Opini

Sandal Sang Gubernur dan Visi NTB Gemilang

Oleh M. Ramadhani

“Lagi-lagi sandal pak Gubernur, saya jadi gak sopan pakai sepatu..” demikian pesan whatsapp salah satu petinggi daerah di NTB. Artinya, seringkali dalam berbagai event resmi, Sang Gubernur sepertinya tidak terlalu sibuk dengan penampilannya. Tapi bagi seorang pejabat, penampilan memiliki standar dan aturan protokoler. Bagi seorang pejabat publik, lebih lebih jabatan politik, apapun itu, tentu menjadi tidak sederhana. Mungkin tidak sedikit yang menegur dan mengingatkannya. Walaupun mungkin justru pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa Sang Gubernur adalah figur yang sederhana. Meski tidak bisa juga disimpulkan bahwa memakai sandal berarti adalah berprinsip hidup sederhana.

Penulis secara kebetulan salaman pertama kali dengan Sang Gubernur, di ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal 1. Terminal 1 artinya beliau memilih maskapai Lion Air, maskapai berbiaya rendah dan baru beberapa hari sebelumnya mengalami kecelakaan. Sepertinya Sang Gubernur tidak terlalu ambil pusing dan sibuk dengan ketentuan dan standar minimal tentang keselamatan dan kenyamanan pejabat selevel beliau. Terlihat santai. Tentu sekali lagi dengan sepatu sandal. Ketika diminta berswafoto, dengan cepat dan erat dia memeluk. Plus dengan bonus tawaran untuk mengambil peluang studi S2 atau S3 keluar negeri. Ya, saat itu Sang Gubernur transit dari perjalanan road show untuk mencari peluang beasiswa putra putri NTB untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Dari Malaysia lanjut ke Polandia.

Berkaitan dengan itu pula, seorang Sahabat, Doktor dari Universitas Kebangsaan Malaysia mengirim pesan. “Aku mau ke Lombok, ada agenda presentasi diundang Pak Gubernur dalam acara International Education and Scholarship Expo (IESE) NTB, tidak lupa memuji profil Gubernur yang humble dan tak berjarak dengan siapapun.

Habibie, Investasi Manusia dan Visi NTB Gemilang

Ada yang tidak kenal Habibie? Ya, prototipe manusia pintar Indonesia. Iwan Fals dalam lagunya Omar Bakrie mengabadikan jika ada anak kecil berotak cerdas di sekolah pada awal-awal 1980-an selalu dijuluki “Otak Habibie”. Penulispun teringat ketika menonton film Rudi Habibie. Saat itu Indonesia sedang booming minyak. Menjadi negeri kaya minyak membuat negeri ini berlimpah uang. Adalah Ibnu Sutowo, adalah Direktur Pertamina di masa jaya-jayanya yang memberikan jaminan biaya pendidikan sang Habibie Muda.

Tak lama kemudian ia pulang dengan keahliannya membuat pesawat. Bukan pesawat mainan tetapi pesawat terbang tercanggih. Singkat cerita, mimpi itupun baru menjadi kenyataan 20 Oktober 1997. Ketika kepakan sayap N-250 mengangkasa. Penulis ingin mengatakan bahwa untuk sebuah transformasi peradaban butuh waktu sekitar 30 tahun. Proses waktu yang cukup lama.

Investasi pendidikan adalah salah satu cara meraih mimpi dan merekayasa masa depan. Itulah yang diyakini oleh Sang Gubernur. Penulis pun meyakini itu 1.000%. Sepertinya semua orang mengiyakan. Tetapi perlu diingat investasi pendidikan adalah antargenerasi. Sementara Sang Gubernur punya visi dalam tempo waktu minimal 5 tahun, ataupun kalau bernasib baik maksimal 10 tahun. Artinya besar kemungkinan investasi pendidikan yang ditanam sang Gubernur akan dipanen tidak oleh sang Gubernur sendiri, tetapi oleh pemimpin selanjutnya.

Dalam tulisannya, Agus Talino (Suara NTB, 12/12/2018) menulis selain untuk belajar berbagai bidang ilmu. Juga untuk membuka wawasan dan cara pandang anak-anak muda. Tanpa kita sadari katanya, modal sosial kita terkuras karena persoalan politik. Bahkan dia menyebutkan, Indonesia mengalami defisit modal sosial yang hebat. Dia memberi contoh, ketika menjadi calon Gubernur NTB beberapa waktu lalu, masih banyak yang bertanya tentang asal usul daerahnya. Padahal dirinya berasal dari NTB. Artinya, tidak sedikit orang yang masih terjebak dengan politik identitas. Dan itu bisa menjadi penyumbat untuk kita maju.

Jika program yang dilakukan di NTB ini berhasil. Harapannya, mungkin bisa menginspirasi presiden yang terpilih tahun depan untuk mengirim lebih banyak anak-anak muda ke luar negeri untuk sekolah. Biasanya kata Doktor Zul, di luar negeri kita tidak lagi mempunyai waktu untuk membicarakan asal usul daerah. Yang bergemuruh di dalam jiwa adalah kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.

Pasca terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTB Periode 2018-2023, selanjutnya disusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Nusa Tenggara Barat 2019-2024. Dalam dokumen draft RPJMD yang disosialisasikan dalam Musrenbang RPJMD beberapa waktu lalu tertuanglah visi “Membangun Nusa Tenggara Barat yang Gemilang”. Kata Gemilang merupakan akronim “GErakan Mencintai Lingkungan, Kesehatan dan Pendidikan Cemerlang”.

Awalnya penulis berasumsi sebagai wujud tagline “Lanjutkan Ikhtiar TGB”, sang Gubernur akan meneruskan dan melanjutkan visi RPJMD sebelumnya ‘NTB Beriman dan Berdaya Saing” sehingga makna keberlanjutannya menjadi lebih mudah dimengerti, konkrit dan familiar. Namun ternyata, meskipun ada kesan penulis akronim ini sedikit dipaksakan, dipas-paskan, kata Gemilang harus diakomodir sebagai visi resmi yang seolah-olah harus kembali dari “titik nol” kembali.

Lalu di mana makna kata “Lanjutkan” pada riuh di saat masa masa kampanye lalu? Sepertinya tagline tinggal tagline. Seolah hanya soal strategi saat kampanye. Lazimnya setiap rezim memang selalu ingin meninggalkan jejak sejarah masing masing. Kalau dulu ada Gema Prima, lalu Gerbang Emas, NTB Bersaing, lalu kini ada NTB Gemilang. Padahal semua hampir mirip mirip, berputar soal pengentasan kemiskinan dan meningkatkan derajat kesehatan, ujungnya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Investasi Pendidikan: Visi Kekuasaan atau Visi Religi?

Lalu pertanyaan kritisnya, apakah dengan mendorong putra putri NTB sekolah ke luar negeri secara signifikan akan berkontribusi terhadap terwujudnya visi tersebut? Di sinilah kesulitan penulis melihat titik temunya. Pendidikan S2 dan S3 bisa jadi berjalan paling cepat 2-5 tahun. Lalu apa yang didapat sang Gubernur yang memiliki masa pengabdian “sangat singkat”, 5 tahun? Perlu keikhlasan dan kelapangan dada sang penggagas jika saja seandainya sang duta yang dikirim justru “memakan tuannya sendiri”, mengkritik kebijakan sang Gubernur dan ujungnya Sang Gubernur tidak merasakan dampak langsung dari ide besar beliau. Tetapi di sisi lain, ada teori bahwa visi kekuasaan memang kadang tidak perlu harus memiliki batas waktu dan tidak terikat dengan masa kekuasaan, karena bisa jadi dengan dalih melanjutkan visi inilah yang dijadikan legitimasi untuk melanjutkan kekuasaan.

Ataukah bisa jadi kisah sang Gubernur esok Ibarat Kisah Sahabat Nabi, Bilal bin Rabah, sang Muadzin di zaman Rasulullah. Berkat amalan sholat 2 rakaat setelah wudhu, suara sandal (terompah) –nya terdengar oleh Rasulullah di surga padahal sang Bilal masih hidup di dunia, maka di suatu waktu, 10-20 atau 30 tahun mendatang orang baru tersadar, ternyata orang akan mengingat Sandal sang Gubernur akan menjadi saksi dan simbol pemimpin yang akan dikenang oleh para diaspora, kaum cendekiawan muda yang dikirim Sang Gubernur sepulang dari negeri nun jauh di sana, Kota Warsawa atau kota kota negeri Jiran Malaysia. Bukan karena dia Sang Gubernur membangun infrastruktur dan industrialisasi, tetapi karena “amal jariyah” investasi ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat, masyarakat NTB. Semoga.

*Penulis, adalah warga NTB.

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.
Bagikan
Penulis
muhammad ramadhani