“The Power of Kepepet”, Sebuah Catatan Ringan di Akhir Tahun Anggaran

Oleh M.Ramadhani

Pada tanggal 4 Desember jam 12.00,  seorang kawan birokrat, dalam status facebook-nya menulis: Setiap Bulan Desember “sakit jantung”ku kumat? Seolah Bulan Desember ceria menjadi Desember kelabu. Tentu ini hanya ungkapan yang sedikit lebay tentang kondisi anomali dari sebuah siklus tahunan dimana tumpukan tugas dan dokumen pekerjaan ditambah dengan pressure pimpinan serta diperparah lagi dengan publikasi media dengan judul besar di salah satu  headline media lokal. Sebagai contoh, sebut saja sebuah judul:  “Proyek Pasar Tradisional Lelet”. Tanpa justifikasi data dan nalar argumentasi yang jelas, media seolah menghakimi “pahlawan-pahlawan” pembangunan daerah.

Ungkapan hati kawan yang juga menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitnen (PPK) di atas, adalah  representasi dari pengalaman banyak PPK dan pengelola proyek APBN/APBD di setiap akhir tahun.  Selalu membuat hectic, heboh dan mencemaskan. Para pengelola keuangan dibuat menjadi kalang kabut. Terlebih lagi bila menghadapi kontrak dengan deadline akhir tahun. Ini bisa membuat seorang PPK menjadi lebih was-was dalam menangani proses pencairan dana. Tetapi dalam kondisi seperti ini, acap kali secara tiba tiba, kreatifitas dan energi luar biasa muncul  dari dalam diri. Ini lah yang disebut:  “The Power of Kepepet”. Semua toh memang akan selesai pada waktunya. Tetapi tentu kita perlu belajar,  perlu dibuat catatan-catatan kecil sebagai bahan evaluasi. Cukup keledai yang melakukan kesalahan berulang dan jatuh dilubang yang sama.

Salah satu catatan pentingnya adalah bahwa siklus tahunan dengan menumpuknya eksekusi anggaran sebagai tersangka tunggal dari kesalahan berulang ini semata mata ditimpakan kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis yang dinilai “lelet” dan kinerjanya rendah. Tulisan ini bukanlah dimaksudkan untuk pembelaan diri, tetapi mencoba secara reflektif, memberi catatan kritis  dan jujur dimana sebenarnya “akar masalahnya”, kenapa kesalahan dan anomali ini selalu berulang setiap tahunnya.

Sebagai sampling saja, sebut saja di salah satu OPD di Kota Mataram (tidak penulis sebutkan), dari rencana persentase realisasi anggaran per triwulan adalah 20%, 25%, 35% dan 20%,  maka dalam realisasinya adalah 5%, 15%, 36% dan menumpuk di triwulan IV yaitu 43%. Sampling sederhana ini menggambarkan bahwa tradisi kejar tayang diakhir tahun adalah realitas yang tidak bisa pungkiri. Angka ini akan semakin besar deviasinya di OPD yang banyak alokasi belanja modalnya, seperti di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang.

APBD sebagai Penggerak Ekonomi Daerah

Secara teori, belanja pemerintah diharapkan berjalan sesuai rencana dengan harapan akan memberikan multi player effect terhadap pertumbuhan dan laju roda ekonomi di masyarakat. Semakin cepat dan banyak belanja pemerintah maka semakin banyak pihak yang kecipratan menikmati peredaran uang belanja pemerintah. Begitulah pentingnya peranan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam perekonomian daerah  untuk menggerakkan perekonomian, boleh dikatakan APBD merupakan pemicu utama kegiatan perekonomian daerah  disamping kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa yang dilakukan oleh pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing.

Menurut penulis, ada 5 (lima)  faktor krusial yang membuat penyerapan anggaran rendah setiap tahunnya mengalami keterlambatan; Pertama, lemahnya perencanaan anggaran. rendahnya daya serap mencerminkan perencanaan program dan proyek pemerintah yang lemah dan tidak matang. Rencana pelaksanaan jadwal kerja tidak tepat dan sulit dieksekusi karena hamper dipastikan akan ada tahapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan (APBN-P atau APBD-P) di tengah tahun anggaran. Wajarnya, mekanisme perubahan jika ada sesuatu hal yang luar biasa (darurat) yang menyebabkan harus adanya perubahan yang signifikan terhadap postur anggaran. Lucunya, sering kali, baru di awal tahun anggaran seorang Anggota Tim Anggaran dengan santai sudah memastikan dengan kalimat: nanti kita anggarkan di APBD-Perubahan. Seolah olah perubahan yang direncanakan. Dengan adanya peluang revisi anggaran menyebabkan ketidakpastian dan tertundanya keputusan alokasi anggaran

APBD-P biasanya di tetapkan Bulan September, dan Bulan Oktober baru berjalan efektif., Sementara banyak belanja modal dan pembangunan fisik yang tiba tiba muncul. Maka dipastikan dengan sisa waktu 2,5 bulan, Bulan Desember terjadi kembali tumpukan pekerjaaan dan sudah pasti kejar tayang. Siapapun pengelola atau pelaksananya.

Kedua, lamanya proses pembahasan anggaran. Proses persetujuan terlalu lama dan penuh kepentingan politik. Pembahasan anggaran semestinya sudah final sampai rincian alokasi anggaran paling lambat akhir Bulan November  sehingga mulai Triwulan I masing-masing OPD sudah siap melaksanakan program kerja masing-masing. Namun kenyataannya tidak bisa serta merta. Yang terjadi, persetujuan APBD pada bulan November  masih terbatas pada besarnya pagu masing-masing OPD sedangkan detailnya baru dibahas dan pengesahanya baru ditanda-tangani medio Januari-Maret. Alhasil, anggaran paling cepat baru bisa dieksekusi di Triwulan II.

Terjadinya keterlambatan ini, merupakan kontribusi kedua belah pihak antara eksekutif dan legislatif. Satu sisi, anggaran yang diajukan pemerintah sering tidak didasari survey dan data yang akurat sehingga tidak tepat sasaran, sementara dari sisi DPRD sendiri tak jarang banyak konflik kepentingan, terutama mekanisme anggaran melalui slot pokok pokok Pikiran (Pokir)  anggota DPR/DPRD yang terkadang tiba-tiba muncul di ujung closing date entry anggaran. Ceritanya, menurut  pengakuan salah satu operator Sistem Informasi Keuangan sudah biasa melayani telepon di tengah malam, dihari libur, untuk mengentry usulan pokir yang mendadak bertambah dan atau berubah di injury time pengentryan APBD.

Ketiga yaitu keterbatasan Sumber Daya Manusia yang memiliki kualifikasi sebagai PPK.  Di salah satu OPD di suatu Pemerintah Daerah dengan 19 paket pekerjaan fisik terkadang hanya memiliki 1 atau 2 pejabat yang memiliki sertifikasi sebagai pejabat pengadaan barang dan jasa. Sehingga bisa dibayangkan tingkat kesibukan dan beban kerjanya, sementara disisi lain PPK juga dituntut tanggung jawab yang besar dan resiko yang berat untuk memastikan semua proses dan hasil pengadaan sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang ditentukan.

Keempat, tahun anggaran terlalu pendek untuk mengeksekusi dan menyelesaikan program dan proyek dengan skala nilai yang besar. Seharusnya bisa untuk tidak harus diselesaikan sekaligus dalam waktu yang sama dengan anggaran. Banyak kasus untuk belanja modal, proyek gagal dieksekusi karena terkendala waktu pelaksanaan yang tidak memungkinkan.

Terakhir, Kelima, proses pengadaan barang dan jasa, baik melalui mekanisme tender maupun penunjukan/pengadaan langsung. Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dengan beberapa kali perubahan dan penyempurnaanya, perlu terus dievaluasi dan dilakukan sosialisasi lebih luas. Ilihan penyedia barang/jasa juga perlu dilakukan secara transparan dan lepas dari intervensi dan kepentingan tertentu. Kepentingannya hanya satu:  adalah memastikan penyedia yang terpilih  memenuhi syarat administrasi, diyakini memiliki kelayakan secara teknis dan memiliki pengalaman yang cukup dalam menyediaakan barang dan jasa yang diingin diadakan/dibangun oleh pemerintah.  Disamping itu PPK dan KPA masih banyak yang kurang memahami ketentuan pengadaan barang dan jasa serta pelaksanaan anggaran. Pemerintah selalu beralasan realisasi belanja modal akan meningkat dengan pesat pada akhir tahun dengan berbagai macam alasan yang melatarbelakanginya yang pada umumnya disebabkan terlambatnya proses lelang/tender, pertanyaannya mengapa bisa terlambat padahal APBN/APBD  telah dirancang dan disahkan pada tahun sebelumnya? Mengapa proyek-proyek pembangunan fisik yang selalu terlambat?

Pasti ada sesuatu dibalik rendahnya penyerapan belanja modal pemerintah ini, salah satunya adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)  mungkin terlalu takut untuk menyelesaikan proyek-proyek pembangunan karena tidak mau dituduh korupsi oleh Aparat Penegak Hukum (APH) baik polisi, jaksa maupun Komisi Pemberatantasan Korupsi (KPK). Keberadaan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah  dan Pembangunan (TP4) baik di pusat maupun TP4 Daerah (TP4D) dari aparat kejaksaan, pengalaman  penulis  sejauh ini sangat membantu dengan adanya supervisi hukum dan mentoring agar PPK memperoleh jaminan hukum tidak tersangkut perkara korupsi ketika mengerjakan proyek pemerintah.  Selama ini memang banyak keluhan para PPK adalah menilai penghargaan yang diberikan kepadanya amat jauh lebih kecil daripada resiko hukum yang mungkin harus mereka hadapi akibat pengerjaan proyek pemerintah yang menjadi tanggung jawabnya. Terjadi mekanisme reward and punishment yang tidak seimbang. Dalam sebuah obrolan ringan dengan beberapa PPK, menyatakan “kapok” dan menyatakan niat untuk mengundurkan diri dari jabatan PPK karena konsekuensi timpangnya antara reward and punishment bagi seorang PPK.

The Power of Kepepet: Senjata Pemungkas

Dari uraian di atas bahwa keterlambatan dan penumpukan pekerjaan di ujung tahun bukan disebabkan oleh faktor tunggal, akan tetapi banyak faktor lain yang saling terkait. Kesalahan bersama yang sistemik. Sebagai sebuah tulisan reflektif, semestinya kita semua tidak dalam posisi saling menyalahkan apalagi mengkambinghitamkan seseorang pejabat sebagai penyebabnya.  Bahwa siklus perencanaan dan penganggaran pembangunan yang ketat dan diatur sedemikian rupa dalam regulasi baik Undang undang maupun aturan aturan lain dibawahnya, apalagi diikuti dengan ketentuan sanksi dan ancaman pidana yang sewaktu waktu mengancam karier seorang Pegawai Negeri Sipil. Secara keseluruhan ini menambah kompleksitas masalah betapa menjembatani antara konsistensi dan ketaaatan terhadap azaz satu disisi dan fleksibilitas di sisi yang lain, baik dalam perencanaan maupun dalam penanggaran memerlukan energi dan kemampuan ekstra. Selalu ada hal yang hanya bisa ditangani dengan insting dan pengalaman. Dan itu biasanya muncul disaat saat kritis dan kepepet. The power of kepepet adalah kekuatan yang lahir dari insting manusia dan tingkat kepasrahan kepada yang memiliki semua urusan: Allah SWT. Tuhan Yang Maha segala. Tetapi The Power of kepepet adalah jurus pamungkas. Tidak boleh digunakan terlalu sering dan dalam kondisi normal. Kalau terlalu sering juga, keampuhannya akan hilang dan akan justru bisa membahayakan. Semoga kita semua selalu di lindungi dalam menjalankan tugas tugas negara dan melayani masyarakat. Amin.

*Penulis, adalah ASN Pemkot Mataram

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.

Satu komentar untuk ““The Power of Kepepet”, Sebuah Catatan Ringan di Akhir Tahun Anggaran

 Apa Komentar Anda?

Ada 1 komentar sampai saat ini..

“The Power of Kepepet”, Sebuah Catatan Ringan di Akhir Tah…

oleh muhammad ramadhani dibaca dalam: 6 menit
1