Surat Pembaca

Konsumen Kota Dimanja, Konsumen Desa Merana: Ketimpangan Layanan yang Tak Pernah Usai

Oleh: T.H. Hari Sucahyo

Dalam dunia yang semakin digital dan terhubung, layanan bagi konsumen seharusnya merata tanpa memandang lokasi. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan ketimpangan yang mencolok antara konsumen di kota dan desa.

Konsumen di kota seakan dimanja dengan layanan cepat, produk berkualitas, dan respons pelanggan yang prima, sementara mereka yang berada di desa harus berjuang dengan akses yang terbatas dan pelayanan yang sering kali mengecewakan. Fenomena ini terus terjadi tanpa banyak disadari atau dipersoalkan, seolah menjadi sesuatu yang lumrah dalam struktur ekonomi dan bisnis di Indonesia.

Salah satu contoh paling nyata dari ketimpangan layanan ini adalah dalam sektor telekomunikasi. Jaringan internet dan sinyal telepon di kota-kota besar sangat stabil, bahkan kecepatan internet sudah mencapai jaringan 5G di beberapa titik. Namun, bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan, mendapatkan sinyal 4G yang stabil pun masih menjadi tantangan besar. Padahal, harga paket data yang mereka bayar sama dengan pelanggan di kota, tetapi kualitas layanan yang diterima jauh berbeda. Konsumen di kota bisa menikmati streaming video tanpa hambatan, sedangkan di desa, membuka satu laman website saja bisa menjadi ujian kesabaran.

Ilustrasi yang menggambarkan ketimpangan layanan antara konsumen kota dan desa.

Ketimpangan ini juga terasa dalam layanan perbankan. Perbankan digital memang semakin berkembang, tetapi akses fisik ke layanan perbankan masih menjadi kendala bagi masyarakat di daerah terpencil. ATM yang terbatas, cabang bank yang jauh, serta biaya administrasi yang kadang lebih mahal justru lebih membebani konsumen desa. Sementara itu, konsumen di kota dengan mudah mengakses layanan finansial, baik secara fisik maupun digital, tanpa mengalami hambatan berarti.

Layanan e-commerce juga menunjukkan fenomena yang serupa. Konsumen di kota mendapatkan keuntungan besar dari promo gratis ongkir, pengiriman dalam hitungan jam, hingga berbagai diskon menarik. Sebaliknya, mereka yang tinggal di daerah pedesaan sering kali dikenakan ongkos kirim yang mahal, waktu pengiriman yang lama, bahkan beberapa layanan pengiriman menolak mengantarkan ke daerah tertentu. Perusahaan logistik lebih memilih memprioritaskan pengiriman di kota-kota besar, meninggalkan konsumen di desa dengan pilihan yang sangat terbatas.

Sektor transportasi pun tak luput dari ketimpangan ini. Layanan transportasi online berkembang pesat di kota-kota besar, memberikan kenyamanan dan efisiensi bagi penggunanya. Tarif yang bersaing dan berbagai promo menarik membuat masyarakat kota semakin diuntungkan. Di desa? Transportasi online sering kali tidak tersedia, atau jika ada, tarifnya lebih mahal karena kurangnya mitra pengemudi. Hal ini menghambat mobilitas masyarakat desa dan membuat mereka tetap bergantung pada angkutan umum tradisional yang belum tentu nyaman dan efisien.

Tidak hanya itu, perbedaan layanan juga terlihat dalam sektor kesehatan. Di kota, fasilitas kesehatan lengkap dan tersedia hampir di setiap sudut. Konsumen bisa dengan mudah memilih rumah sakit terbaik, dokter spesialis, atau layanan kesehatan yang cepat dan berkualitas. Namun, di desa, akses terhadap layanan kesehatan masih menjadi persoalan serius. Banyak daerah yang hanya memiliki satu atau dua fasilitas kesehatan dengan keterbatasan tenaga medis dan peralatan. Jika ingin mendapatkan layanan yang lebih baik, masyarakat desa harus pergi ke kota, yang berarti tambahan biaya dan waktu.

Mengapa ketimpangan ini terus terjadi? Salah satu alasan utamanya adalah logika bisnis yang lebih mengutamakan keuntungan. Kota-kota besar menjadi prioritas utama bagi perusahaan karena jumlah konsumennya lebih banyak dan daya beli lebih tinggi. Infrastruktur yang lebih baik juga mendukung perusahaan dalam memberikan layanan yang cepat dan efisien. Sebaliknya, daerah pedesaan dianggap kurang menguntungkan, sehingga investasi dalam peningkatan layanan sering kali diabaikan.

Pemerintah sebenarnya telah berupaya mengurangi ketimpangan ini dengan berbagai kebijakan, seperti program pemerataan jaringan internet dan pembangunan infrastruktur dasar. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak tantangan, terutama dalam hal keberlanjutan dan efektivitas program. Sementara itu, banyak perusahaan swasta yang tetap berorientasi pada profit tanpa memperhitungkan keadilan bagi konsumen di berbagai wilayah.

Konsumen desa sering kali tidak memiliki pilihan lain selain menerima layanan apa adanya. Berbeda dengan konsumen di kota yang bisa berpindah layanan jika merasa tidak puas, masyarakat desa terpaksa bertahan dengan kondisi yang ada karena keterbatasan opsi. Ketimpangan ini pada akhirnya menciptakan ketidakadilan struktural yang berpengaruh pada kualitas hidup masyarakat di daerah terpencil.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih serius dari berbagai pihak. Perusahaan penyedia layanan harus mulai menganggap konsumen di desa sebagai bagian dari pasar yang perlu diperhatikan, bukan sekadar pelengkap. Mereka harus berinvestasi dalam infrastruktur yang memungkinkan layanan yang lebih merata. Selain itu, pemerintah perlu lebih tegas dalam mengatur regulasi agar tidak ada kesenjangan ekstrem dalam layanan bagi konsumen.

Kesadaran dari masyarakat juga penting. Konsumen, baik di kota maupun desa, harus mulai lebih kritis dalam menuntut hak mereka. Jika ada layanan yang tidak adil, maka harus ada tekanan publik agar perusahaan maupun pemerintah segera bertindak. Media dan platform seperti Media Konsumen menjadi wadah yang tepat untuk mengangkat isu-isu ini agar semakin banyak yang peduli dan mencari solusi.

Ketimpangan layanan antara konsumen kota dan desa bukanlah sesuatu yang bisa dibiarkan terus-menerus. Jika kita ingin membangun ekosistem bisnis dan layanan yang lebih adil, maka perlu ada dorongan kolektif untuk memastikan setiap konsumen mendapatkan hak yang sama. Konsumen desa bukan warga kelas dua. Mereka berhak atas layanan yang layak, sebagaimana yang dinikmati oleh masyarakat kota. Jika perubahan tidak dimulai sekarang, sampai kapan ketidakadilan ini akan terus berlangsung?

*Penulis adalah Pengamat Customer Service Behavior

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.
Bagikan

Komentar

  • Namanya pengusaha pasti menginginkan ROI cepat tercapai jd pasti investasi di daerah dgn demand tinggi. Dan beresiko bisnis di daerah demand rendah. Pemerintah jg gak berfungsi dgn baik memberikan pelayanan yg seharusnya

  • Kalau dari sisi pengusaha ya dia bisnis. Cari cuan. Perusahaan bukan yayasan amal buat seluruh lapisan masyarakat. Aneh neh penulisnya.

  • ATM yang terbatas, cabang bank yang jauh, serta biaya administrasi yang kadang lebih mahal justru lebih membebani konsumen desa.

    coba tunjukkan dengan bukti kalo biaya administrasinya lbh mahal

  • Tp sy baru aja co bawang merah yg di Jakarta harganya udh 80rb, sy beli di oren harga 40rb sekilo tp nyampenya mungkin 3 harian. Pernah co jambu kristal langsung dr kebumen, harga 10rb sekilo, kalo di Jakarta sini harga udh 25rb-an, waktu itu nyampe ke rumah sekitar 5 harian, untung msh bagus.