Pesta Ulang Tahun di Musim “Pandemi Politik”

Oleh Muhammad Ramadhani

Bulan Agustus adalah bulan spesial.  Terutama bagi  keluarga kecilku: Anak-anak ku dan ibunya semua lahir di Bulan Agustus. Masing masing, 11 Agustus buat sang istri, 16 Agustus buat si abang sulung, yang tahun ini masuk kuliah dan 24 Agustus buat si bungsu yang beranjak gadis. Tidak ada tradisi istimewa di keluargaku dalam merayakan penambahan (atau justru hakikinya berkurangnya) usia ini. Tapi penulis sebagai kepala keluarga telah memutuskan, sebagai “jalan tengah” : perayaan ulang tahun digabung dengan perayaan HUT negeri ini: 17 Agustus. Sekaligus menanamkan nasionalisme di jiwa anak anak ku.  Seremonial tiup lilin digantikan dengan menghormat  Sang Merah Putih di depan TV dan Laptop.  Dari tempat paling nyaman sedunia: di rumahku. Di kamar: bersarung dan berdaster.  Unik bukan? Sederhana, namun hikmat dan tentu saja murah meriah. Every body happy. Namun sayang lupa diabadikan.

Sebulan sudah Sang Merah Putih di depan rumahku masih berkibar. Meski dari hari ke hari makin  melorot menjadi setengah tiang, semata mata  karena ikatannya mulai longgar. Tapi ini seolah menjadi isyarat negeri ini sedang ada masalah. Wajah negeri hari ini adalah sedang bersedih: di samping pandemi Covid-19, ancaman disintegrasi selalu menghantui negeri ini. 17 Agustus tahun ini negeri ini berdirgahayu merayakan ulang tahunnya ke-75. Pekik merdeka tidak sekencang dulu lagi. Musim pandemi menyebabkan upacara hanya dilaksanakan secara virtual, daring.  Yang kencang malah demonstrasi anak bangsa yang  saling sahut menyahut soal wacana perubahan ideologi pancasila vs ideologi  khilafah.

Lalu di ujung bulan ini, 31 Agustus,  Kota Mataram, Kota tempat yang aku tinggali, berulang tahun juga. Usianya 27 tahun. Jika dianalogikan dalam siklus hidup manusia, usia 27 salah satu fase transisi untuk memutuskan hal-hal penting dalam fase kehidupan, contoh saja: menikah. Usia 25-30 tahun biasanya adalah usia di persimpangan. Kawin atau tidak? Atau menunda kawin sampai akhirnya menjadi perjaka tua. Kota Mataram juga sepertinya berada di persimpangan jalan. Akan mengarah menjadi kota yang nyaman atau kota yang gagal? Saatnya melakukan perubahan atau tetap dalam arah yang sama yang tanpa resiko, sampai akhirnya, di suatu titik  nanti baru menyadari bahwa momentum perubahan itu apakah berhasil atau gagal. Sementara momentum telah lewat. Tidak bisa terulang lagi. Begitulah posisi strategis Kota Mataram di tahun 2020 ini. Now or never.

Merayakan ulang tahun identik dengan pesta. Identik dengan kegembiraan dan bahkan adakalanya cenderung hura hura.  Namun berpesta di masa pandemi menjadi hal yang tidak elok. Mengusik rasa keadilan dan kemanusiaan. Oleh sebab itu, momentum ulang tahun di masa pandemi ini mengajarkan kita bahwa segala sesuatu dikembalikan kepada hakikinya. Filosofi dan makna sebenarnya: Reflektif dan Introspektif.

Negeriku, Pandemi dan Resesi Ekonomi

Tahun ini penulis tiba tiba “nekat” memutuskan melanjutkan studi. Mengambil program doktoral, ilmu ekonomi. Awalnya di kompor-kompori sang istri yang menunjukan kartu mahasiswa S3-nya di Ilmu Kedokteran Universitas Hasanuddin. Selama ini memahami ilmu ekonomi dari membaca analisis ekonomi Kwik Kian Gie sejak SMP di Harian Kompas, atau sekedar sok tahu dari pengalaman serabutan  di birokrasi dari mengurus perizinan, membuat dokumen perencanaan pembangunan dan mengurus ekonomi rill di pasar tradisional.

Nah, ketika disusupi ilmu makro ekonomi dan Teori Mundel Fleming Model dan Kurva ES-LM seolah menemukan kunci jawaban dan benang merah dari fenomena pelaku ekonomi di pasar yang selama ini penulis hanya pahami di permukaan.

Sebagai mahasiswa baru yang lugu dengan keingintahuan yang tinggi, bertanyalah kepada Sang Professor: “Bagaimana menggambarkan teori dan model tersebut bekerja di masa pandemi seperti ini?”

Dengan sedikit pertanyaan tersebut, tak disangka  keluarlah kerisauan dan kegalauan sang professor tentang negerinya. Panjang lebar. Ada yang bisa penulis pahami dan banyak juga yang tidak. Tapi kesimpulan yang penulis tangkap: Indonesia saat ini sedang krisis, diambang resesi, karena sangat ketergantungan dan tidak bisa lepas dari ekonomi global. Tidak bisa berdiri sendiri karena menganut rezim kurs yang mengambang.

Di saat mitra-mitra ekonomi di luar negeri yang juga masih terdampak pandemi, maka selama itu pula ekonomi nasional terdampak. Ekonomi  tumbuh negatif. Persoalannya sekarang apakah semakin dalam atau tidak, itu saja. Bertahan saja sudah sangat bagus. Tapi sekuat-kuatnya pertahanan ekonomi nasional dalam topangan utang luar negeri yang sangat besar sifatnya tetap akan rapuh dan rawan. Sementara ekonomi lokal dan domestik: pelaku ekonomi  mikro, kecil dan menengah tengah berjibaku dengan kemampuan seadanya. Meski dianggap sebagai penyelamat ekonomi tetapi tetap mengharap  topangan stimulus  oleh subsidi pemerintah. Artinya tidak bisa serta merta menggantikan ekonomi dan investasi besar yang selama ini menggerakan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

Di sisi yang lain, politik lokal dan daerah tengah berpandemi juga. “Pandemi politik” menjelang pilkada. Pandemi, tentu bukan dalam arti penyakit dan negatif, namun sebagai kiasan dalam arti menjadi obrolan di hampir semua lapisan masyarakat. Di akhir tahun ini, tepatnya Rabu, 9 Desember 2020,  setidaknya  270 pemerintah kabupaten/kota yang merayakan pesta politik: pemilihan serentak kepala daerah, walikota dan wakil walikota serta bupati/wakil bupati serta gubernur dan wakil gubernur.

Pandemi Covid yang bersamaan dengan pandemi politik tetap harus berjalan, sekaligus “hiburan” yang siapa tahu dapat meningkatkan imunitas pelaku politik yang di anasir memiliki biaya politik yang sangat besar dimana uang yang beredar untuk ongkos dan belanja politik ini  beredar disaat sector ekonomi riil belum bererak karena pandemi Covid-19, maka “pandemi politik“ lah  yang mengambil peran  menggerakan ekonomi  lokal dan nasional. Berapa besarnya? Kemendagri menyebutkan, seorang calon bupati dan walikota membutuhkan dana Rp.20 milyar hingga 100 Milyar untuk memenangkan pilkada (Kompas.com 12/01/2018) .

Maka jika diambil rata rata setiap calon mengeluarkan Rp. 40 Milyar untuk menang dan 10 Milyar hanya sabagai calon dan kalah maka ada 50 M unutk 1 pilkada. Jika di pilkda serentak 2020 ada 270 daerah kabupaten/kota maka ada sekitar 13, 5 Triliun uang beredar. Belum lagi uang penyelenggaraan dari uang APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang sedikitnya 50 Milyar.  Biaya politik yang luar biasa. Pesta yang gila-gilaan.

Kotaku, Pandemi dan Politik

Kota Mataram, akhir bulan ini, 31 Agustus merayakan hari jadinya yang ke 27. Sebagai bagian dari NKRI, salah satu daerah otonom dari 98 pemerintah kota atau 514 pemerintah kabupaten / kota se Indonesia, pemerintah Kota Mataram dalam semangat membangun kemandirian ekonomi daerah dan berperang melawan pengentasan kemiskinan secara bersama sama dengan pemerintah pusat dan provinsi. Sebelum datang pandemi Covid, menunjukan progres yang yang sangat membanggakan. Ekonomi tumbuh rata rata 8 persen selama 5 tahun terakhir. Angka persentase kemiskinan menurun menjadi 9,7 persen. Inflasi terkendali. Indeks Pembangunan Manusia mencapai  meningkat di angka 77,4%.

Lalu pandemi Covid-19 datang. Roda ekonomi terguncang. Pergerakan dan distribusi barang dan jasa terganggu. Sektor rill lumpuh. Asumsi asumsi dasar makro ekonomi berubah. Semua daerah saat ini tak terkecuali lagi berperang melawan pandemi. Kapasitas fiskal yang sudah sangat terbatas harus di-refocusing untuk program/kegiatan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Banyak proyek-proyek strategis dan monumental sebagai legacy Sang Walikota terpaksa tertunda bahkan dibatalkan. Sang Walikota yang telah memimpin Kota Mataram 10 Tahun hendak membuat legacy untuk mengakhiri tahta dengan damai dan senyuman.  Husnul khotimah. Waktu sisa 5-6 bulan, sepertinya exit strategy yang disusun manis tidak berjalan mulus sesuai rencana.

Pandemi politik dalam rangka suksesi kepemimpinan Walikota Mataram sangat mewarnai wajah kota hari ini. Dimana mana café yang menjamur tumbuh di kota ini selalu diselingi obrolan pandemi politik lokal disamping obrolan seramnya pandemi Covid19. Wajah bakal calon tampang di Papan reklame besar dan kecil, spanduk dan baliho bertebaran di jalan-jalan kota dan memenuhi sudut sudut kota guna merebut ruang publik. Kepentingan politik dikompromikan dengan upaya melawan pandemi demi mencari simpati. Segala acara dipakai. Dan itu semua sah-sah saja.

Hingga hari ini setidaknya ada 4 pasangan calon pemimpin yang menebar pesona hingga ke rumah-rumah. Pilkada 2020 sepertinya akan seru. Siapapun pemenangnya, pasti tidak mudah.  “The real election,” kata salah satu kandidat. Semua menawarkan isu perubahan. Pertanyaannya perubahan seperti apa yang ditawarkan? Proposal perubahan secara normatif  pastilah demi kemajuan dan kesejahteraan warga kota.

Tetapi yang menarik adalah bagaimana strategi dan rencana aksinya? Sudah menjadi kesadaran kolektif bahwa janji kampenye seolah adalah janji janji surga. Janji yang penting terpilih dan menang. Soal dipenuhi itu soal nanti. Anak milenial bilang, politisi adalah  pemberi harapan palsu. Seiring dengan era media sosial, tren penggiringan opini melalui upaya pencitraan yang berlebihan malah cenderung kontra produktif.

Sepertinya masyarakat pemilih sudah jenuh, bahkan muak dengan pencitraan yang cenderung lebay. Pemilih, khususnya pemilih muda milenial sudah faham mana yang pencitraan semata, mana yang natural.  Yang dicari sekarang adalah pemimpin yang berintegritas. Antara ucapan dan tindakan adalah sejalan. Jangan sampai sudah bermasker, ternyata “bertopeng” pula. Pemilih rindu pemimpin yang orisinal, jujur, dan apa adanya. Jika dia visioner, maka dia memberi motivasi, melahirkan impian dan gagasan serta inovasi  baru. Jika dia pekerja, maka ia adalah pekerja keras, jika dia memberi contoh dan keteladanan. Beberapa proses politik memberi pelajaran bahwa cukup sudah pemimpin pilihan medsos. Jadilah pemimpin pilihan rakyat sesungguhnya.

Penutup

Musim pandemi memberi pelajaran berharga bahwa tidak relevan lagi ada pesta tiup lilin dan kue tart di setiap ulang tahun. Tidak perlu lagi seremonial yang mewah dan pesta kembang api untuk perayaan dirgahayu negeri dan kota ku. Yang paling penting adalah bagaimana setiap anggota keluargaku, setiap warga negara dan warga kota ini bangga menjadi bagian dari anggota keluarga, warga negara dan warga kotanya karena memang ia bangga terhadap pemimpin keluarga, presiden dan walikotanya.

Sang pemimpin memberikan pelayanan terbaik: rasa keadilan, memberi keteladanan, kejujuran, menghadirkan perlindungan dan jaminan rasa aman,  menciptakan kenyamanan, keramahan dan kebahagiaan. Untuk anggota keluarga, warga negara dan warga kotanya. Barakallahu fii umrik anak-anak dan istriku, dirgahayu negeri dan kotaku.

*) Penulis adalah Warga Kota Mataram.

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.

 Apa Komentar Anda?

Belum ada komentar.. Jadilah yang pertama!

Pesta Ulang Tahun di Musim “Pandemi Politik”

oleh muhammad ramadhani dibaca dalam: 6 menit
0