Berita Konsumen

Penurunan Harga BBM Non Subsidi Tidak Banyak Membantu Rakyat

Media Konsumen, Jakarta – Penurunan Harga BBM Non Subsidi pada Bulan Maret 2016, tidak menyentuh subtansi pembangunan ekonomi nasional dan tidak banyak membantu rakyat, karena penurunan tersebut sangat tipis dan hanya sebagai peredam sementara atas gejolak tuntutan rakyat. Demikian menurut Anggota DPR-RI dari Komisi Energi, Kurtubi, menanggapi kebijakan pemerintah menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada awal Bulan Maret ini.

Pemerintah dituntut berhenti melakukan pencitraan yang hanya memberi obat penenang sementara kepada rakyat dan mengutamakan keuntungan Pertamina sebesar-besarnya dalam penjualan harga minyak.

“Semestinya Pemerintah sebagai pemegang kebijakan bisa memanfaatkan harga minyak dunia yang murah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui penurunan harga BBM secara signifikan,” tegas Kurtubi, Selasa (1/3).

Lebih lanjut menurut Anggota Dewan yang juga berasal dari Fraksi Nasdem, jika seandainya pemerintah berani menurunkan harga hingga Rp1.000 per liter, maka dia yakin akan terjadi peningkatan daya beli pada masyarakat.

“Misalkan dengan penurunan Rp1.000 per liter, daya beli rakyat bisa meningkat, ongkos angkutan bisa turun sehingga pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi yang berpotensi meningkatkan penerimaan pajak,” pungkasnya.

Sebagai bahan perbandingan, harga jual eceran BBM jenis premium RON95 dan RON97 di Malaysia turun masing-masing 15 sen dan 10 sen ringgit per liter mulai Selasa (1/3) dini hari, sementara harga diesel tidak berubah.

Menurut sumber industri yang dikutip berbagai media setempat di Kuala Lumpur, Selasa, harga baru RON95 (setara pertamax plus) menjadi 1,6 ringgit (Rp5.120) per liter dan RON97 menjadi 1,97 ringgit (Rp6.300) per liter. Harga diesel tetap pada 1,35 ringgit (Rp4.320) per liter atau tidak mengalami penurunan harga eceran.

Sementara, di dalam negeri, PT Pertamina (Persero) per 1 Maret 2016 juga menurunkan harga bensin jenis Pertamax (RON92) Rp200 per liter menjadi Rp7.950 per liter, Pertamax Plus (RON95) Rp200 per liter menjadi Rp8.850 per liter, Pertalie (RON90) Rp100 per liter menjadi Rp7.500 per liter, dan Pertamina Dex (diesel) Rp200 per liter menjadi Rp8.800 per liter.

Sedangkan, untuk harga premium dan solar bersubsidi yang ditetapkan pemerintah, tidak berubah. Harga premium (RON88) tetap Rp7.050 di wilayah Jawa-Bali dan Rp6.950 di luar Jawa Bali, sedangkan solar bersubsidi tetap Rp5.650 per liter.

Keterbukaan Informasi

Ketua Komisi Informasi Pusat Abdulhamid Dipopramono mengatakan Menteri ESDM Sudirman Said harus terbuka dan transparan soal harga BBM dan pungutan ketahanan energi yang akan dibebankan pada harga BBM tersebut.

Abdulhamid di Jakarta, Selasa (29/12/2015), mengatakan hal itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) bahwa setiap kebijakan pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik) harus dilakukan secara transparan guna memenuhi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, bebas dari manipulasi, akuntabel, dan untuk menumbuhkan kepercayaan (trust) dari publik kepada pemerintah, sebagai pengambil kebijakan.

“Pemerintah tidak cukup hanya mengatakan bahwa kebijakan ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi. Juga tidak cukup dengan mengatakan energi fosil kita yang tak terbarukan akan segera habis. Pemerintah harus mulai lebih detail dan objektif argumentasinya kepada rakyat sebagai konsumen BBM dan objek pungut,” katanya.

Ia mengatakan, selain atas alasan undang-undang, yang itu pun harus diterjemahkan lebih lanjut ke dalam peraturan pemerintah, maka pemerintah harus terbuka terhadap komponen biaya produksi BBM dan profit yang diambil, sehingga ada alasan harga BBM menjadi seperti sekarang ini. Sebab harga tersebut, menurut publik lebih mahal.

Ia mengatakan tuntutan untuk dilakukan efisiensi di PT Pertamina dan untuk membuka hitung-hitungan harga BBM-nya ke publik yang selama ini tak pernah dihiraukan sudah saatnya dijawab oleh pemerintah maupun Pertamina.

“Kini momentum bagi pemerintah dan PT Pertamina, sebagai BUMN migas, untuk mulai terbuka ke publik, disebabkan publik merasa harga BBM masih mahal dan akan dipungut biaya untuk ketahanan energi. Pemerintah harus menjelaskan secara transparan bagaimana dana pungutan itu kelak akan dikelola dan dijamin tidak dikorupsi atau diselewengkan,” katanya.

Kementerian ESDM dan Pertamina pun harus menjelaskan bahwa harga jual BBM kepada rakyat itu rasional dan merupakan produk dari perusahaan yang efisien.

Apalagi, menurut dia, pemerintah sudah berani melikuidasi Petral yang selama ini dianggap makelar dan bagian dari ekonomi rente. Adanya makelar dan ekonomi rente akan membuat harga barang mahal dan tidak efisien, sehingga jika dihilangkan akan membuat harga menjadi murah. Tapi kenyataannya tak ada perubahan signifikan setelah likuidasi Petral.

“Ini harus dijelaskan ke publik, agar tidak tumbuh pemikiran bahwa Petral yang dilikuidasi hanya digantikan oleh ‘Petral baru’ dan hanya berganti pemain,” katanya.

Disparitas Harga

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengaku heran begitu lebarnya selisih harga jual bahan bakar minyak (BBM) antara Indonesia dan Malaysia. Faisal menghitung ada selisih lebih mahal Rp3 ribu per liter yang harus dibayarkan warga Indonesia untuk BBM dengan kualitas yang sama.

Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu menjelaskan, harga BBM berkadar oktan (RON) 95 yang dijual di Malaysia adalah 1,6 ringgit atau setara Rp5.120 per liter. Bahkan, harga per 1 Maret 2016 tersebut lebih rendah 8,57% dibandingkan harga bulan sebelumnya di angka 1,75 ringgit (Baca: Perbandingan Harga BBM di Indonesia, AS, dan Malaysia pada Bulan Maret 2016).

Sementara PT Pertamina (Persero) yang menyebut bensin RON 95 di Indonesia dengan nama Pertamax Plus, menjualnya dengan harga Rp8.850 per liter. Harga itu hanya turun 2,21% dibandingkan harga jual bulan sebelumnya Rp9.050 per liter.

Sehingga bisa diketahui, perbedaan harga jual BBM dengan kualitas yang sama di kedua negara mencapai Rp3.730 per liter. Rakyat Malaysia bisa menikmati harga BBM yang lebih murah dibandingkan Indonesia.

“Perbedaan harga sebesar Rp3 ribu per liter, sungguh sangat besar. Lebih miris, Malaysia tidak mengenakan pajak untuk BBM sementara di Indonesia dikenakan pajak 15%,” kata Faisal, dikutip Rabu (2/3/2016).

Meskipun bensin jenis RON 95 merupakan BBM non subsidi yang penetapan harganya dilakukan oleh Pertamina, namun Faisal mengaku heran mengapa pemerintah selaku pemilik saham tunggal perusahaan tidak tergerak mempertanyakan perbedaan harga tersebut.

“Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga, mengapa tidak dipertanyakan pula keganjilan perbedaan harga antara Premium, Pertalite, Pertamax, dan Pertamax Plus?” ujarnya.

Faisal menyayangkan tidak adanya transparansi formula perhitungan harga BBM di Indonesia, terutama yang ditetapkan oleh Pertamina untuk BBM non subsidi.

“Saatnya kita menuntut transparansi formula perhitungan harga BBM di Indonesia, termasuk harga avtur dan harga BBM untuk kapal yang tak kalah mahalnya,” tegasnya. (IS/dari berbagai sumber)

Bagikan

Komentar

  • Harga minyak dunia turun, tapi harga-harga kebutuhan pokok sudah terlanjur naik.. Daya beli masyarakat semakin terpukul..

Penulis
Redaksi