Presiden Jokowi Harus Melakukan Moratorium Piala Adipura

Oleh: Asrul Hoesein

Program penghargaan Adipura ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sejak 1986 kemudian terhenti pada tahun 1998. Pada tahun 2002 Program Adipura ini kembali dicanangkan oleh pemerintah dan berlangsung sampai sekarang. Meraih Piala Adipura sudah menjadi semacam harapan sekaligus kewajiban setiap bupati dan walikota, dan kesan keberhasilan seorang kepala pemerintahan dinilai apakah kepala daerah tersebut dapat memboyong piala yang bergengsi tersebut dari Istana Presiden menuju kantor pemerintahan setempat. Paradigma ini pula harus dirubah oleh pemerintah kabupaten dan kota, jangan hanya fokus untuk mendapatkan hadiahnya, tapi melupakan substansi dan makna diadakannya penilaian ini, yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya, artinya ada pengelolaan secara berkelanjutan (sustainable). Sementara fakta yang terjadi, setelah usai penilaian, berahir pula aktifitas.

Moratorium Penilaian Adipura Yes or No ?! Hampir lima tahun sudah penulis mengkritisi pelaksanaan penilaian Adipura ini, baik melalui media cetak terlebih di media online hampir setiap saat. Karena sangat tidak berdampak positif, hanya kegiatan bersih-bersih ini aktif bila menjelang penilaian, setelah selesai kegiatan berhenti pula. Aktifitas yang hanya menggerus dana rakyat (APBD dan APBN). Begitupun dalam penilaian tidaklah sportif sesuai fakta dilapangan. Dalam sorotan opini ini, kembali mengingatkan lagi bahwa perlunya “stop atau moratorium event adipura”, namun kali ini dibatasi hanya pada sub pengelolaan sampah yang menjadi perhatian utama atau bobot tertinggi dalam penilaian Adipura, yaitu pada sampah atau system pengelolaan sampah TPA, sampah pasar, terminal atau stasiun, pelabuhan dll.

Penilaian Adipura harus dimoratorium oleh Presiden Joko Widodo, terlalu banyak penyimpangan khususnya regulasi sampah tidak dijalankan sebagaimana mestinya, juga tidak nampak sinergitas lintas kementerian dalam menjalankan regulasi persampahan yaitu UU.No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah No.81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Termasuk beberapa keputusan menteri yang menjadi pedoman dasar pelaksanaan pengelolaan sampah tidak ada keserasian gerak kementerian termasuk tidak ada sinergitas SKPD di daerah, diantaranya yang dikeluarkan oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduse, Reuse dan Recycle melalu Bank Sampah, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 03/PRT/M/2013 Tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah (Permendagri ini sangat perlu dihidupkan kembali setelah Mendagri mencabut permen ini parmen ini pada bulan juni yang lalu). Pastinya perlu “perubahan” khususnya moral dan pemahaman tentang pengelolaan sampah oleh tim penilai, baik dari pusat sampai ke daerah kabupaten dan kota di Indonesia.

Sebenarnya item-item penilaian pada event Adipura cukup bagus dan pro rakyat untuk ditindaklanjuti masyarakat kabupaten dan kota, namun masih makro sifatnya dan sangat mungkin “dipermainkan” pada tingkat aplikasi, khususnya pada item pelayanan masyarakat dan kelembagaan pengelola. Jadi sebaiknya sedikit dimikrokan (sifatnya) item penilaiannya dan paling penting ada monitoring dan evaluasi (monev) pasca penilaian. Beri sanksi bila aplikasi tidak sustainable (pengelolaan berkelanjutan), tarik piagam atau pialanya dan bongkar tugunya dan lebih penting adakan audit investigasi (penilai dan yang dinilai) supaya ada efek jera. Jangan nilai bila belum melakukan atau mengaplikasi UU.No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, dengan merevisi perda persampahannya dan kombain UU.No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Supaya ada monitoring dan evaluasi baik bagi pemerintah terlebih masyarakat, persyaratkan setiap kabupaten dan kota peserta adipura membuat situs/website/weblog “khusus pengelolaan sampah”nya, atau sub-situs dari website kabupaten dan kota itu sendiri, minimal info (teknologi dan pengadaan sarana dan prasarana) ikut di situs dinas terkait, supaya terjadi interaksi aktif (pemerintah dan masyarakat). Tambahkan item ini pada item “partisipasi masyarakat” dalam konteks peran media. Ini sangat berfungsi sekali sebagai media kontrol.

Banyak kabupaten dan kota di Indonesia telah melakukan pengelolaan sampah “katanya terpadu”. Menurut riset yang penulis lakukan di beberapa kabupaten dan kota di Jawa, Sulawesi, Sumatera, dll. Itu sebenarnya terjadi kekeliruan pengertian “terpadu”. Entah penulis atau pemerintah (person) yang keliru. Fakta di beberapa TPA itu memang ada beberapa sarana dan prasarana penunjang pengelolaan sampah semisal; mesin pemilah sampah, mesin pencacah sampah, beberapa kolom pengomposan manual, sampai dengan rumah singgah pemulung? tapi semua ini hampir tidak berfungi (tidak difungsikan), hanya “etalase” saja untuk sekedar membuktikan “adanya pengadaan barang/jasa”. Begitu juga kondisi rumah kompos yang ada di beberapa wilayah TPS, memang sebagian ada (khususnya kabupaten dan kota yang mengikuti penilaian Adipura), namun semuanya itu hampir tidak punya aktifitas. Sebatas seremonial saja…Inikah yang disebut terpadu atau berbasis komunal (masyarakat)….????? Contoh paling aktual, Kota Makassar (2015 dan 2016) mendapat Adipura, sementara TPA Kota Makassar yang berada di Tamangapa Kota Makassar tersebut hanya berjarak sekitar 5-6 meter saja dari pemukiman warga disana. Apakah ini layak dapat Adipura ? Sementara TPA tidak memenuhi standar SNI TPA yang ada, termasuk yang tertuang pada Permen PU. No. 03/PRT/M/2013 itu. Diduga banyak permainan curang terjadi dalam event Adipura ini. Siapa yang dirugikan? Ya tentu masyarakat secara umum.

Pemerintah (KLHK, PUPera, Kemenkes dan Kemendagri serta khususnya DPR) juga khusus KPK agar menyikapi kondisi yang terjadi penyimpangan dalam penilaian Adipura di kabupaten dan kota ini. Jangan dibiarkan kebohongan publik terjadi, STOP semua itu dan segera moratorium penilaian Piala Adipura ini (teliti dan analisa kembali), karena sesungguhnya substansi event Adipura sangat bagus namun aplikasinya diduga banyak keluar dari eksistensinya. Utama dalam memilih teknologi pengolahan sampah adalah dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dini (precautionary principle), dimana perlunya menerapkan kehati-hatian dalam menghadapi ketidakpastian teknologi; prinsip pencegahan (preventive principle), yang menekankan bahwa mencegah suatu bahaya adalah lebih baik daripada mengatasinya; prinsip demokrasi (democratic principle), dimana semua pihak yang dipengaruhi keputusan-keputusan yang diambil, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan, serta; prinsip holistik (holistic principle), dimana perlunya suatu pendekatan siklus-hidup yang terpadu untuk pengambilan keputusan masalah lingkungan.

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.

 Apa Komentar Anda?

Belum ada komentar.. Jadilah yang pertama!

Presiden Jokowi Harus Melakukan Moratorium Piala Adipura

oleh Asrul Hoesein dibaca dalam: 4 menit
0