Kontroversi Listrik Pra-Bayar Dengan Sistem Token (Voucher) Pulsa

Media Konsumen, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli, pada awal pekan ini mengkritik tajam soal tata niaga penjualan listrik kepada masyarakat yang diterapkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) saat ini.

Saat menggelar rapat koordinasi tentang proyek kelistrikan di kantornya, Senin 7 September 2015, Rizal secara langsung menegur PLN yang dinilai membebankan masyarakat, terutama dalam pembayaran listrik pra-bayar menggunakan pulsa berbentuk voucher dari sebelumnya menggunakan meteran.

Rizal menegaskan, teguran yang disampaikannya tersebut merupakan salah satu cara dia untuk meluruskan fungsi pemerintah, yang memiliki kewajiban untuk mempermudah masyarakatnya untuk mendapatkan pelayanan terbaik. Dalam hal ini, selaku koordinator kementerian yang membawahi masalah kelistrikan, hal tersebut merupakan kewenangannya.

“Kami akan lakukan kajian terhadap PLN,” tegasnya kala itu.

Kenapa penggunaan sistem voucher listrik dinilai sangat membebani rakyat? Menurut Rizal, karena adanya perubahan dari meteran ke voucher tersebut, memberikan kesempatan oknum tidak bertanggung jawab untuk bermain di dalamnya.

Hal tersebut dikarenakan adanya biaya-biaya administrasi dalam setiap voucher yang dibeli masyarakat untuk mengisi daya listrik di rumah. Biaya administrasi tersebut dianggap menggerus hak daya listrik yang seharusnya diperoleh masyarakat ketika membeli voucher dalam besaran tertentu.

“Kalau pulsanya Rp 100 ribu, maksimum biayanya Rp 5.000. Jadi, saat beli listrik Rp 100 ribu, dapatnya Rp 95 ribu. Provider pulsa listrik itu setengahnya mafia. Pak Sofyan ini luar biasa, kami mohon keputusan ini segera dilakukan,” kata Rizal.

Mendapat sentilan tersebut, Sofyan Basyir yang saat ini sebagai orang nomor satu di PLN langsung menanggapinya. Dia berjanji, akan memperbaiki sistem pembayaran pulsa voucher listrik ini.

Menurut Sofyan, pihaknya berjanji akan memaksimalkan daya listrik untuk masyarakat dengan memotong biaya administrasi seminimal mungkin.

Penjelasan PLN

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) angkat bicara terkait tudingan Menteri Koordinator bidang Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, yang mengendus ada mafia dalam bisnis pulsa token listrik. Head of Commercial Division PT PLN, Benny Marbun mengatakan, kalau perhitungan mantan Menko Perekonomian di era Gus Dur itu salah tangkap karena berbeda satuan.

“Ada informasi yang perlu diklarifikasi menyamakan beli pulsa telepon Rp 100 ribu dapat Rp 95 ribu, sedangkan kalau beli pulsa listrik beli Rp 100 ribu dapat Rp 75 ribu. Padahal, kalau beli pulsa listrik, beli Rp 100 ribu, dapat 75 kWh. Jadi, berbeda satuannya,” tutur Benny di Jakarta, Selasa (8/9).

Agar lebih jelas, Benny lantas memberikan contoh pembelian pulsa listrik secara sederhana. Misalnya, untuk Rumah Tangga dengan daya 1300 VA dengan mengisi pulsa token Rp 100 ribu.

Berikut perhitungan versi PLN yang didapat pelanggan bila membeli pulsa token Rp 100 ribu dengan daya 1300 VA:

Pertama, pelanggan akan dikenakan potongan administrasi bank Rp 1.600. (Tergantung bank-nya, ada yang mengenakan Rp 2 ribu).

Kedua, biaya Meterai= Rp.0, karena transaksinya hanya Rp 100 ribu.

Ketiga, Pajak Penerangan Jalan (PPJ) Rp 2.306. Dimana PPJ di DKI 2,4 persen dari tagihan listrik. Ini yang membedakan beli pulsa telpon dan beli pulsa listrik. Beli pulsa listrik ada PPJ-nya.

Dengan begitu sisa uang untuk membeli listrik Rp 100.000 – (1.600 + 2.306)= Rp 96.094. Sehingga listrik yang diperoleh = Rp 96.094/1352= 71,08 kWh. Di mana tarif listrik adalah Rp 1.352/kWh.

“Jadi ketika membeli listrik Rp 100 ribu, dapatnya 71,08 kWh. Besaran kWh inilah yang dimasukkan ke meter, bukan Rp 71 ribu,” tandas Benny.

Konsumen Berhak Memilih

Dengan adanya polemik ini, PLN mendapatkan masukan untuk kembali menggunakan meteran listrik sebagai alat pencatat penggunaan listrik. Direktur Utama PT PLN pun mengaku akan mengkaji lebih lanjut masukan tersebut.

Namun dia memaparkan ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan perseroan untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satunya punya risiko besarnya biaya operasional untuk merekrut tenaga kerja baru yang mencatat penggunaan listrik di setiap rumah tangga.

Belum lagi pada saat proses pencatatannya dilakukan ada risiko penyelewengan oknum yang tidak menjalankan tugasnya dengan benar.

“Pada suatu saat, (pencatat) tidak datang ke rumah orang. Tiba-tiba pelanggan disuruh bayar denda luar biasa oleh PLN. Padahal, itu kesalahan oknum. Nah, hal-hal inilah yang biasanya terjadi,” kata dia.

Meskipun demikian, Direktur Utama PT PLN tersebut mengatakan bahwa tidak berarti sistem token dan prabayar merupakan sistem yang sempurna. “Token dan prabayar juga ada kelemahan. Mari kita perbaiki kelemahannya,” ujarnya.

Usulan untuk memberikan pilihan kepada konsumen ini juga didukung oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli. Dia menegaskan, masyarakat seharusnya berhak memilih sistem pembayaran listrik yang akan digunakan.

Sebab menurutnya, tidak semua lapisan masyarakat bisa menggunakan mekanisme baru tersebut. Terlebih lagi penerapan sistem ini baru dilakukan dan memerlukan masa penyesuaian yang tidak sebentar.

“Rakyat harus punya dua pilihan, jangan memaksakan dong. Pengen sistem meteran ya kasih meteran,” tegas Rizal.

Dia mencontohkan, yang bisa terjadi di masyarakat miskin misalnya, dengan sistem voucher atau token ini listrik tiba-tiba bisa habis di waktu-waktu yang tidak diduga, seperti malam hari. Hal tersebut sangat menyusahkan lapisan masyarakat kelas sosial itu

“Banyak anak-anak, listrik mati pukul 7-8 malam enggak ada token, susah nyarinya,” ujar Rizal.

Senada dengan Rizal, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi mengungkapkan hal senada. Sebagai Koordinator kementerian yang mengurusi hal ini, Rizal  diminta untuk memperbaiki mekanisme sistem pembayaran listrik yang saat ini diterapkan.

Tulus pun mengatakan seharusnya PT PLN (Persero) tak boleh memaksa konsumen untuk menggunakan listrik pra-bayar. Perusahaan pelat merah ini pun diminta agar mempersilakan konsumen menggunakan meteran listrik kalau tak ingin menggunakan token pra bayar.

“Manajemen PLN harus memperbaiki distribusi pulsa token yang di banyak tempat masih sulit diperoleh konsumen, terutama di pedesaan,” kata dia.

BUMN setrum ini pun juga diminta lebih proaktif mengedukasi konsumen tentang listrik pra-bayar. Hal ini bertujuan agar masyarakat lebih paham tentang jenis langganan listrik ini.

Bagaimana pendapat anda?

Satu komentar untuk “Kontroversi Listrik Pra-Bayar Dengan Sistem Token (Voucher) Pulsa

  • 11 September 2015 - (10:19 WIB)
    Permalink

    Setuju ada pilihan, karena memilih itu hak. Jangan memaksakan kehendak seperti titah yang tak boleh dibantah.

 Apa Komentar Anda?

Ada 1 komentar sampai saat ini..

Kontroversi Listrik Pra-Bayar Dengan Sistem Token (Voucher) Pulsa

oleh Redaksi dibaca dalam: 3 menit
1