Opini

Ramadhanomics: Takjil, PKL dan Ekonomi Kota

Oleh M. Ramadhani

Selepas tarawih malam pertama ramadhan, tiba tiba saja sekelompok anak muda Masjid di kompleks Perumahan Fatahillah mendadak menghampiri minta izin dan permisi jualan makanan dan minuman buka puasa atau yang dikenal dengan istilah takjil di depan rumah penulis. Tentu saja niat dan kreatifitas anak muda ini mendapat dukungan dari penulis. Berita koran lokal (Sabtu, 19/05/2018) membuat judul besar PKL musiman berebut cari rezeki. Bahkan dalam berita itu juga, Ketua APKLI Kota Mataram, berani menyebut sekitar 4.000 orang mendadak jadi penggiat PKL.

Semakin berkembangnya tradisi buka puasa gratis di masjid-masjid menghidupkan bisnis makanan. Pemesanan nasi kotak meningkat drastis untuk berbuka dan sahur. Hal ini juga menunjukkan semakin tingginya kemampuan dan preferensi sebagian masyarakat untuk berbagi. Setelah pelaksanaan shalat tarawih, permintaan makanan dan minuman juga naik.

Tradisi buka puasa bersama yang dilakukan setiap hari sepanjang bulan Ramadhan merupakan contoh penambahan jam bersosialisasi sekaligus peningkatan belanja makanan. Tradisi ini juga meningkatkan permintaan akan jasa transportasi. Mal dan restoran memperpanjang jam operasional malamnya.

Fenomena di atas adalah salah satu gambaran sederhana bahwa momentum Bulan Suci Ramadhan memberikan “energi” dan jika dikaji secara ekonomi mempunyai potensi ekonomi yang sangat besar. Inilah kemudian kira kita yang disebut “Ramadhanomics”.

Ramadhan memang bulan penuh berkah. Tidak hanya secara spiritual tetapi berkah secara ekonomi. Bagi seluruh umat manusia. Bukan hanya semata-mata umat Muslim. Seorang ekonom dalam blognya menulis artikel stimulus Bulan Suci Ramadhan dalam pola konsumsi.

Shelina Janmohamed, penulis buku “Generation M: Young Muslims Changing the World”, menyimpulkan bahwa bulan Ramadhan mengubah keseluruhan gaya hidup yang membawa dampak ekonomi positif. Janmohamed, konsultan pemasaran Ogilvy Noor, dalam risetnya, “The Great British Ramadan”, memperkirakan kenaikan permintaan 200 juta poundsterling setiap Ramadhan yang meliputi pembelian financial planning dan asuransi, makanan, baju, mainan, dan berbagai hadiah.

Dalam data BPS setiap Bulan Ramadhan hingga jelang bahkan pasca Idul Fitri, pasti dikuti oleh kenaikan harga-harga barang dan inflasi rata rata mencapai 0,7%. Ini artinya bisa dipastikan siapapun, usaha apapun, yang penting halal tentunya, di Bulan Ramadhan pasti akan mengeruk keuntungan yang relatif lebih besar daripada bulan-bulan selain Bulan Ramadhan. Menjadi “mendadak kaya”. Industri retail mencatat kenaikan omset 300%. Termasuk juga peranan ekonomi informal, PKL, dengan penjualan takjil, kue lebaran dadakan.

Jangan lupa pula, fenomena budaya mudik. Secara hitungan gampang-gampangan, jika saja diprediksi jumlah pemudik naik 10-15% tahun ini. Menurut data Kementerian Perhubungan RI secara keseluruhan nasional jumlah pemudik lebaran 2018 diprediksi sejumlah 19,5 juta orang. Dengan asumsi jika saja satu orang membelanjakan Rp2.000.000,- untuk transportasi saja, maka total uang yang beredar Rp39 triliun. Sebuah angka yang luar biasa.

Belum lagi kebutuhan uang tunai selama Ramadhan dan Idul Fitri tentu meningkat tajam. Bank Indonesia (BI) bakal menyiapkan tambahan uang tunai sebesar Rp167 triliun guna mengantisipasi melonjaknya permintaan uang tunai jelang ramadan dan perayaan Idul Fitri 1439 H. Jumlah itu naik sekitar 14 persen dari jumlah tambahan uang beredar pada periode yang sama, yakni Rp146 triliun. Hampir terlupakan pula, potensi ekonomi umat yang terhimpun dalam kewajiban Zakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam ibadah wajib di bulan Ramadhan. Data Bimas Islam Kementerian Agama RI menyebutkan, berdasarkan penelitian data terdahulu potensi zakat nasional mencapai Rp217 triliun, namun yang baru terkumpul hanya 0,2% atau Rp6 triliun per tahun. Inilah potensi kekuatan ekonomi bulan Ramadhan. Masya Allah.

Segelas Cendol bagi Ekonomi Kota

Jika saja 1% dari nilai Rp167 triliun itu mampir dan berputar di wilayah kota seperti Kota Mataram, kota kecil dan heterogen ini, atau sekitar Rp1,67 triliun berarti lebih besar dari APBD kota Mataram tahun 2018 yang hanya sebesar Rp1,4 triliun. Maka tentu saja aktivitas ekonomi kota setidaknya harus menjadi berkah dan kenikmatan bagi warga kota secara keseluruhan. Makanya jangan anggap remeh kekuatan pedagang informal dan PKL yang mendadak menjamur.

Jika 4.000 PKL diasumsikan beromset Rp100.000 saja per hari maka Rp400 juta uang bertebaran di pusat pusat keramaian dan sepanjang jalan kota di setiap sore dan malam hari selama Bulan Ramadhan. Maka sesungguhnya ide event wisata religi “Festival Pesona Semarak Ramadhan” yang dipusatkan salah satu ikon kota ini yaitu Masjid Hisbul Wathan Islamic Center adalah salah satu upaya kreatif dalam menangkap sedikit potensi dan peluang besar tersebut. Stand Kuliner khas, pakaian muslim dan berbagai komoditas lainnya telah menyatu dalam kekhusukan malam tarawih malam Ramadhan. Dalam skala yang jauh lebih besar, hal ini meniru kekuatan ekonomi Kota Makkah dan Madinah dalam promosi “Umrah Ramadhan” nya. Ratusan ribu dan jutaan umat Muslim berduyun-duyun mengunjungi Rumah Allah yang tentu saja dengan berbekal segepok uang dengan berbagai mata uang masing-masing negeri dari berbagai penjuru dunia. Di samping pahala diobral, uangpun bertebaran.

Lebaran Rasa Pilkada

Satu hal yang memicu Ramadhan dan Lebaran tahun ini sedikit unik adalah ada aroma politik dalam obrolan selepas tarawih dan menunggu buka. Pilkada serentak semakin memperkaya warna berbeda Ramadhan tahun ini. Transaksi ekonomi dan peredaran uang nampaknya beririsan dengan biaya dan transaksi politik yang dipicu oleh perhelatan agenda politik daerah tak lama setelah lebaran Idul Fitri. Aroma politisasi dalam bingkisan lebaran sepertinya tak terelakan. Silaturahmi keluarga dan reuni angkatan sekolah pasti terselip pesan pesan politik. Semua calon tentu sudah menebar pesona dengan mengatur stamina dan amunisi di momen lebaran ini. Ibarat perhelatan pilkada adalah sebuah lari marathon, maka lebaran adalah sprinter 100 meter terakhir untuk mencapai garis finis. Sangat menentukan hasil akhir dari proses perjuangan panjang yang menghabiskan semua energi dan kekuatan yang ada.

Ramadhanomics: Godaan Meraih Lailautul Qodar?

Tak diragukan lagi kekuatan ekonomi di Bulan Ramadhan begitu dahsyat dan mencengangkan. Dan akan makin menggila di hari-hari menjelang Idul Fitri di ujung Bulan Ramadhan. Di sisi lain dahsyatnya kekuatan Ramadhanomics jangan sampai juga melalaikan kita dari “bonus” 10 hari terakhir Ramadhan dengan Malam Lailatul Qodar-nya.

Indahnya Ramadhan, subhannallah. Hanya dengan perintah beberapa ayat di kitab suci Al Quran, geliat ekonomi kota, ekonomi lokal bahkan ekonomi dunia bergerak. Nikmat mana lagi kau dustakan?

Selamat menjalankan ibadah puasa dan berbuka dengan lezatnya jajajan PKL, es cendol di teras megahnya menara IC, sambil menanti turunnya malam lailatul qadar. Maha besar Allah yang maha pengasih dan pemberi rezeki.

*Penulis adalah ASN di Pemkot Kota Mataram, Pengurus DPW LDII NTB.

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.
Bagikan
Penulis
muhammad ramadhani