Koin atau Permen?

Pernahkah Anda belanja dan mendapat uang kembalian berupa permen? Atau belanja namun tidak mendapat kembalian meski nominalnya kecil tanpa pernyataan apapun?.Ternyata korupsi bukan hanya dilakukan dalam skala besar saja. Korupsi kecil-kecilan banyak dilakukan. Salah satunya adalah tidak diberikannya sejumlah tertentu uang kembalian saat kita berbelanja di supermarket atau saat kita mengisi bahan bakar di SPBU. Bahkan mungkin saat kita membayar tagihan dari rumah sakit, tagihan rekening listrik dan juga telepon! Koin uang receh seratus rupiah seolah tidak berlaku lagi, sehingga uang kembalian dengan selisih seratus selalu dihapuskan. Misalkan kita membeli bahan bakar ‘full tank’, senilai Rp. 10.850, maka kita ditagih membayar 11.000. bisa juga nominal yang lebih besar juga, tanpa pengembalian!

Korupsi sudah menghinggapi semua lapisan struktur masyarakat, seperti kanker yang menggerogoti sistem kebudayaan kita. Memungut bayaran lebih dari yang sepatutnya dan menolak memberikan uang kembalian. Sepatutnya hal itu tidak akan terjadi jika semua pihak menyadari hak dan kewajibannya masing-masing.

Sebagai konsumen kita sebenarnya berhak menanyakan uang kembalian yang seharusnya menjadi hak kita berapapun nilainya, terkecuali pihak penjual menyatakan atau menanyakan kepada kita bahwa uang kembalian yang nilainya di bawah nominal tertentu akan disumbangkan ke pihak lain, dan kita menyetujuinya. Inilah yang disebut dengan hukum jual beli, bahwa sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak.

Kesadaran akan hak inilah yang seringkali diabaikan, seolah-olah uang kecil tersebut tidak ada nilainya sama sekali. Coba kita bayangkan bersama uang 150 rupiah dikalikan 100 konsumen, dikalikan satu bulan, berapa rupiah uang yang terkumpul dan dinikmati orang-orang tertentu tanpa ada kesepakatan untuk menyerahkannya, di sini bisa timbul yang dinamakan penggelapan.

Hal ini terjadi di mana saja, di supermarket, pom bensin, dan loket-loket pembayaran manapun. Dengan enaknya pihak dimana kita membayar sesuatu tidak menyampaikan bahwa pengembalian uang sekian rupiah karena nominalnya yang kecil tidak diberikan ke kita, atau ada penyampaian bahwa uang sekian rupiah tersebut dikumpulkan dan kemudian disalurkan ke mana.

Di sisi lain konsumen sebagai pihak yang secara langsung dirugikan (meski nilainya kecil), seringkali tak acuh begitu saja, tanpa mau bertanya lagi soal uang yang sekian rupiah tersebut. Hal ini masih dimaklumi, karena ada rasa segan untuk menanyakan uang yang tidak seberapa tersebut. Padahal nilainya bisa sangat besar jika kita kalikan dengan sekian transaksi setiap hari, dan setiap bulan.

Semua pihak perlu mengritisi hal ini, pertanggungjawaban uang yang potensinya luar biasa besar perlu untuk diawasi arahnya ke mana, apa hanya dinikmati oleh orang tertentu saja atau digunakan untuk kepentingan bersama. Keterbukaan informasi atas dana yang sumbernya jelas namun pertanggungjawabannya tidak jelas ini menjadikan membuat budaya permisif makin biasa dilakukan.

Disamping pengembalian yang tidak diberikan, ada juga budaya mengganti uang kembalian dengan permen. Sepintas masih ada niatan untuk memberikan uang kembalian, namun hal ini sama saja dengan tidak memberikan hak kita yang seharusnya berupa uang kembalian bukan permen atau barang lainnya. Hal ini sebenarnya bukan hal yang baru terjadi, namun sudah membudaya di negara kita, entah kapan mulainya.

Penulis ingat betul sebuah iklan layanan masyarakat yang muncul di majalah Tempo pada tahun 90’an (saat penulis masih SD), menampilkan gambar koin dari berbagai negara yang bergambar logo negara, kerajaan, atau gambar muka raja maupun presiden yang menunjukkan kebanggaan atas negaranya, namun di pojok kanan bawah ada gambar permen berwarna kuning yang di bawahnya ada tulisan Koin Indonesia, sebuah ironi memang. Ketika negara lain dengan bangganya menunjukkan bahwa tujuan sebuah uang dicetak untuk mempermudah transaksi pembayaran menggantikan barter, di negara kita koin yang sudah dicetak dan diedarkan tersebut dengan mudahnya digantikan sebutir permen (bisa jadi sekarang permen yang kita dapat itu bikinan China atau Malaysia) dan itu pasti bukan mata uang negara kita.

Apakah ini berlaku sebaliknya, coba Anda membayar belanja dengan uang dan sejumlah permen untuk nominal yang kecil, apa bisa? Ternyata tidak dan sangat tidak fair karena dalam kenyataannya praktik mengganti uang koin hasil kembalian diganti permen hanya berlaku bagi pihak swalayan dan pertokoan kepada pembeli dan tidak berlaku sebaliknya. Jika berpedoman pada asas keadilan maka pada dasarnya terdapat hak dan kewajiban yang sama pada diri pembeli dan penjual, dan oleh karenanya jika pihak penjual dalam hal ini pihak swalayan dan pertokoan dapat mengganti kekurangan uang koin dengan permen dalam memberikan uang kembalian, maka seharusnya pembeli juga diperbolehkan membayar dengan permen dalam transaksi pembayaran jika terdapat kekurangan sejumlah uang koin.

Uang sebagai alat pembayaran yang sah dan setiap orang wajib menggunakan dan menerimanya. Mata uang Rupiah termasuk yang berbentuk koin telah menjadi salah satu simbol kedaulatan negara telah jelas-jelas disahkan penggunaannya secara nasional sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Maka seharusnya segala praktik yang berkaitan dengan tukar-menukar, jual-beli dan perbuatan-perbuatan lain yang didapati fungsi pembayaran baik berupa barang maupun jasa termasuk dalam transaksi jual beli yang didapati kembalian uang koin harus menggunakan Rupiah, karena Rupiah merupakan alat pembayaran yang sah (legal tender). Lantas perlu dipertanyakan kepada mereka, dimana rasa nasionalisme Swalayan dan Pertokoan tersebut mengingat rupiah adalah simbol kedaulatan Negara Republik Indonesia?

Perlu kita pikirkan juga bahwa koin dengan nominal kecil tersebut memiliki peran yang sama dengan uang kertas yang pada umumnya bernominal besar. Harga barang pun masih bisa terjangkau selama uang koin ada dan digunakan. Tidak akan terjadi pembulatan harga yang umumnya ke atas, selama koin digunakan. Koin pada umumnya berfungsi sebagai pembayaran pada transaksi pecahan dalam nominal kecil yang akan tetap ada dan perlu untuk mencegah naiknya harga suatu barang atau jasa akibat tidak ada uang koin, sehingga sampai kapanpun koin masih akan tetap diperlukan.

Ada beberapa poin penting yang dapat disimpulkan:

  1. Uang, tidak dapat digantikan dengan benda atau barang lain sebagai alat pembayaran yang sah untuk saat ini.
  2. Penjual wajib menyampaikan kepada pembeli pertanggungjawaban atas selisih uang kembalian yang tidak diberikan, dan pembeli menyetujuinya.
  3. Bank Indonesia dengan kewenangannya mendistribusikan uang, memberikan akses yang mudah dan cepat untuk melayani penukaran uang kertas maupun logam.
  4. Konsumen berkewajiban ikut mengawasi dan menanyakan tindakan dari pihak penjual atas proses pengembalian uang belanja/pembayaran.
  5. Kesadaran semua pihak atas hak dan kewajiban masing-masing yang harus dipatuhi dan dilaksanakan.
  6. Uang logam maupun kertas adalah identitas bangsa, jangan sampai digantikan oleh sebungkus permen.

Mohammad Bagus Sasmita
Kalimantan Utara


Baca juga:

Artikel ini adalah buatan pengguna dan menjadi tanggung jawab penulisnya.

 Apa Komentar Anda?

Belum ada komentar.. Jadilah yang pertama!

Koin atau Permen?

oleh Mohammad Sasmita dibaca dalam: 4 menit
0