Keluhan Surat Pembaca Tidak Nyaman dengan Penagihan Pinjol LazBon 6 Maret 20256 Maret 2025 Entin Wartini 7 Komentar Debt Collector, email SPAM, Fintech, Keterlambatan pembayaran, Kredit online, Lazada Indonesia, LazBon, Pembayaran tagihan, Penagihan, Pinjaman Online, SMS Spam, SPAM, SPAM chat, Spam WhatsApp, Tanggal jatuh tempo tagihan Ikuti kami di Google Berita Halo, salam kenal. Saya menulis di sini, dengan harapan pihak yang bersangkutan dapat membaca dan memperhatikan pesan saya. Saya memiliki pinjaman online di Lazbon yang jatuh tempo pada tanggal 2 Maret 2025. Baru satu hari terlambat membayar, saya sudah menerima banyak sekali telepon, chat WhatsApp, dan SMS yang terus-menerus berdatangan. Saya sudah menjelaskan kepada pihak debt collector (DC) bahwa saya belum bisa membayar hari ini karena dana yang tersedia belum cukup. Saya meminta keringanan waktu selama 1-2 minggu saja dan berjanji akan segera melunasi begitu uangnya ada. Namun, mereka tetap mengancam dan menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Hal ini membuat saya sangat tidak nyaman dan menyesal. Andai saja saat itu tidak ada kebutuhan mendesak, mungkin saya tidak akan mengajukan pinjaman online ini. Sebenarnya, selama ini pembayaran saya selalu lancar dan tidak pernah terlambat. Ini adalah pertama kalinya saya terlambat bayar dan pertama kalinya juga saya mengalami perlakuan seperti ini. Saya hanya ingin meminta kepada pihak Lazbon, yang bekerja sama dengan Akulaku/Atome/Kredivo/KreditPintar, untuk melakukan penagihan dengan cara yang lebih manusiawi. Tidak perlu menggunakan ancaman karena saya sadar akan kewajiban dan tanggung jawab saya. Saya hanya meminta sedikit keringanan waktu. Saya membuat surat ini karena merasa sangat tidak nyaman dengan cara penagihan yang dilakukan, apalagi ini baru pertama kalinya saya terlambat membayar. Saya berharap pihak terkait dapat menanggapi keluh kesah saya. Terima kasih. Entin Bandung Barat, Jawa Barat Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.
LSH6 Maret 2025 - (14:21 WIB)Permalink Ya ude, kalau ga ada uang ga usah dibyr, dibikin gampang aja. Nga usah pusink. Lagian ngomong sama dc sopan amat, pantes aja dc nya kasar, ama dc dc doboh lucknut itu ga perlu sopan2. Login untuk Membalas
Entin WartiniPenulis artikel17 Maret 2025 - (17:11 WIB)Permalink Halo, saya Entin selaku penulis pengaduan terhadap penagihan Lazbon/Kredit Pintar. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Pihak MediaKonsumen yang sudah menerbitkan keluhan saya. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih pada pihak Lazbon/Kredit Pintar yang sudah sangat tanggap menangani masalah ini. Agen Penagihan tersebut sudah ditindaklanjuti dengan tegas oleh pihak Kredit Pintar. Aduan saya ini sudah terselesaikan dengan baik, dan semoga ke depannya tidak ada kejadian seperti ini juga tidak ada yang mengalami hal seperti yang saya alami. Terima kasih. Login untuk Membalas
Lusiani Lusiani6 Maret 2025 - (15:47 WIB)Permalink Sudah dilaporkan ke OJK kak? Kalo cara nagihnya spt itu, itu sudah bs dilaporkan ke OJK karena cara menagihnya kasar dan penuh intimidasi. Next kalo ngmg ama DC sopan gpp tp kalo dia kasar, kita jg unjuk gigi kak. Semakin kita sopan, mrk bukannya segan malah menjadi-jadi. Dulu saya ke DC jg begitu krn saking takutnya, sekarang sy ga takut sama DC. Apalagi kalo mrk ngmgnya sampe ky diatas begitu, ga pake sopan” lg dah Login untuk Membalas
Aya Zhou6 Maret 2025 - (15:57 WIB)Permalink Kali ini sy setuju dgn komentar lain yg menyarankan gak usah bayar. Karna DC ini udh keterlaluan buanget. Sbnrnya kalau dia udh kasar kakak udh gak perlu sopan sih. Langsung gas balik aja. Tantangin suruh datang, gak mungkin mereka datang beneran, kecuali utangnya ratusan juta. Padahal kalo telat bayar beberapa hari pasti ada dendanya dan akan masuk ke tagihan, kecuali udh berbulan2 telat ya berarti emang udh gak niat bayar. Login untuk Membalas
tobias_boon6 Maret 2025 - (16:05 WIB)Permalink Kalau terdaftar OJK wajib dibayar, kalau tidak akan pengaruh ke Kredit Score (nggk akan bisa KPR/ apply CC). Login untuk Membalas
Wahyu7 Maret 2025 - (13:24 WIB)Permalink GILA PARAH, ampe disuruh jual keluarga, kacau, mending GAK USAH DIBAYAR!!! tantang DUEL bos, suruh dateng kerumah, harga diri keluarga udah di injak injak, lu tetep mau bayar itu tagihan?? kalo jadi gw sih, gk bakal gw bayar, gw tantang kalo perlu minta shareloc dc nya, baku hantam pun jadi Login untuk Membalas
udin17 Maret 2025 - (10:17 WIB)Permalink Jadi Lembaga Super-Power yang Membingungkan, OJK Harus Dibubarkan? Oleh: Revki A. Maraktifa *) Dalam tatanan hukum dan ekonomi Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga yang lahir dari UU No. 21 Tahun 2011 sebagai pengawas sektor jasa keuangan, menggantikan peran pengawasan Bank Indonesia. Namun, hampir satu dekade sejak berdirinya, berbagai polemik dan kritikan tajam terus mengemuka, memunculkan wacana bahwa OJK tidak hanya gagal dalam menjalankan tugasnya, tetapi justru menjadi penyebab dari ketidakpastian hukum dan ekonomi yang merugikan masyarakat luas. Lahir dengan Landasan Hukum yang Dipertanyakan OJK dibentuk dengan dalih memperkuat pengawasan sektor keuangan yang dianggap lemah dan kurang terintegrasi. Namun, dari sisi konstitusionalitas, terdapat pandangan yang menilai pembentukan OJK melanggar prinsip-prinsip dasar dalam UU Bank Indonesia (Pasal 34 Ayat 2) yang semestinya memegang peran utama dalam stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, dasar hukum pembentukan OJK dianggap cacat demi hukum. Apakah ada kegentingan nasional yang memaksa lahirnya lembaga ini? Jawabannya masih kabur. Saya ingin mengingatkan kepada Bank Indonesia dimana revisi UU No. 23 Tahun 1999 sebenarnya menegaskan bahwa penyerahan fungsi pengawasan perbankan kepada OJK adalah bentuk perampasan kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Hal ini menimbulkan dualisme hukum perbankan dan melemahkan pilar-pilar fundamental Bank Indonesia, yaitu: Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta Mengatur dan mengawasi bank. Dengan adanya OJK, kewenangan fundamental Bank Indonesia telah dikebiri, mengakibatkan kebingungan sistemik dan lemahnya koordinasi dalam pengawasan sektor keuangan. Kegagalan Pengawasan dan Kebobrokan Sistem Keuangan Alih-alih memperbaiki sistem keuangan, OJK justru menjadi saksi bisu atas maraknya permasalahan seperti: Pembiaran terhadap Fraud dan Pencucian Uang: Berbagai kasus perbankan yang melibatkan kejahatan pencucian uang (TPPU) tidak ditangani dengan tuntas. OJK tampak seperti penonton pasif, bukan pengawas aktif. Tekanan Psikologis dan Debt Collector: Fenomena penagihan utang yang kasar dan merendahkan martabat melalui debt collector semakin menggila, khususnya pada kasus FinTech dan Peer-to-Peer Lending. OJK seolah cuci tangan, tidak memihak rakyat kecil yang kerap menjadi korban. Beban Pungutan Tidak Transparan: Pelaku usaha jasa keuangan dibebani berbagai pungutan tanpa kejelasan manfaatnya, membuka peluang tindak pidana di baliknya. Pengaburan Fungsi Bank Sentral: Dalam praktiknya, OJK cenderung bertindak sebagai pemilik kewenangan Bank Indonesia, yang justru menciptakan konflik peran dan kebingungan di tataran hukum perbankan nasional. Jika fungsi pengawasan yang menjadi raison d’être OJK justru tidak berjalan, lalu untuk apa lembaga ini dipertahankan? Perlindungan Konsumen yang Semu Di saat masyarakat mengalami kerugian akibat penyalahgunaan layanan jasa keuangan, OJK hanya memberikan ruang pengaduan yang sangat terbatas. Kerugian nasabah perbankan hanya bisa dilayani jika di bawah Rp 500 juta, sementara kasus perasuransian dibatasi hingga Rp 750 juta. Ini adalah penghinaan terhadap keadilan bagi masyarakat yang miskin dan rentan. Pengaduan masyarakat sering kali tidak mendapat respons yang layak, menandakan bahwa OJK gagal melindungi konsumen sebagaimana diamanatkan undang-undang. Kelembagaan yang Membebani, Bukan Menyehatkan OJK sering digambarkan sebagai superbody dengan kewenangan besar, namun minim akuntabilitas. Lembaga ini tidak hanya gagal membawa stabilitas keuangan, tetapi juga turut menambah beban bagi pelaku industri jasa keuangan melalui regulasi yang tumpang tindih dan bahasa hukum yang alay alias tidak jelas. Selain itu, tidak ada track record signifikan dari OJK dalam hal penyehatan perbankan, penguatan daya beli masyarakat, maupun stabilitas sektor keuangan secara keseluruhan. Yang terlihat justru tumpukan permasalahan baru akibat lemahnya eksekusi pengawasan. Dualisme Fungsi Bank Sentral Dalam Surat Terbuka yang pernah saya layangkan untuk Gubernur Bank Indonesia, ditegaskan bahwa revisi UU Bank Indonesia diperlukan untuk mengembalikan tiga pilar utama bank sentral. Dualisme ini berawal dari: Pasal 23 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 yang telah dilanggar dengan pembentukan OJK. OJK dirancang secara politis, bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan sebagai alat kepentingan pihak tertentu. Revisi UU Bank Indonesia bertujuan untuk mengembalikan tugas, fungsi, dan kewenangan pengawasan perbankan ke pangkuan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang sesungguhnya. Solusi: Membatalkan UU No. 21 Tahun 2011 Melihat berbagai persoalan di atas, sudah saatnya kita kembali ke zero point dalam tata kelola sektor keuangan nasional. Pembentukan OJK yang didasarkan pada UU No. 21 Tahun 2011 tidak hanya cacat hukum, tetapi juga gagal memenuhi kebutuhan negara dan masyarakat. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif harus mempertimbangkan penerbitan Perppu untuk membatalkan UU ini dan mengembalikan fungsi pengawasan perbankan ke Bank Indonesia. Pembubaran OJK bukanlah langkah mundur, melainkan upaya untuk merestorasi kewibawaan hukum, melindungi rakyat, dan memastikan stabilitas sistem keuangan yang lebih efektif. Sekali lagi saya ingin mengingatkan, sebuah negara hukum harus berani mengoreksi kesalahan dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya. Jika keberadaan OJK justru menyengsarakan masyarakat, maka pembubaran lembaga ini adalah langkah logis dan konstitusional. Sudah saatnya hukum yang berdaulat berdiri tegak demi kesejahteraan rakyat, bukan menjadi alat pemuas kepentingan segelintir pihak. Demi Indonesia yang lebih adil dan berkeadilan, mari kita berani berpikir ulang tentang OJK: Apakah keberadaannya masih relevan, atau justru menjadi penghambat kemajuan bangsa? Sekali lagi menurut penulis, OJK jelas harus dibubarkan karena pembentukannya melanggar batas waktu 31 Desember 2010, pasal 34 (2) UU BI. OJK mengambil 2/3 kewenangan BI dan menyebabkan terjadinya dualisme “Bank Sentral”. OJK tidak melindungi konsumen, justru menjadi beban perbankan yang mengakibatkan perbankan menjadi jahat, serta merugikan keuangan negara & konsumen. *) Penulis adalah Musisi, Pelukis, dan Advokat Spesialis Hukum Perbankan Login untuk Membalas