Ilustrasi (foto: Penulis) Headline Opini Sudah Siapkah Indonesia Menyambut “Booming” Pariwisata Halal? 21 September 201621 September 2016 Dadang Syahid 1 Komentar Pariwisata Halal Ikuti kami di Google Berita Pada World Halal Travel Summit 2015 di Abu Dhabi, Lombok, Nusa Tenggara Barat menyabet dua kategori penghargaan yaitu sebagai The World’s Best Halal Tourist Destination (tujuan wisata halal terbaik) dan The World’s Best Honeymoon Destination (Tujuan Bulan Madu Halal terbaik). Sementara Hotel Sofyan Betawi di Jakarta dinobatkan sebagai World’s Best Family Friendly Hotel. Pemberian penghargaan ini tentu harus dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting mengingat potensi pariwisata halal ini sangatlah besar. Sebuah studi terbaru dari “Global Muslim Lifestyle Travel Market: Landscape & Consumer Needs” menunjukkan bahwa ceruk pasar industri pariwisata halal kaum Muslim sedunia bernilai sebesar US$126 milyar pada tahun 2011 dan diprediksi akan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 4,8% sampai tahun 2020 dibandingkan dengan prediksi pertumbuhan industri pariwisata umum sebesar 3,8%. Sementara menurut laporan Thomson Reuters, pada 2014 Muslim di seluruh dunia membelanjakan US$142 milyar untuk pariwisata (di luar Haji dan Umrah). Dibandingkan dengan pengeluaran pariwisata turis dari Cina sebesar US$160 milyar dan turis dari Amerika Serikat sebesar US$143 milyar, maka angka tersebut telah menempatkan pengeluaran turis Muslim sebagai ketiga terbesar di dunia dengan porsi 11% dari total belanja pariwisata di dunia. Bahkan DinarStandard, sebuah lembaga riset marketing di New York yang memfokuskan penelitian pada pasar Muslim memprediksi pada tahun 2020 total pengeluaran pariwisata Muslim akan mencapai US$192 milyar atau mencakup 13,4% dari total pengeluaran turis secara global. Standar pariwisata halal sendiri belum ditetapkan secara baku, namun beberapa hal yang harus diperhatikan adalah ketersediaan makanan halal yang diolah dan disiapkan sesuai dengan syariat Islam, menyediakan tempat solat, toilet dan kamar mandi yang menyediakan fasilitas bersuci dan tidak menghadap ke kiblat dan lain-lain. Hotel Ritz-Carlton di Dallas, New York and Washington Amerika Serikat sekarang menyediakan berbagai perlengkapan untuk tamu-tamu Muslim seperti saluran tv berbahasa Arab, Quran dan sajadah, dan pilihan menu makanan halal. Sebuah lembaga di Malaysia kini mulai memperkenalkan Salam Standard untuk hotel-hotel di seluruh dunia sebagai standar hotel yang memenuhi kaidah-kaidah yang mendukung pariwisata halal. Kategori yang disediakan meliputi Bronze, Silver dan Gold berdasarkan fasilitas dan pelayanan untuk tamu Muslim dengan menyediakan sajadah, arah kiblat, kebijakan minuman beralkohol dan makanan bersertifikat halal. Lebih dari 10,000 hotel di seluruh dunia sudah berpartisipasi dengan inisiatif ini, termasuk jaringan AccorHotels, Mövenpick Hotels & Resorts, Rotana Hotels & Resorts, Anantara Hotels & Resorts, dan Rixos Hotels. Selain hotel, pusat perbelanjaan yang dilengkapi fasilitas mushola juga kini menjadi pertimbangan di berbagai negara. Australia, Jepang, Singapura, Korea Selatan and Taiwan sudah mulai melakukan rintisan. Salah satu bandara di Jerman yaitu Frankfurt Main bahkan sudah menyediakan fasilitas musholla sejak lama. Ironisnya Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi penduduk Muslim terbesar di dunia tampaknya belum terlalu serius menyikapi potensi booming industri pariwisata halal ini. Hal ini ditunjukkan dengan minimnya program pemerintah dan juga peraturan-peraturan yang mendukung kesiapan ini. Dari pengalaman penulis masih banyak tempat umum seperti hotel, bandara atau pusat perbelanjaan yang tidak menyediakan fasilitas yang mendukung kebutuhan pengunjung Muslim. Maka pemerintah selayaknya mengatur dalam bentuk regulasi resmi untuk antara lain hal-hal sebagai berikut: 1. Menyediakan toilet yang mendukung kebutuhan Muslim. Saat ini masih banyak toilet yang tidak menyediakan fasilitas membasuh yang benar, misalnya fasilitas urinasi pria yang tidak dilengkapi pancuran dan penghalang cipratan. Banyak fasilitas urinasi pria menggunakan fasilitas sensor sebelum mengeluarkan air, sangat sulit untuk membasuh setelah berkemih. Bahkan masih banyak ditemui kloset yang tidak menyediakan selang air untuk membasuh dan hanya disediakan kertas tisu ala toilet di negara barat. Bagi Muslim pengguna toilet hal ini sangat tidak memenuhi syarat karena membersihkan najis dipersyaratkan menggunakan air jika tersedia. Juga arah toilet yang tidak menghadap ke kiblat. Urinasi di sebuah hotel di Indonesia dengan sensor otomatis (foto: Penulis) 2. Mushola Di banyak pusat perbelanjaan di kota-kota besar di Indonesia, musholla disiapkan seadanya saja. Banyak musholla yang ditempatkan di tempat yang menyedihkan seperti di tempat parkir yang bercampur dengan asap dari knalpot kendaraan, di tempat yang jauh dari pertokoan atau ukurannya sangat sempit. Sehingga pada saat waktu sholat yang relatif sempit waktunya seperti Magrib, banyak pengunjung yang harus berdesakkan atau bahkan tidak kebagian. Seharusnya pemerintah bisa mengatur dalam regulasi bagi pihak pengembang saat mengajukan IMB untuk membangun pusat perbelanjaan agar menyediakan fasilitas mushola yang layak mengingat Muslim diwajibkan melaksanakan sholat 5 kali dalam sehari, kecuali subuh 4 waktu sholat dilaksanakan dalam rentang jam kerja. Musholla di Bandara Frankfurt Main di Jerman (foto: Penulis) 3. Makanan dan Restoran Halal Sebagai negara dengan populasi Muslim yang besar seharusnya setiap restoran bisa diasumsikan menyediakan makanan halal. Karenanya untuk restoran yang menyediakan makanan atau minuman yang tidak halal seharusnya diwajibkan mencantumkan keterangan peringatan yang jelas dan mudah dibaca bahwa restoran tersebut mengandung makanan atau minuman yang tidak halal. Ilustrasi (foto: beritabali.com) Itulah beberapa hal yang seharusnya masuk dalam regulasi pemerintah. Selama ini fasilitas di tempat umum yang menyediakan kebutuhan khusus pengunjung Muslim lebih berasal dari inisiatif masing-masing pelaku usaha dan belum diatur dalam regulasi yang seragam oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Pengaturan dalam bentuk regulasi ini tentunya tidak akan hanya menguntungkan pengunjung Muslim tetapi secara keseluruhan akan menguntungkan Indonesia dalam menyambut booming pariwisata halal di dunia. Jika Indonesia bisa mencintrakan dirinya sebagai tujuan pariwisata halal utama di dunia, tentunya ini akan mejadi keunggulan komparatif Indonesia dan akan menarik sumber daya yang sangat besar dan mendorong perekonomian bangsa ini. Semoga. Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.
Asrul Hoesein11 Januari 2017 - (00:38 WIB)Permalink Sebagaimana judul artikel diatas [Sudah Siapkah Indonesia Menyambut “Booming” Pariwisata Halal?], seharusnya “SIAP” namun pengamatan saya ada satu hal yang masih mengganjal di Indonesia yaitu pengelolaan sampah belum maksimal oleh pengelola dan/atau pemerintah sendiri di kawasan “destinasi” pariwisata dan kawasan pendukungnya (Hotel, Resto, MCK dll), bila akan dinilai secara komprehensif masih tertinggal dari negara-negara lain, sebut negara terdekat Singapore, Thailand sudah dengan profesional mengelola sampahnya. Hal pengelolaan sampah ini yang menjadi hambatan sekaligus PR bagi pengelola pariwisata dan pemerintah daerah sendiri. Mari merubah paradigma kelola sampah. Login untuk Membalas