuk komentar dan sarannya.
            saya setuju Pak dengan usul Bapak. di beberapa negara ada juga oprator yang membuat aturan selain dimensi yang diizinkan, sepeda lipat harus dicover agar menghidari benturan langsung dengan penumpang lain. saya secara pribadi tidak keberatan jika memang harus demikian.
            Kami yang menggunakan sepeda lipat kombinasi busway untuk berangkat kerja melalui koridor 13 jika dihitung tidak sampe 10 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah armada busway yang jumlahnya lbh dari 50 orang tentu tidak semua busway ada sepeda lipat didalamnya. jika dibandingkan dengan jumlah penumpang yang ribuan, apalah arti angka 10 itu. namun sebagai warga negara yang baik, kami tetap mentaati aturan tsbt, sdh hampir 1 minggu saya tidak bawa masuk seli ke dalam busway.Namun kami juga memiliki hak untuk bersuara jika ditengah kondisi pandemi dan kapasitas bus maksimal hanya 30 orang, aturan pembatasan waktu sepeda lipat hanya boleh masuk saat jam sibuk itu tidak masuk akal. karena secara logika dengan kapasitas bus 30 orang, social distancing 1 meter antar penumpang spacenya sangat memungkinkan untuk membawa sepeda lipat. kecuali jika memang dari oprator abai sehingga mengizinkan penumpang masuk walaupun kondisi di dalam bus sdh 30 orang. dan itu fakta yang terjadi di koridor 13C, 13E saat jam sibuk. penumpang bisa 50 orang di dalam bus bahkan lebih.
            sekali lagi Kami mohon maaf jika kiranya keberadaan Kami mengganggu kenyamanan penumpang lain, dan mohon mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan. terima kasih

        • 20 Januari 2021 - (12:10 WIB)
          Permalink

          @TULUS

          Perlu anda ketahui juga. Penilaian orang lain terhadap anda.

          Anda berangkat dan pergi demi kepentingan pekerjaan.

          Namun dimata orang lain. Mereka menganggap anda berangkat dan pergi untuk olahraga atau sekedar menghabiskan waktu luang.

          Tak peduli anda berpakaian ala kantoran. Ketika memegang sepeda, anda tetaplah bagaikan gowesers yang mencari keringat sehat.

          Anda dianggap bukan bagian dari mereka yang memanfaatkan fasilitas umum demi rutinitas pekerjaan.

          Makanya pasti ada saja yang menganggap keberadaan anda disitu sangat mengganggu.

          Tapi jika mereka tahu dan yakin bahwa anda adalah seorang pekerja juga, yang rela menempuh cara itu demi efesiensi transport. Pasti mereka semua akan menyanjung dan memuji anda.

          Sebagian besar masyarakat indo, sepeda itu masih dianggap alat olahraga, bukan alat transportasi.

          Lagi……

          Di bungkusnya sepeda anda akan banyak mengubah persepsi semua orang,

          1. Memberi kesan bahwa sepeda itu tidak sedang dipakai. Terkesan anda tidak sedang menjadi gowesers.

          2. Terkesan anda sama seperti mereka. Para pekerja.

          3. Safety bagi semua.

          4. Mengalihkan Penumpang lain untuk tidak fokus melihat kearah sepeda anda. Dengan begitu otomatis dihati mereka tidak lagi memikirkan anda.

          • 20 Januari 2021 - (12:27 WIB)
            Permalink

            Hallo Pak Muhammad,

            senang bisa diskusi dengan Bapak.
            untuk masalah seli harus dilengkapi cover, saya sangat setuju Pak , tidak ada maslah. hanya masalahnya saat ini blm diperbolehkan kembali sepeda lipatnya kami gunakan untuk berangkat kerja.
            Selama lbh dari 2 tahun pakai seli 16″ saya selalu pakai baju kantor, lengkap dengan ID Card dan tas kantor. justru sebenarnya itu salah satu cara untuk menunjukan kalo bisa lho pake sepeda lipat digunakan untuk berangkat kerja. dan selama menggunakan moda tersebut tidak sedikit penumpang yang menunjukan ketertarikan, berbincang di dalam bus bahkan ada yang sampai membeli seli untuk dipake kerja juga, kombinasi dengan busway tentunya.

            klo menurut Bapak, bagaimana cara terbaik untuk kami bersikap sehingga penumpang tau klo kami bukan sekedar mencari keringat saja?

        • 20 Januari 2021 - (14:03 WIB)
          Permalink

          @TULUS

          [bagaimana cara terbaik untuk bersikap sehingga penumpang tau klo kami bukan sekedar mencari keringat saja? ]

          Tidak mudah menciptakan kenyamanan di fasilitas umum.

          Standar kenyamanan seseorang berbeda beda. Ada yang merespon positif keberadaan anda disitu, adapula yang sebaliknya.

          Ini menyangkut kepentingan umum, sementara anda tidak berpenampilan secara umum.

          1. Cara terbaik untuk bersikap dimuka umum, maka tampilah se-umum mungkin.

          Jika sedikit saja ada yang berbeda dari anda, jangan salahkan jika anda jadi perbincangan orang lain. Itu wajar dan pasti terjadi.

          2. [Agar penumpang tau klo kami bukan sekedar mencari keringat saja.]

          Yang saya bicarakan di awal tentang anda dikira mencari keringat saja adalah persepsi spontan yang mengotori otak ketika ketidaknyamanan melanda.

          Ketika seseorang merasa tidak nyaman, serta merta otak akan berfikir dengan liarnya.

          Persepsi itu jangan menjadi acuan anda untuk bersikap.

          Yang paling penting adalah anda harus tampil se-umum mungkin.

    • 18 Januari 2021 - (11:53 WIB)
      Permalink

      Selamat pagi Pak Munzir Akbarwan,

      terima kasih sdh memberikan komentar, dan sekali lagi saya sebagai pengguna sepeda lipat mohon maaf jika dirasa mengganggu kenyamanan penumpang lain. izinkan saya menjawab bbrp pertanyaan dari Bapak, dan sebelumnya kita samakan dulu presepsinya bahwa yang dimaksud sepeda adalah sepeda lipat dengan kondisi sudah terlipat sebelum masuk halte ya Pak. Untuk sepeda lipat yang saya bawa, ukuran ban 16″ dan jika dilipat memiliki dimensi 53x30x62 ( dalam satuan cm) ini seperti koper. jika Bpk pernh melihat penumpang membawa koper ke dalam busway, kurang lebih seperti itu. apakah mengganggu kenyamanan penumpang lain? tergantung masing2 individualnya klo masalah kenyamanan. klo saya pribadi hal itu tidak ada masalah.

      Dalam aturan yang ditempel di halte, ada peraturan No 11 yang berbunyi : Pelanggan hanya diperbolehkan membawa satu benda dengan ukuran maksimal 50x30x80 ( semua dalam cm), artinya Transjakarta membolehkan setiap penumpang membawa barang dengan dimensi yang diizinkan. jika jumlah penumpang dibatasi untuk bus besar single hanya 30 Orang, artinya transjakarta membolehkan ada barang dengan dimensi yang diizinkan sebanyak 30 buah, walaupun kondisi ini sangat jarang sekali terjadi.

      Selama menjadi pelanggan Transjakarat dari bulan Agustus 2017, kurang lebih saya menggunakan transjakarta 30x dalam 1 bulan. artinya sampai dengan Des 2020 sdh 1200 kali menggunakan busway disaat jam sibuk ( brkt dan pulang kerja). selama 1200 kali perjalanan, baru 2x saya melihat ada 2 unit sepeda lipat dengan kondisi terlipat di dalam busway, sisanya hanya 1 unit sepeda lipat sepeda saya. bandingkan dengan jumlah penumpang saat itu mungkin bisa lbh dari 30 orang. dan itu pun tidak semua bus yang beroprasi ada penumpang yang membawa sepeda lipat.

      Kemudian kenapa tidak jalan kaki saja ? jika jarak rumah-halte dan halte-kantor kurang dari 1km, dengan senang hati jalan kaki. namun bagaimana jika jarak dari rumah-halte dan halte-kantor total 10Km untuk PP ? apakah Bpk pernh dalam 1 hari jalan kaki 10 KM ?
      saya pernah menjalankan moda seperti ini selama 2 minggu sebelum memutuskan menggunakan sepeda lipat. total waktu yang dibutuhkan untuk jalan kaki kurang lebih 80 menit untuk halte-kantor PP, sedangkan meggunakan sepeda lipat hanya 20 menit. dan dari rumah-halte butuh waktu 60 menit PP, sedangkan sepeda lipat hanya 15 menit.

      Kenapa tidak meggunakan Ojol saja ? saya pun sdh pernh menggunakan moda ini. total menggunakan Ojol 4x dalam sehari dengan biaya ojol+busway per hari RP 59.000/ hari, 1.180.000 / hari, dan 14.160.000 /tahun. Bandingkan dengan menggunakan sepeda lipat hanya membutuhkan biaya Rp 7.000 / hari, 140.000 / bln atau 1.680.000 / tahun. mungkin untuk Bpk selisih 12 jt/ tahun tidak ada artinya, tapi bagi beberapa orang selisih biaya ini bisa digunakan untuk mengalihkan menjadi biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dll.
      Sekali lagi itu hanya pilihan.

      ditengah gencarnya pemerintah menyuarakan kegiatan bersepeda bukan hanya untuk saat liburan saja, bisa digunakan untuk kegiatas sehari2 yaitu berangkat ke kantor, belanja dsbb. saya coba share bbrp link, jika Bpk tertarik silahkan dibuka dan dibaca.

      https://kumparan.com/kumparannews/sepeda-lipat-boleh-masuk-bus-transjakarta-tapi-tidak-di-mikrotrans-1uAIiHacpcd

      https://www.genpi.co/berita/8267/mrt-transjakarta-ramah-untuk-para-pesepeda

      https://www.tribunnews.com/bisnis/2020/09/30/bptj-siapkan-fasilitas-bagasi-untuk-penumpang-bus-jr-connection-yang-bawa-sepeda-lipat

      Demikian perlu Kami sampaikan, sekali lagi mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan. terima kasih

      12
      2
  • 18 Januari 2021 - (07:16 WIB)
    Permalink

    Ngapain naik transjakarta bawa sepeda lipet? Jelas ganggu space lah. Oon. Itu bisa naik 13e, ngapa juga naik 13. Makin kesini orang makin ga peduli sama orang lain, egois.

    4
    8
    • 18 Januari 2021 - (12:00 WIB)
      Permalink

      Selamat siang Pak Satrio Wibowo yang Pintar dan tidak Oon dan tidak egois
      terima kasih untuk tanggapannya mengenai masalah hal ini. Tanggapan Bpk hampir sama dengan Bpk Munzir. kurang lebih seperti ini :

      terima kasih sdh memberikan komentar, dan sekali lagi saya sebagai pengguna sepeda lipat mohon maaf jika dirasa mengganggu kenyamanan penumpang lain. izinkan saya menjawab bbrp pertanyaan dari Bapak, dan sebelumnya kita samakan dulu presepsinya bahwa yang dimaksud sepeda adalah sepeda lipat dengan kondisi sudah terlipat sebelum masuk halte ya Pak. Untuk sepeda lipat yang saya bawa, ukuran ban 16″ dan jika dilipat memiliki dimensi 53x30x62 ( dalam satuan cm) ini seperti koper. jika Bpk pernh melihat penumpang membawa koper ke dalam busway, kurang lebih seperti itu. apakah mengganggu kenyamanan penumpang lain? tergantung masing2 individualnya klo masalah kenyamanan. klo saya pribadi hal itu tidak ada masalah.

      Dalam aturan yang ditempel di halte, ada peraturan No 11 yang berbunyi : Pelanggan hanya diperbolehkan membawa satu benda dengan ukuran maksimal 50x30x80 ( semua dalam cm), artinya Transjakarta membolehkan setiap penumpang membawa barang dengan dimensi yang diizinkan. jika jumlah penumpang dibatasi untuk bus besar single hanya 30 Orang, artinya transjakarta membolehkan ada barang dengan dimensi yang diizinkan sebanyak 30 buah, walaupun kondisi ini sangat jarang sekali terjadi.

      Selama menjadi pelanggan Transjakarat dari bulan Agustus 2017, kurang lebih saya menggunakan transjakarta 30x dalam 1 bulan. artinya sampai dengan Des 2020 sdh 1200 kali menggunakan busway disaat jam sibuk ( brkt dan pulang kerja). selama 1200 kali perjalanan, baru 2x saya melihat ada 2 unit sepeda lipat dengan kondisi terlipat di dalam busway, sisanya hanya 1 unit sepeda lipat sepeda saya. bandingkan dengan jumlah penumpang saat itu mungkin bisa lbh dari 30 orang. dan itu pun tidak semua bus yang beroprasi ada penumpang yang membawa sepeda lipat.

      Kemudian kenapa tidak jalan kaki saja ? jika jarak rumah-halte dan halte-kantor kurang dari 1km, dengan senang hati jalan kaki. namun bagaimana jika jarak dari rumah-halte dan halte-kantor total 10Km untuk PP ? apakah Bpk pernh dalam 1 hari jalan kaki 10 KM ?
      saya pernah menjalankan moda seperti ini selama 2 minggu sebelum memutuskan menggunakan sepeda lipat. total waktu yang dibutuhkan untuk jalan kaki kurang lebih 80 menit untuk halte-kantor PP, sedangkan meggunakan sepeda lipat hanya 20 menit. dan dari rumah-halte butuh waktu 60 menit PP, sedangkan sepeda lipat hanya 15 menit.

      Kenapa tidak meggunakan Ojol saja ? saya pun sdh pernh menggunakan moda ini. total menggunakan Ojol 4x dalam sehari dengan biaya ojol+busway per hari RP 59.000/ hari, 1.180.000 / hari, dan 14.160.000 /tahun. Bandingkan dengan menggunakan sepeda lipat hanya membutuhkan biaya Rp 7.000 / hari, 140.000 / bln atau 1.680.000 / tahun. mungkin untuk Bpk selisih 12 jt/ tahun tidak ada artinya, tapi bagi beberapa orang selisih biaya ini bisa digunakan untuk mengalihkan menjadi biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dll.
      Sekali lagi itu hanya pilihan.

      ditengah gencarnya pemerintah menyuarakan kegiatan bersepeda bukan hanya untuk saat liburan saja, bisa digunakan untuk kegiatas sehari2 yaitu berangkat ke kantor, belanja dsb. saya coba share bbrp link, jika Bpk tertarik silahkan dibuka dan dibaca.

      https://kumparan.com/kumparannews/sepeda-lipat-boleh-masuk-bus-transjakarta-tapi-tidak-di-mikrotrans-1uAIiHacpcd

      https://www.genpi.co/berita/8267/mrt-transjakarta-ramah-untuk-para-pesepeda

      https://www.tribunnews.com/bisnis/2020/09/30/bptj-siapkan-fasilitas-bagasi-untuk-penumpang-bus-jr-connection-yang-bawa-sepeda-lipat

      Demikian perlu Kami sampaikan, sekali lagi mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan. terima kasih

      7
      2
  • 18 Januari 2021 - (12:27 WIB)
    Permalink

    Saya udah 5 tahun naik busway dan saya terganggu dengan orng2 yg bawa sepeda ke busway, smenjak bumingnya GOWES, mreka seolah2 paling WOW, dengan menggowes di JPO lalu sepeda dilipet dan BERDIRI DIDEKAT PINTU.

    8
    4
    • 18 Januari 2021 - (14:28 WIB)
      Permalink

      Selamat siang Kaka Yopi,

      terima kasih atas komentarnya dan mohon maaf saya sampaikan jika kami yang membawa seli dirasa mengurangi kenyamanan Kaka Yopi.

      Kenapa ada yang bawa Seli? karena Direktur Pelayanan dan Pengembangan Transjakarta menyatakan di media Kumparan bawha ” Sepeda Lipat Boleh Masuk Transjakarta tapi tidak di Mikrotrans ”
      Sumber : https://kumparan.com/kumparannews/sepeda-lipat-boleh-masuk-bus-transjakarta-tapi-tidak-di-mikrotrans-1uAIiHacpcd

      kemudian @dkijakarta (22/3). Pesepeda siap naik MRT Jakarta (foto: Instagram @dkijakarta) Luas area Ratangga memudahkan penumpang pesepeda untuk memasukkan dan meletakkan sepedanya tanpa mengganggu penumpang lain. Tidak hanya itu, para pesepeda juga dapat melanjutkan perjalanannya dengan bus Transjakarta yang terintegrasi dengan MRT. Dengan adanya kemudahan akses tersebut, para pesepeda bisa bebas untuk melanjutkan perjalanan dengan menggunakan moda transportasi yang telah terintegrasi di DKI Jakarta, seperti MRT Jakarta dan Transjakarta.

      Baca kuy…

      “MRT & Transjakarta Ramah untuk Para Pesepeda”,

      https://www.genpi.co/berita/8267/mrt-transjakarta-ramah-untuk-para-pesepeda

      Silahkan komplain ke pejabat2 yang sdh pencitraan mendukung gerakan bersepeda ya. terima kasih

      2
      1
    • 3 Februari 2022 - (19:57 WIB)
      Permalink

      Mohon maaf pak Yopi, apakah benar ada pengguna berdiri didekat Pintu, tolong kalau ada difoto dan ditegur, jadi jangan asal menuduh tanpa data, karena pengguna sepeda Gowes cukup tahu diri untuk tidak mengganggu pengguna bus umum.
      Terima kasih

  • 19 Januari 2021 - (19:49 WIB)
    Permalink

    Dear Mas Tulus,

    Saya cukup sering melihat penumpang bus TransJakarta dengan sepeda lipat naik dari halte Puri Beta 1 (lengkap dengan helm). Dan saya juga kerap menjumpai yang bersangkutan di halte Rawa Barat. Semoga saja itu benar Anda, mas Tulus.

    Izinkan saya dengan rasa tulus memberikan opini dari sudut yang berbeda. Penumpang bus tentunya ingin mendapatkan kenyamanan dan keamanan. Saya tidak akan mempermasalahkan jika kondisi bus sedang kosong, bahkan pedagang dengan barang bawaan yang lumayan banyak pun pernah saya jumpai naik bus TransJakarta. Nah, untuk kasus sepeda lipat atau barang bawaan lain yang seukuran, sebagai penumpang, saya merasakan itu cukup mengganggu ketika kondisi di dalam bus ramai. Anda naik dari halte Puri Beta 1 itu bisa dipahami, karena di halte ini hanya terbuka pintu sebelah kiri, yang kemudian jika Anda berhasil masuk ke bus, maka Anda akan “selamat” dari himpitan lautan manusia, karena di halte-halte berikutnya pintu kanan yang selalu akan terbuka. Menempatkan sepeda lipat di pojokan tidak akan terlalu mengganggu. Kekhawatiran saya sebagai penumpang adalah barang-barang seperti itu dapat mencederai atau paling tidak bisa “mengotori” penumpang lain. Kurang fair juga bila melihat manusia mengantri panjang di halte Adam Malik sampai tidak bisa masuk karena kita bawa barang bawaan yang terhitung memakan ruang (bisa dibilang 1 buah sepeda lipat setara dengan 1 orang dewasa). Ini tidak terbatas pada sepeda lipat sih, saya juga pernah melihat penumpang dari halte Adam Malik membawa scooter listrik roda 1 (mungkin sejenis Ninebot), ukuran kira-kira setara dengan sepeda lipat.

    Memang sih gowes bike to work itu sehat & menyehatkan, bukan cuma untuk badan, tapi kantong juga. FYI, sehari-hari dari rumah ke halte Puri Beta dan dari kantor ke halte Rawa Barat saya mengandalkan ojek online, bisa dihitung sendiri berapa pengeluaran per harinya. Saran saya sih, kita sama-sama menghormati hak. Kalau dari pihak operator transportasi membuat kebijakan seperti itu, pasti ada alasan baiknya, dan pasti juga ada minusnya. Semenjak pandemi ini sih saya sudah jarang ke kantor naik bus TransJakarta, dan lebih sering pakai sepeda motor. You know what, it’s much cheaper. Serius, saya menyesal kenapa tidak dari dulu saya bawa motor aja ke kantor, daripada naik bus yang ramai selalu berdiri, bahkan kalau pulang harus nunggu malam biar agak lengang. Capek sekali, saya bahkan pernah merasakan yang lebih lagi ketika dulu masih commuting Bogor-Jakarta PP via KRL. Saya sih penginnya bisa beli sepeda motor listrik kalau sudah punya cukup uang, itu akan lebih irit lagi.

    Demikian sekedar komentar saya sesama pelanggan koridor 13 (atau mantan pelanggan). No offense, mohon diterima sebagai masukan saja.

    4
    1
    • 20 Januari 2021 - (11:08 WIB)
      Permalink

      Dear Mas Setiawan,

      Terima kasih komentar, usulan dan kritiknya. salam kenal ya sesama pengguna koridor 13, sekali lagi mohon maaf jika keberadaan kami yang membawa sepeda lipat dianggap mengganggu kenyamanan penumpang lain.
      sejak tahun 2018 saya sdh rutin membawa sepeda lipat mulai dari pertama kali nyoba yang ukuran 20″ tetapi hanya sebentar saja karena ketika dilipat dimensinya cukup besar. Kemudian saya ganti dengan yang 16″, dengan tiga lipatan sehingga dimensi hasil lipatan cukup ringkas dan tidak makan space banyak, jika kita posisi bediri sepeda bisa berada di antara kedua paha. kurang lebih mirip ukuran koper. JIka saya tanyakan kepada petugas halte, berapa banyak yang membawa sepeda lipat saat jam brkt-pulang kantor? mereka menjawab tidak nyampe 10 orang. bayangkan dengan jumlah armada bus yg jumlahnya puluhan, dan jumlah penumpang ribuan penumpang yang membawa seli masuk ke busway tidak sampe 10.
      Betul saya selalu naik dari Puribeta 1 tetapi tidak turun di rawa barat melainkan di tendean. karena dari tendean lanjut goes ke kantor di daerah kuningan.
      dan betul, jika naik dari puribeta 1, maka tempat favorit pembawa seli adalah sisi pintu kiri. Kami bahkan bisa beberapa kali menunda untuk naik ke dalam bus jika memang kondisi bus sdh tidak memungkinkan untuk dinaiki, dan beberapa kali malah penumpang memberikan tempat di pintu kiri agar saya bisa menyimpan sepeda lipat agar ketika sampe halte adam malik penumpang bisa leluasa masuk. begitupun ketika pulang kantor, saya naik busway dari halte tendean wlpn di dekat kantor ada halte dan busa menggunakan 13E, namun kondisi bus tidak memungkinkan untuk membawa masuk seli, kami paham kok makanya memilih di halte tendean karena ada bus pengumpan atau kadang 13A yang dari blok M arah ciledug biasanya cenderung lbh longgar sehingga kami bisa menyimpan sepeda dipintu kiri belakang.
      jujur Kami pengguna seli awalnya mendapatkan angin segar karena beberapa pernyataan para pejabat baik dari pihak transjakarta, kementrian perhubungan maupun Gubernur DKi yang menyatakan bahwa Sepeda lipat boleh masuk busway, Busway akan menyediakan bagasi sepeda, sepeda bisa digunakan untuk kegiatan sehari2 termasuk bekerja dsb. namun Kami sadar itu hanya harapan palsu karna dalam kenyataannya dari pihak oprator tranposrtasi maupun dari sebagian penumpang msh belum siap menerima keberadaan kami yang memilih menggunakan sepeda lipat kombinasi busway untuk berangkat kerja. Padahal dalam kondisi pandemi seperti ini Pemprov DKI mengeluarkan aturan kapasitas maksium bus sedang adalah 30 orang, itu sangat memungkinkan sekali membawa sepeda lipat. tp yasudahlah apa mau dikata walapun selalu berharap suatu hari banyak yang menggunakan sepeda untuk berangkat ke kantor sehingga bisa membantu mengurangi polusi walaupun gatau kapan itu bisa terjadi.

      Sekali lagi, Kami mohon maaf jika keberadaan kami yang menggunakan sepeda lipat dirasa sangat mengganggu kenyamanan penumpang lain.
      mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan.

      Terima kasih,

      Tulus Gunawan

  • 14 Februari 2021 - (03:50 WIB)
    Permalink

    Salam Pak Tulus, sedikit berbagi pengalaman dari saya yang pernah beberapa tahun tinggal dan bersepeda di London. Di London, pesepeda cukup di support dengan mulai banyak dibangunnya jalur sepeda dan kendaraan lain yang sangat mendahulukan pesepeda. Namun urusan sepeda lipat masuk kendaraan umum, itu lain cerita. Bus di London di design memiliki ruang kosong di bagian tengah untuk penumpang dengan barang-barang besar. Dan tau dimana prioritas orang yang membawa sepeda lipat? ada di prioritas terakhir, setelah kursi roda, dorongan bayi, dan koper besar. Jika saya membawa sepeda di dalam bus dan ternyata di halte depan ada orang dengan dorongan bayi, saya dan sepeda harus turun untuk memberikan tempat bagi dorongan bayi. Untuk bisa masuk ke dalam bus tentu saja tidak mudah, saya harus meminta izin supir bus, jika supir mengizinkan baru saya boleh masuk, jika supir merasa bus terlalu penuh maka saya harus terima tolakan supir bus. Jadi jangan berkecil hati jika sepeda anda tidak bisa masuk bus. Menurut saya sebagai pesepeda dan mantan pengguna transjakarta, memang tidak seharusnya seli masuk ke dalam kendaraan umum. Di negara-negara Eropa sendiri, walaupun sepeda boleh masuk kendaraan umum, masyarakatnya cukup paham bahwa kendaraan umum diutamakan bagi orang pejalan, bukan pesepeda.

    Saya pribadi lebih mendukung disediakannya parkiran sepeda yang aman di halte transjakarta. Seperti halnya pemotor yang berangkat dari rumah menunju stasiun KRL, kemudian memarkirkan kendaraan di sana, untuk ke kantor menggunakan KRL. Menurut saya cara tersebut paling ideal ketimbang membawa kendaraan pribadi, apapun itu, masuk ke dalam transportasi umum. Setelah dari kendaraan umum naik apa? bisa naik ojek atau jalan kaki kalau mau hemat. Jika punya sepeda dua, bisa memarkirkan kendaraan di dua titik, hal ini banyak dilakukan orang di Eropa.

    Tapi jika tetap ingin membawa sepeda masuk bus, saya rasa teman-teman di atas sudah memberikan saran yang baik: Gunakan tas sepeda. Cara ini saya rasa paling bijak jika ingin tetap bawa sepeda. Alangkah baiknya jika cara tersebut dicoba terlebih dahulu dan lihat apakah membawa dampak atau tidak, baru kemudian Pak Tulus sharing lagi. Please kindly do that first.

    Alangkah baiknya jika kita yang terlebih dahulu berusaha merubah sesuatu dari diri kita, bukan sekedar mengharapkan orang lain merubah pandangan mereka akan kita. Rasanya sudah jelas bahwa mayoritas penumpang lain merasa tidak nyaman dengan adanya sepeda di dalam bus. Alangkah baiknya jika kata maaf juga perlu diiringi dengan perubahan. Tas sepeda berisi seli, walaupun ukurannya besar, akan memberikan kenyamanan lebih bagi orang sekitar, ketimbang seli yang dibawa masuk begitu saja ke dalam bus. Diskusi ini tidak akan pernah selesai pak jika saran yang diberikan teman-teman di atas tidak pernah dicoba. Salam.

  • 7 Juni 2021 - (11:36 WIB)
    Permalink

    pengalaman saya sama dengan yg saudara alami namun saya arah sebaliknya saya gowes dari cipinang melayu ke tendean 5 km – busway to cbd – lanjut graha raya 5 km.. sangat lenggang penumpang pagi jam 07 00 dengan arah sebaliknya dari jakarta ke cileduk, penumpang bisa terhitung 5 – 10 bahkan saya sendiri di bus…sebaliknya dari cbd cileduk ke tendean di jam 17 40 penumpang sedikit rata 2 sekitar 3 – 10 orang..
    ketika awal bulan juni 2021 naik jam 18.00 di puri beta 1 ke tendean ngk boleh…padahal 3 hari sehari sebelumnya naik dari cbd jam yg sama arah yg sama boleh2 saja.(aneh)..kita secara tidak langsung mengajak orang untuk lebih baik lho..mengurangi polusi., menyehatkan badan , melancarkan peredaran darah warktu lebih efisien ( tidak olahraga di rmh(bisa aktifitas dgn keluarga) ).. peraturan tersebut its ok tapi harus ada solusinya.?

  • 26 April 2022 - (13:12 WIB)
    Permalink

    niat bat komen panjang gitu, g bakal buat perubahan, org2 emg blm open mind, this is indo society haha,

    saran gw klo mo tetep pake sepeda lanjutin ja(selagi diperbolehin sm petugas),
    g ush minder, org pada brani bacot online aja,
    klw gw liat komen mrka, keliatan baru/ jarang naek Tije,

    keep gowes bro, jkt lg sakit polusi & macet,
    sm jg bau badan smpe kantor hihi

  • 14 November 2022 - (17:59 WIB)
    Permalink

    Apakah memang sampai saat ini peraturannya masih abu-abu di transjakarta ? saya doakan semoga kedepannya masyarakat dan transportasi di Jabodetabek dan Indonesia semakin berkembang dan dibuat peraturan yang lebih jelas tentang kendaraan naik kendaraan ini, jadi ga ada lagi oknum atau pihak yang julid atau negatif terus pikirannya.

    Sekarang sudah ada skuter listrik, unicycle listrik, skateboard, dan sepeda lipat yang saya lihat naik ke kendaraan umum. Selain sehat, unik, irit, hemat, ga ada polusi, jalanan ga macet, ga capek, ga ngantuk dijalan bawa motor / mobil, harganya tidak mahal dan ini untuk jangka panjang.

    Semangat !

  • 25 Agustus 2023 - (17:43 WIB)
    Permalink

    Masalah sepeda lipet aja ribet bgt,selama ada aturan ikutin, boleh = lanjut, ga boleh = cari solusi lain, kelar.

 Apa Komentar Anda mengenai Bus Transjakarta?

Ada 24 komentar sampai saat ini..

Bus Transjakarta Tidak Ramah Terhadap Sepeda Lipat

oleh TULUS dibaca dalam: 1 menit
24